ANALISIS NOVEL DENGAN PENDEKATAN FEMINIS SERTA PERBANDINGAN
NOVEL DAN FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN
KARYA ABIDAH EL-KHALIEQY
TUGAS AKHIR KRITIK SASTRA
PEND. BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
Sinopsis Novel Perempuan Berkalung Sorban
Novel perempuan berkalung sorban ini menceritan perjuangan seorang perempuan yang ingin hak-haknya diakui dan dihormati oleh kaum laki-laki. Tokoh utama dalam novel ini adalah Anisa yang biasa dipanggil Nisa. Nisa hidup dalam lingkungan pesantren milki ayahnya. Nisa mempunyai dua saudara laki-laki yaitu Rizal dan Wildan.
Nisa selalu menghabiskan hari-haring bersama kedua kakaknya. Suatu hari Nisa pergi bersama kakaknya Rizal keluar dari pesantren bermain seharian. Nisa mempunyai keinginan untuk belajar menunggang kuda seperti yang dilakukan kakaknya tetapi ayahnya melarang karena ayahnya menganggap bahwa hanya laki-laki yang pantas untuk menaiki kuda. Keinginan Nisa tetap tinggi untuk bias naik kuda ia semakin mempunyai halangan yang berat karena diawasi enam santri yang disuruh ayahnya. Dalam segala urusan yang berkenaan dengan laki-laki Nisa selalu dikesampingkan karena wanita dianggap hanya bias memasak, melayani suami dan mengurusi anak-anak kelak. Dalam hal apapun Nisa dan Rizal sering terlibat perselisihan seperti pada saat Nisa ingin belajar qiraah pada Mbak May yang pernah juara tingkat kabupaten. Karena merasa dikesampingkan terus-menerus Nisa semakin bersemangat untuk belajar qiraah dan naik kuda. Suatu saat waktu pulang belajar dari kamar Mbak May Nisa ketahuan ayahnya dan dimarahi habis-habisan. Setelah kejadian itu Nisa semakin mendapat aturan-aturan yang ketat dari ayahnya. Nisa dilarang untuk keluar pesantren selain untuk sekolah dan mengaji dipesantren. Ayah Nisa termasuk orang yang masih berpikir kolot karena menganggap perempuan lemah dan mengajarkan tentang kitab-kitab kisah zaman dulu. Nisa sedikit mendapat pembelaan dari Lek Kudhori seorang gurunya tetapi hal itu tidak dapat mengubah semuanya karena Ayah Nisa sangatlah dihormati. Dalam mengajar Lek Kudhori selalu menceritakan pahlawan-pahlawan perempuan yang membuta Nisa menyukainya.
Nisa merasa sedih karena Lek Kudhori sebentar lagi pergi ke Kairo untuk melanjutkan studinya. Rizal meski sudah dewasa selalu berpenampilan biasa memakai celana pendek namun tidak pernah dipermasahkan seperti Nisa saat melakukan kesalahan sedikit saja. Nisa memiliki nama asli Annisa Nuhaiyyah yang berarti perempuan yang berakal atau perempuan yang berpandangn luas. Menurut ibunya ibu Hajjah mutmainah nama itu diberikan karena diharapkan Nisa dapat menggantikan posisi ayahnya kelak.
Setelah kepergian Kudhori Nisa selalu murung dan mengurung dirinya di kamar. Nisa merasa tidak ada lagi sosok malaikat yang selalu membelanya dan tulus menyayanginya. Meski Nisa dan Kudhori jauh mereka tetap menjalin hubungan melalui surat. Nisa di pesantern bagai seorang putri yang banyak mengagumninya termasuk Pak Joko.
Suatu hari karena kejenuhannya Nisa mengajak Aisyah keluar ke kota untuk menonton film Amitha Bacham di bioskop. Saat di depan bioskop Nisa ditarik seorang pemuda yang berniat jahat padanya, beruntung pada saat yang bersamaan Pak Tasmin seorang penjual peralatan kerja yang pernah melihat Nisa saat mengarap sawah milik ayahnya menolongnya hingga membuat laki-laki itu menjauhinya.
Seminggu kemudian Ayah Nisa mengetahui kejadian di bioskop. Ayah Nisa sangat marah karena hal itu, ayah Nisa mengancam akan memasukkan Nisa ke pesantern yang jauh. Nisa memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap apa yang dipelajarinya di dalam kitab-kitab. Hingga terkadang hal itu membuat tawa teman-temannya karena selalu ditanyakan pada pak Kiai saat belajar di kelas. Nisa telah memasuki masa dewasa karena ia telah menemui masa haidz yang pada umumnya anggapan di pesantren itu dianggap sebagai tanda kedewasaan seorang perempuan. Karena kekawatiran Ayahnya Nisa kemudian dijodohkan dengan Samsudin yang telah memilki seorangt istri bernama Kalsum. Ayah Nisa tidak dapat menolak ajakan teman dekatnya Kiai Nazarudin. Pernikahan itupun terjadi meski tidak didasari dengan rasa saying diantara mereka. Setelah pernikahan itu Nisa selalu mendapat perlakuan yang tidak menyengkan. Nisa selalu dipaksa untuk melayani Samsudin meski hal tersebut dilarang dari segi agama dengan kekerasan seks. Hari demi hari Nisa lalui bersama Samsudin dan istrinya yang pertama Kalsum. Kalsum menceritakan banyak hal pada Nisa. Nisa memberikan banyak pelajaran pada Kalsum tentang apa yang salah dan benar menurut syariat. Nisa dan Kalsum menjadi semakin dekat hingga seperti kakak adik. Nisa dan Samsudin terlibat suatu pertengkaran yang hebat karena Nisa ingin mempertahankan haknya sebagai seorang wanita. Nisa menyadari jika Samsudin memiliki kelainan seks sejak dengan Ayahnya Kiai Najamudin karena memilki gambar dan film porno yang masih tersimpan dilemarinya. Nisa semakin mendapat perlakuan yang tidak manusiawi ia sering ditampar oleh Samsudin atas penolak-penolakannya.
Setelah selesai belajar di Kairo kudhori pulang. Kudhori disambut meriah dilingkungan pesantren hingga dibuatkan acara seperti pesta kegembiraan atas keberhasilannya. Nisa melepas rindu terhadap Kudhori dan memeluknya. Kudhori pun masih menganggap Nisa seperti yang dikenal dulu meski sekarang ia telah bersuami. Nisa kemudian menceritakan banyak hal pada Kudhori. Nisa sudah tidak bias menyembunyikan segala yang menimpanya. Nisa menganggapm saat itulah yang tepat untuk membongkar segala yang dilakukan Samsudin terhadapnya. Mereka semua yang ada disana terkejut dan terpana atas pernyataan Nisa. Ibu Nisa sangat beremapti pada Nisa dan memeluknya. Semua orang berubah dan menyadarinya. Ayahnya Nisa jatuh sakit mendengar semua yang terjadi pada Nisa. Rizal dan Wildan sadar yang meminta Nisa untuk tabah menghadapi apa yang dialaminya. Suatu malam diadakan pertemuan untuk membahasa permasalahan yang menimpa Nisa. Sebuah keputusan diambil karena Ayah Nisa merasa tidak enak untuk menemui Kiai Najamudin maka awalnya Kudhori diajukan untuk menjadi penggantinya namun karena dirasa masih muda maka Kiai Mahfud yang mengantikannya.
Kiai mahfud menemui Kian Najamudin dan mengambil keputusan perceraian. Setelah berceria dengan samsudin Nisa pergi ke kecamatan bersama Kudhori. Ayah Nisa tidak menyetujui hubungan itu dan menyuruh kudhori pulang ke kampong halamannya atau pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan Nisa. Mereka berpisah, namun Kudhori berjanji akan dating lagi untuk melamarnya,. Nisa melanjutkan kuliahnya. Kudhori mengajar di dua universitas dan membuatnya semakin mapan. Denganb kemapananya Kudhori mengajak Nisa menikah meski pada walnya Nisa masih ragu untuki membangun rumah tangga yang kedua kalinya namun Kudhori selau sabar dalam meyakinkan Nisa. Mereka berdua punb menikah dan menghabiskan hari-harinya penuh dengan kebahagiaan. Saat-saat tertentu Nisa masih teringat pada apa yang dilakukan Samsudin. Dengan kasih sayangnya Kudhori selalu sabar menghadapi Nisa. Beberapa tahun kemudain mereka mempunyai anak yang diberi nama Mahbub.
Bagai petir disiang bolong Nisa sangat terkejut saat mendengar berita bahwa Kudhori mengalami sebuah kecelakaan. Terdengar kabar bahwa samsudin yang telah menabrak Kudhori. Kudhori dibawa kerumah sakit namun Tuhan berkehendak lain. Kudhori akhirnya meninggal karena mengalami pendarahan hebat di kepalanya. Semua orang member dukungan pada Nisa. Nisa menyuruh Mahbub untuk member salam yang terakhir untuk ayahnya. Dan saat itu pula Nisa mengucapkan rasa sayangnya pada kudhori.
A. Analisis Novel Perempuan Berkalung Sorban Melalui Pendekatan Feminis
1. Peranan Tokoh Wanita dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban
Novel Perempuan Berkalung Sorban menceritakan tentang tokoh Annisa yang hidup dalam lingkungan pesantren salaf dengan semua kebiasaan dan adat yang hidup di sana. Nuansa di pesantren masih mengukuhkan kekuatan laki-laki di atas perempuan dalam segala hal hingga perempuan seperti kehilangan kekuatan, bahkan untuk mengatur dan memiliki dirinya sendiri. Budaya patriarkal masih sangat kental dan terasa yang membuat perempuan-perempuan terlihat begitu lemah. Hal tersebut terjadi juga pada Annisa, anak pimpinan pesantren. Di sinilah Annisa kemudian hadir sebagai tokoh revolusioner yang ingin mengubah tradisi yang ada sekaligus memberikan pengetahuan kepada perempuan-perempuan yang ada dalam pesantren bahwa menjadi perempuan juga harus cerdas dan tidak hanya sibuk dengan urusan dapur semata.
Bagian ini dimulai penulis dengan menceritakan pertentangan batin yang sudah dialami tokoh utama, Annisa sejak ia masih kecil. Beberapa lembar di awal dalam novel ini memberikan gambaran pengantar konflik dan gambaran posisi setiap tokoh.
“Kita jaring betinanya!”, teriak Rizal, kakakku.
“Dia mau bertelur, jangan diganggu!,” sergahku. “Justru di saat bertelur dia tak berdaya. Kesempatan kita menangkapnya.”
… .
Aku merenung sejenak. Kalau aku tak bisa menemukan jawabannya, dia pasti akan mengejekku. Mencibirku sebagai anak perempuan yang bodoh.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 1-3)
Kutipan di atas digunakan oleh penulis untuk menggambarkan tokoh utamanya. Tokoh lain menganggap perempuan adalah makhluk yang lemah yang pantas mendapatkan perilaku tidak terpuji. Kutipan tersebut juga menegaskan sikap tokoh utama, Annisa. Sejak kecil, melalui pertengkaran kecil dengan kakaknya menunjukkan sikapnya terhadap perlakuan yang diberikan kepada perempuan. Sejak kecil Annisa sudah merasakan perbedaan perlakuan itu dan dia ingin perempuan mendapatkan perlakuan yang sama dengan laki-laki, terutama kebebasan untuk mendapatkan hak-hak mereka.
Abidah El Khalieqy menggambarkan kegelisahan Annisa tersebut secara apik dengan sedikit sentuhan gaya bahasa sinisme pada bagian lain dalam novel ini.
“Apapun yang terjadi…aku harus bisa. Aku mesti belajar naik kuda. Aku akan tetap belajar naik kuda. Naik kuda.”
Tetapi impian tinggal impian. Setelah tragedy Rizal kecemplung Blumbang dalam pengembaraan kami, dua belas pasang mata santri diberi tugas mengamati aktivitas masa kanakku. Ruang bermainku mendapat pagar baru, lebih tinggi dan lebih sempit untuk cakrawala penglihatanku. Tanganku mulai dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan, dan api pembakaran. Bau asap membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau bawang dan sambal terong membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak pernah bisa menikmati sarapan pagi, bahkan tak juga merasakan kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali mencuci piring yang dipenuhi minyak bekas makanan Rizal, Wildan, dan bapak yang terus saja duduk di meja makan sambil ngobrol dan berdahak.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 8-9)
Kutipan di atas menunjukkan tentang posisi dan kondisi wanita yang hadir hanya untuk berada di belakang. Perempuan hadir untuk mengurusi permasalahan rumah tangga dan urusan dapur lainnya. Budaya patriarkal masih beranggapan bahwa perempuan tidak perlu dan tidak pantas untuk tahu lebih jauh tentang hal-hal yang berada di luar kawasan dapur dan rumah. Dengan gaya bahasa yang cenderung menilai sinis terhadap perlakuan yang dilakukan terhadap perempuan, penulis novel ingin mengatakan tidak ikhlasnya dia terhadap perlakuan yang diberikan kepada kaumnya.
Pondok kami memang bukan pondok yang besar sebagaimana pondok pesantren Bahrul Umum Tambakberas atau Tebuireng. Hanya saja, ada beberapa kompleks yang telah dibangun oleh bapak, yang kemudian dihuni oleh lima puluh santri putri, dengan ustadz yang paling tua dan dipercaya oleh bapak, yaitu ustadz Ali. Beliaulah yang memegang pelajaran dan kitab-kitab utama yang wajib diikuti seluruh santri. Namun, aku sendiri tak pernah tertarik untuk mengikutinya, kecuali hanya untuk menuruti keinginan bapak. Itulah sebabnya, aku sering bermain dan belajar bersama-sama teman sekampung, yang tidak terdaftar sebagai santri dipondok kami. Kalaupun bermain atau belajar di pondok, paling-paling hanya bertandang di kamar Mbak May.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 51-52)
Kutipan di atas menceritakan kondisi tokoh Annisa yang sedari kecil telah memiliki pemikiran dan gagasan yang berbeda dengan lingkungan yang didiaminya sejak kecil. Ia mengingkinkan hidup yang lebih luas dan bebas dari tembok pondok pesantren yang dirasakannya sejak kecil. Pemikiran inilah yang sangat mempengaruhi kehidupan Annisa ketika remaja maupun pendewasaan dirinya.
2. Hubungan Tokoh Wanita dengan Tokoh-Tokoh Lain dalam Novel
Abidah El Khalieqy menggambarkan sosok Annisa melalui percakapan-percakapan yang dilakukan dengan tokoh lain dalam novel lain atau lewat pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh Annisa. Beberapa contoh percakapan tersebut antara lain.
“Bagaimana jika kenyataannya ada seorang isteri yang terbuka dan mengajak lebih dulu dan tidak suka bersikap menunggu.”
“Perempuan seperti itu biasanya tidak disukai laki-laki karena terlalu agresif. Nanti laki-laki bisa minder menghadapinya. Sebaiknya seorang isteri adalah pemalu dan bersikap menunggu.”
“Tetapi menunggu sampai kapan, Pak Kiai?”
Semua terkesima lalu gerr. Ustadz Ali ikut tersenyum lalu geleng-geleng kepala… . “Kira-kira sampai kapan? Tentu saja sampai suami berkenan mengajaknya,” jawabnya enteng, sembari berdehem dua kali.
“Bagaimana kalau suami tidak pernah berkenan karena sudah puas dengan dirinya sendiri atau berselingkuh, misalnya?”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 80-81)
Kutipan di atas menampilkan keberanian Annisa untuk tidak segan-segan bertanya dan mendebat kiai sekalipun jika pendapatnya diyakini benar. Annisa meyakini bahwa ada yang salah dengan penafsiran yang dilakukan oleh para kiai yang hidup dalam lingkungan pesantren selama ini dan terus diajarkan kepada para santri. Kesalahan tersebut membuat kondisi perempuan yang ada dalam lingkungan pesantren tidak mendapat perlakuan yang seharusnya bisa mereka dapatkan sebagai perempuan. Kesalahan ini juga berakibat pada kesalahan pandangan perempuan yang hidup dalam lingkungan pesantren yang masih dilingkupi dengan kekangan budaya patriarkal yang masih begitu kental. Perempuan-perempuan itu kemudian berpendapat bahwa mereka memang sudah berada pada takaran yang sebenarnya. Sikap nrimo dan pasrah inilah yang membuat mereka semakin erat berada dalam kungkungan patriarkal. Keadaan yang seperti inilah yang ingin diubah oleh Annisa.
Selain memiliki karakter penokohan yang cerdas, keras kepala, semangat, kerja keras, Annisa juga memiliki karakter yang lembut dan kasih sayang terhadap keluarganya (suami dan anaknya).
Kelahiran anak kami telah merekat tali kasih sepanjang usia. Begitu nafas jiwaku berkata dalam kelelapan.
Saat tersadar dari lelapku, bayi itu telah terbungkus rapi, tidur di sampingku. Setelah bidan dan perawat memberekan urusanku, kami pindah dari ruangan melahirkan menuju kamar yang kami pesan. Sepanjang malam itu, kakiku terasa pegal dan linu dan minta dipijiti terus menerus. Mas Khudhori memijatku sembari membicarakan rencana kami untuk memanggil nama bayi kami saat aqiqah kelak, seminggu lagi. Sekalipun sakit dan lelah, kebahagiaan membayang di seluruh ruangan itu, terutama di wajah mas Khudhori. Sebentar-sebentar dia akan menengok bayi kami dan meneliti seluruh anggota badannya. Dengan senyum-senyum, ia membandingkan segi-segi persamaan antara kami bertiga.
… .
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 294-295)
Annisa adalah seorang istri yang sangat mencintai suaminya, bahkan ketika Khudhori telah meninggal. Rasa cinta Annisa kepada Khudhori masih tertanam dalam jiwanya menemani Annisa sampai akhir hidupnya. Dan cinta itu menemani Annisa dalam perjuangannya untuk membangkitkan kembali posisi perempuan dalam masyarakatnya.
Khudhori adalah tokoh utama laki-laki dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Ia adalah gambaran dari laki-laki muslim yang menempatkan perempuan pada posisi yang seharusnya. Khudhori menghormati dan menghargai perempuan pada nilai-nilai kodrati mereka. Pendidikan Khudhori yang memiliki latar belakang pesantren tidak memiliki pandangan yang sama dengan kiai dan teman-temannya yang memiliki latar belakang pondok pesantren juga. Kecerdasan Khudhori berperan dalam pemikirannya karena ia tidak menerima secara utuh ajaran yang dia dapat tetapi membuat relevansinya dengan kehidupan sekarang.
Samsudin adalah tokoh dalam novel Perempuan Berkalung Sorban yang merupakan gambaran dari laki-laki yang tidak menghargai posisi wanita. Samsudin menganggap bahwa wanita hanya makhluk yang diciptakan untuk memuaskan laki-laki dalam hasrat seksual dan mengurusi keperluan dapur belaka. Perangai buruk Samsudin terlihat pada semua dialog yang dilakukan dengan tokoh yang lain.
Haji Hannan adalah Bapak dari Annisa. Dia adalah pendiri pondok pesantren yang bercita-cita untuk mendidik remaja putri agar menjadi kaum muslimah yang berguna bagi negara dan bangsa. Sosok Kyai Hanan mewakili sosok kyai yang kolot dengan ajaran Islam dan cenderung menerima ajaran Islam secara tekstual semata. Telaah yang dilakukannya dengan kyai-kyai yang lain hanya terbatas pada terminologi tanpa membahasnya lebih dalam pada aspek relevansi. Hal inilah yang membuat Kyai Hanan menjadi sosok yang tidak bijaksana dalam langkah yang diambilnya. Sebagai seorang Kyai, dia juga tidak melakukan perlakuan yang semestinya kepada putrinya, Annisa. Kesenjangan perlakuan terlihat jelas antara Annisa dengan dua saudara laki-lakinya. Budaya patriarkal masih kental mempengaruhi pola pikirnya.
Kyai Hanan memiliki kasih sayang layaknya orang tua kepada anaknya. Hal ini terlihat ketika Kyai Hanan mengetahui perlakuan yang diterima Annisa dari Samsudin. Kyai Hanan mengakui bahwa kesengsaraan yang dialami Annisa sedikit banyak karena sikap Kyai Hanan yang menjodohkan Annisa tanpa mempertanyakan kepada Annisa terlebih dahulu berkenan atau tidak.
Hajjah Mutmainah adalah gambaran dari wanita Jawa yang hidup menurut apa yang telah digariskan. Seperti wanita awam pada umumnya, ia hidup dengan aturan-aturan yang sudah pasti. Hajjah Mutmainah yang berperan sebagai Ibu Annisa berpendapat bahwa wanita harusnya hidup nerimo sesuai dengan kodratnya. Pekerjaan rumah tangga adalah hal yang wajib dikerjakan oleh seorang wanita sebagai seorang istri dan ibu kelak. Sikap pasrah yang terlalu berlebihan inilah yang sering didebat oleh Annisa. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
“Ssst! Nggak baik berkata seperti itu. Semua pekerjaan itu ada resikonya. Ke kantor pun ada resikonya. Misalnya dimarahi bos, kalau musim hujansuka kahujanan… .
“Tetapi jika aku ke kantor, siang hari sudah pulang dan setibanya di rumah tinggal santai sambil nonton televise. Kalau hari minggu bisa rekreasi, memancing ikan di sungai Kajoran atau Kaliangkrik, bisa naik kuda seperti Rizal dan Wildan. Iya kan, Bu?”
“Sudah…sudah, Nisa. Kau ini ngomongnya suka ngelantur. Lebih baik ganti pakaian, lalu makan. Dan jangan lupa, belajar baca al-quran, kemudian shalat berjamaah di masjid, sekalian ikut pengajian siang.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 16)
Hajjah Mutmainah juga memiliki karakter keibuan yang mendominasi pada setiap perkataan dan sikap yang dilakukannya. Sebagai seorang ibu, ia memberikan pengertian kepada Annisa bagaimana menjadi perempuan seutuhnya menurut pemikiran yang dilingkupi budaya patriarkal. Hajjah Mutmainah selalu memberikan jawaban dan pengertian kepada Annisa meskipun tidak pernah memuaskan hati putrinya karena perbedaan pandangan antara keduanya.
Sebagai seorang Ibu, Hajjah Mutmainah juga sangat mencintai anaknya. Perhatian dan cinta yang begitu besar kepada Annisa terlihat ketika ia mengetahui penderitaan yang dialami oleh Annisa selama pernikahannya dengan Samsudin. Perasaan bersalah juga memenuhi perasaannya karena ia juga ikut memutuskan pernikahan yang tidak pernah diinginkan Annisa tersebut
Rizal dan Wildan adalah saudara laki-laki Annisa. Perilaku mereka dalam novel Perempuan Berkalung Sorban menunjukkan perilaku kakak yang cenderung meremehkan adik perempuannya. Mereka masih mengangap bahwa anak perempuan tidak seharusnya menguasai hal-hal yang biasa dikuasi laki-laki. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi tempat mereka lahir dan berkembang dan ajaran-ajaran yang selama ini mereka dapatkan.
Perilaku Rizal yang menganggap remeh segala hal yang dikerjakan oleh adiknya, Annisa terlihat pada kutipan berikut.
Kami pindah ke ruang tengah dan menikmati kue sambil meneruskan perbincangan yang bertambah seru. Ketika Rizal pada akhirnya keluar juga mendengar serunya perbincangan kami, ia tak tahan ingin tahu dan ikut nimbrung.
“Serius amat bicaranya. Kasih tahu dong. Masalahnya apaan sih?”
“Rahasia ya, Lek. Awas! Jangan katakana apapun sama dia. dia tak bisa nyimpan rahasia,” aku menekan lek Khudhori. Rizal sewot dan berlagak sok tahu.
“Alaaah…paling-paling urusan perempuan, feminisme, jender, patriarkhi…apalagi ya, emansipasi RA. Kartini.”
“Emangnya tahu, apa itu jender.”
“Kalau gendher sih aku tahu, kalau digoreng jadi krupuk asin, ha ha..”
“Dasar otak udang! Selalu saja ketinggalan zaman,” cemoohku,
“Memangnya apa feminisme itu. Apa gender itu. Tahu apa kau tentang patriarkhi? Sok tahu, Zal, Rizal.”
Lek Khudhori memandangku dan Rizal secara bergantian, lalu menggelengkan kepala. Ia hanya tersenyum menyaksikan pertentangan kami berdua.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 172-173)
Meskipun begitu, kedua kakak beradik ini juga memiliki perhatian yang cukup besar kepada Annisa ketika mengetahui bahwa selama menikah dengan Samsudin Annisa mengalami perlakuan yang tidak seharusnya. Mereka ikut andil dalam pemecahan masalah Annisa.
Mbak Kalsum adalah perwakilan dari perempuan yang menjadi korban perilaku laki-laki. Kalsum adalah wanita yang terjebak oleh perangkap Samsudin hingga dia hamil di luar nikah. Kalsum menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Annisa dan Samsudin meskipun Annisa tidak begitu peduli dengan keberadaannya. Keberadaan Kalsum dianggap sebagai pengalih perhatian dan kebiadaban Samsudin dari dirinya.
Kalsum juga menggambarkan karakter wanita yang terpaksa menerima perlakuan dari suaminya karena ketidakberdayaannya untuk menolaknya. Dia adalah gambaran wanita yang tergoda karena bujukan materi dari seorang laki-laki. Keterbatasan Kalsum atas pemahaman agama membuatnya tidak memiliki pegangan yang kuat dalam hidupnya. Ini tergambar melalui paragraf berikut.
Satu hal yang menjadi pikiran serius bagi Kalsum adalah masalah uang. Ia anak perempuan dari seorang makelar tanah yang selalu bau rupiah. Tembak sana, tembak sini tanpa rasa jengah. Tampaknya, itu juga yang membuat hidungnya mendengus seperti kucing yang mencari daging walau tersembunyi di bawah kasur. Ia akan bertengkar mati-matian hanya seratus rupiah kembalian yang belum dibayarkan. Selain statusnya sebagai janda, Kalsum tertarik rayuan Samsudin adalah karena mendengar warisan Samsudin berjumlah lima hektar sawah dan satu hektar kebun klengkeng. Air liurnya menetes setiap kali ia menyebut sawah dan kebun klengkeng itu.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 123)
Namun begitu, Kalsum juga memiliki sikap mau memperbaiki kesalahannya. Pertemuan dan pembicaraan yang intens dengan Annisa membuat mata hatinya terbuka atas kebenaran dan menciptakan keinginan untuk belajar ilmu agama kepada Annisa. Satu hal yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya.
Mbak Maryam adalah gambaran dari perempuan modern yang berpandangan luas dan memiliki kritik-kritik yang cerdas. Mbak Maryam adalah ketua organisasi (LSM) tempat Annisa bergabung dalam wadah yang bertujuan untuk melindungi hak-hak kaum perempuan. Karakter Maryam diceritakan penulis melalui kutipan berikut.
Maryam memiliki karakter yang kuat sebagai pemimpin. Ia mampu memobilisasi massa dan mengelola keuangan sekaligus dengan begitu rapinya. Bicaranya pelan penuh tekanan. Selain itu, Mbak Maryam memiliki kepekaan yang luar biasa dalam hal ketidakadilan. Mungkin hasil pergaulannya dengan suaminya yang pengacara. Dalam beberapa hal, terutama kritikannya yang tajam terhadap kasus-kasus para suami yang menelantarkan istri, melecehkan istri, perlakuan kasar sampai membunuh dan penyelewengan umum yang dilakukan para suami secara sembunyi dan terang-terangan di muka anak-istri, mbak Maryam adalah pusat kekagumanku karena kedalaman kritikannya jauh dari kesan kanak-kanak yang mau menang sendiri. Ia juga sering melontarkan kritik tajamnya terhadap organisasi perempuan yang tidak mandiri, selalu dibayangi dan berada di bawah organisasi induknya yang nota bene adalah kepunyaan laki-laki. Dan satu lagi, ia sangat piawai dalam qira’ah.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 229-230)
3. Perwatakan Tokoh Wanita, Cita-Cita, Tingkah Laku, Perkataan, dan Pandangannya tentang Dunia dan Kehidupan
Annisa adalah tokoh sentral atau tokoh utama dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Dia adalah gambaran wanita cerdas yang hidup dalam lingkungan pesantren.
Annisa sadar dengan posisi wanita yang seharusnya tidak hanya sibuk dengan urusan belakang saja sejak ia masih kecil.
Seperti pagi yang lain, aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk berbicara lebih banyak. Kecuali bersiap diri dan berangkat bersama Rizal menuju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah kami.
Di dalam kelas selagi aku masih merenung-renung perkataan Rizal, pak guru bahasa Indonesia menyuruhku mengulangi kalimat:
A-yah per-gi ke kan-tor
I-bu me-ma-sak di da-pur
Bu-di ber-ma-in di ha-la-man
A-ni men-cu-ci pi-ring
“Ulangi sekali lagi, lebih keras dan jelas!” Perintah pak guru.
“Bapak pergi ke kantor,” teriakku lantang kemudian terdiam. Aku berpikir sejenak kemudian bertanya, “apa ke kantor itu termasuk urusan laki-laki, Pak Guru?”
Pak guru terkejut. Aku juga ikut terkejut. Demikian juga teman-temanku.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 10-11)
Kutipan di atas menceritakan tentang pencarian Annisa atas hakikat hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Sejak kecil di lingkungan pesantren, Annisa mendapatkan perlakuan yang berbeda jika dibandingkan dengan dua kakaknya yang laki-laki. Pikiran-pikiran dan keinginan untuk mendapat perlakuan yang sama dengan kedua kakaknya selalu membuat Annisa memiliki pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengejutkan orang yang ditanya baik itu gurunya, ibunya, atau temannya. Hal tersebut juga terlihat dalam kutipan berikut.
“Tapi aku ingin belajar naik kuda dan pergi ke kantor.”
“Apa hebatnya naik kuda dan apa enaknya pergi ke kantor, Nisa?”
“Jika aku naik kuda, semua orang mendongak ke arahku jika bicara denganku. Aku juga bisa memimpin pasukan perang seperti Aisyah atau Putri Budur, sehingga laki-laki perkasa menjadi tunduk di belakangku,” aku tertawa geli, “dan jika aku pergi ke kantor, bajuku wangi dan rapi tidak seperti Lek Sumi yang seharian di dapur, badannya bau dan bajunya kedodoran. Jika aku ke kantor, semua orang melihatku dengan hormat, tidak menutup hidung jika aku lewat seperti mereka menutup hidung dekat lek Sumi, karena bau bawang dan terasi. Dan di akhir bulan aku menerima gaji.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 15)
Sebagai seorang istri, perempuan pun memiliki hak dalam masalah yang berkaitan dengan reproduksi. Perempuan memiliki hak untuk menolak dan menerima ajakan suami untuk melakukan hubungan suami istri. Perempuan juga harus memiliki sikap terhadap perlakuan yang diberikan kepada mereka. Jika perempuan selalu berada dalam posisi manut dalam hal apaun itu maka posisi perempuan akan selamanya menjadi rencang wingking. Hal tersebut digambarkan dalam percakapan Annisa dengan salah satu tokoh dalam kutipan berikut.
“Apanya yang tabu, Lek. Bukankah Lek Umi juga punya hak untuk memintanya?”
“Tetapi aku kan perempuan, nanti dia bilang apa?”
“Dia akan bilang bahwa Lek Umi istrinya adanlah perempuan yang jujur, berani dan terbuka.”
“Ah. Nggak mungkin. Boleh jadi ia akan bilang kalau aku ini perempuan gatal, pikirannya ke situ melulu. Ah! Nggak ah, Nis. Aku malu.”
“Malu yang tidak pada tempatnya itu lebih bahaya daripada orang yang tidak punya rasa malu, Lek.”
“Apa kau sendiri suka meminta duluan, Nis?”
“Jika aku ingin, mengapa tidak. Mas Khudhori dan pembicaraan dalam komunitasku di organisasi banyak mengubah pandangan dan membentuk cara berpikirku, Lek. Kini baru dapat kurasakan bahwa ilmu telah memberikan banyak hal pada kita, terutama hak-hak kita juga kewajiban kita yang lebih haq dan proporsional.”
“Aku tahu, Nis. Memang sejak dulu aku telah melihat kecerdasanmu saat kau mendebat kiai Ali. Dan ternyata benar. Apapun yang kau alami, semua dapat kau ambil hikmahnya. Kau tetap sekolah sekalipun sudah menikah dan kini kau masih juga kuliah. Pastilah telah banyak ilmu dan pengalaman yang telah kau kumpulkan untuk masa depanmu. Sejujurnya, aku cemburu sekali jika mengingat itu, Nis.”
“Cemburu pada yang positif itu baik, Lek. Tetapi sekarang, yang lebih penting lagi adalah tidak menutup diri untuk masuknya ilmu. Bahwa hidup itu lapisan pengetahuan dan pengalaman. Dan waktu adalah belajar. Tak ada kata terlambat dan penyesalan juga bukan jalan penyelesaian. Bukankah begitu, Lek?”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 263-264)
Kutipan tersebut menegaskan tentang cara-cara yang digunakan Annisa untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan perempuan-perempuan yang sekiranya bernasib sama dengannya. Diskusi dan obrolan-obrolan ringan yang dilakukan Annisa dengan tokoh lain dalam novel bertujuan untuk memberikan kesadaran akan arti penting posisi perempuan dalam masyarakat. Perempuan harus sadar dengan posisinya. Di sinilah kemudian perempuan memiliki keharusan, kewajiban, dan hak yang sama dengan laki-laki untuk belajar dan mendapatkan pengetahuan karena mereka juga memiliki peranan yang sama pentingnya. Abidah El Khalieqy menegaskan kembali lewat dialog-dialog yang dilakukan oleh para tokoh dalam novel bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan selain perbedaan kodrati semata.
“Apa semua pekerjaan rumah tangga, Lek Umi sendiri yang menangani? Bukankah Lek Mahmud juga suka turun tangan?”
“Paling-paling yang dikerjakan Mas Mahmud hanya menyuapi Sania kalau pagi. Selebihnya aku semua yang mengerjakan. Kau bisa bayangkan betapa capeknya, dari mencuci baju dan perabot di dapur, menyapu, mengepel, emamasak dan menyeterika. Kadang-kadang Mas Mahmud mau juga menyetrika , jika kebetulan Sania rewel dan minta bersamaku.
“Wah, Nis, tak terbayangkan repotnya punya anak tanpa PRT.”
“Sebenarnya lek Umi tidak usah terlalu repot dengan semua itu, karena sebenarnya tugas merawat anak adalah tanggung jawab suami. Jadi memandikan, menyiapkan makanan dan menyuapi bkanlah kewajiban Lek Umi. Juga misalnya lek Umi tidak berkenan untuk menyusuinya, karena terlalu berat dengan tugas-tugas rumah tangga yang lain, maka lek Mahmud harus mencari seorang ibu susu dan dia harus memberi honor yang pantas untuknya. Semua itu adalah kewajiban suami, Lek. Lagipula, bukankah dulu sebelum punya anak, lek Umi sendiri yang memutuskan ingin punya anak?”
“Memutuskan ingin punya anak, aku yang memutuskan, kau ini bicara apa, Nis?”
“Lek, lek, bukankah seorang anak itu lahir dari rahim perempuan. Dikandung sembilan bulan dan selama itu sang janin memakan saripati makanan dari ibunya. Dan al-quran mengatakan bahwa kondisi ibu hamil itu wahnan ‘ala wahnin, derita di atas derita, semakin hari semakin payah dan berat nian. Dan semua itu, perempuanlah yang merasakan dan bukan laki-laki. Maka alangkah anehnya jika yang akan mengalami semua itu perempuan dan ternyata dia tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 265-266)
Percakapan yang dilakukan tokoh Annisa tersebut memberikan keterangan yang baru terhadap pembaca bahwa perempuan wajib dilibatkan dalam keputusan untuk reproduksi. Wanita memiliki hak penuh dalam wilayah reproduksi karena yang akan menjalani semua proses tersebut adalah perempuan itu sendiri. Pengetahuan ini masih minim dimiliki oleh perempuan pada umumnya dan inilah yang menjadi misi Abidah sebagai penulis. Yakni ingin memberikan penerangan mengenai pembaca mengenai hal tersebut.
Tokoh lain yang banyak diceritakan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban adalah Khudhori. Abidah El Khalieqy menggambarkan Khudhori dengan deskripsi sebagai berikut.
Sikap bapak memang berbeda dengan lek Khudhori. Meskipun ia bukan adik kandungnya sikap bapak lebih lembut kepadanya. Lek Khudhori adalah cucu dari keluarga neneknya ibu. Dan meskipun bapaknya telah meninggal dua tahun yang lalu, ia tetap melanjutkan sekolahnya di pondok Gontor. Hanya saja, kalau pulang selalu ke rumah kami. Dua kakaknya telah berkeluarga dan lek Khudhori lebih suka tinggal di sini, terutama untuk mendapat teman berkomunikasi bahasa Arab dengan bapak dan para ustadz di pondok. Ia tinggal di kamar yang bersebelahan dengan kamar bapak, Rizal dan Wildan. Selama hampir setahun ini, dalam masa cutinya, ia membantu mengajar di pondok serta mengajariku mengaji, nahwu sharaf dan bahasa Arab. Sementara Wildan dan Rizal lebih suka belajar mengaji di masjid dengan lek Mahmud.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 38)
Rumah tangga kedua Annisa dengan Khudhori, setelah yang membuat ia bercerai dengan Samsudin, dipenuhi dengan kebahagiaan karena hadir tanpa paksaan. Komunikasi yang dilakukan antara keduanya juga membuat hubungan suami-istri menjadi harmonis. Namun, rumah tangga kedua ini tidak bertahan lama karena maut memisahkan Khudhori dan Annisa.
Sedangkan kematian Khudhori yang merupakan ujian besar dalam rumah tangga Annisa dan Khudhori diterima Annisa dengan ikhlas dan lapang dada. Kematian yang telah menimpa Khudhori adalah takdir dari Allah SWT yang tidak bisa ditolaknya.
Tidak! Mas Khudhori tidak mati.
Aku yakin, bahwa ia hanya tidur kelelahan dan sebentar lagi akan bangun kembali. Tapi keyakinan itu selalu lenyap dalam mimpi. Sebab, hampir dua minggu aku bolak-balik ke rumah sakit. Sampai-sampai aku bermimpi yang bukan-bukan.
Di mana aku bangkit, berdiri dan berjalan menuju ruang tengah. Tetapi apa yang kulihat? Tubuh berselimutkan kain panjang itu wajahnya begitu pucat, matanya terpejam dan diam. Aroma kapur barus itu, telah menyentakkan kesadaranku akan makna semua yang diam. Para pelayat yang terus berdatangan dan tatapan mata mereka, semuanya memberitahuku arti sebuah peristiwa.
... .
Tubuh yang beku itu, menyiratkan senyum dan wajah kemenangan, menegaskan sikapnya dalam hidup yang pantang menyerah oleh gempuran fitnah dan cobaan. Dan senyum itu membakar semangat hidupku untuk tetap bangkit, berdiri dengan tegar di tengah gelombang yang menerpa, seganas apa pun. Memandanginya membuat energiku terpompa. Melihat masa depan dan Mahbub-ku, Mahbub kami yang menjernihkan mataku dari debu dan mendung dunia.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 312-314)
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel Perempuan Berkalung Sorban mengkaji penghormatan terhadap posisi perempuan. Perempuan memiliki hak atas dirinya sendiri. Tanpa melupakan kodratnya, perempuan memiliki hak-hak yang seharusnya dibuat adil antara laki-laki dan perempuan. Kata sorban lebih dimaknai sebagai simbol kemuliaan, martabat, dan kehormatan yang melekat pada lelaki muslim. Di Indonesia, sorban selalu dipakai oleh para kiai, haji dan ustadz, hingga Annisa, tokoh utama dalam kisah tersebut, berusaha mendekonstruksi dan merebut makna sorban itu untuk dikalungkan di leher perempuan, seorang nyai, hajjah dan ustadzah. Bahwa pada dasarnya, manusia itu makhluk androgin, yang memiliki kualitas maskulin sekaligus feminin sebagaimana dzat Yang Maha Pencipta. Maka, ketika Annisa berhasil merebut sorban itu, ia pun tidak kemudian menggunakannya sebagai lambang kuasa bagi perempuan atas laki-laki.
Abidah mengedepankan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Bahwa wanita juga berhak atas pendidikan, kesempatan untuk berkarya, dan bahkan memiliki dirinya sendiri. Abidah menganggap budaya patriarkal masih mengakar kuat pada tatanan budaya masyarakat. Namun, keinginan untuk dapat terpenuhinya hak perempuan dijelaskan Abidah tanpa menghilangkan kodrat seorang perempuan secara lahirnya. Abidah sebagai penulis menyampaikan pencerahan terhadap pembaca karyanya dengan tidak menghilangkan hal-hal yang berasal dari Tuhan (kodrati).
Abidah El Khalieqy menggambarkan pandangannya mengenai konsep feminisme ini melalui perwatakan masing-masing tokoh, terutama tokoh utama wanita, Annisa yang ada dalam novel tersebut. Abidah El-Khalieqy tidak hanya menghadirkan gambaran kondisi perempuan yang ada dalam dominasi laki-laki, tetapi juga menggambarkan tentang hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh kaum wanita. Bahwa, perempuan seharusnya menyuarakan hal-hal yang seharusnya menjadi haknya seperti pendidikan, persamaan kedudukan, dan penghormatan terhadap harga diri mereka sebagai sesama makhluk Tuhan. Novel Perempuan Berkalung Sorban lebih serius memfokuskan alur dan permasalahan cerita pada sosialisasi isu gender dan hak-hak reproduksi perempuan.
B. Analisis Novel dan Film Perempuan Berkalung Sorban
Dalam meceritakan poin demi poin kisah Perempuan berkalung Soban karya Abidah El-Khalieqy, tentu ada perbedaannya antara cerita pengarang novel dengan cerita penulis skenario, pebedaan tersebut seperti beriku ini.
1. Adegan 1
Kisah pembuka pada novel Perempuan Berkalung Sorban ialah ketika Anisa bermain-main di blumbang bersama kakaknya, Rizal. Hingga ia dimarahi oleh ayahnya karena telah mengajak Rizal main ke blumbang dan Rizal terjebur ke blumbang itu yang sebenarnya atas kebodohannya sendiri. Sementara dalam film dibuka dengan aksi Anisa ketika berkuda serta gelak tawa Anisa bersama Lek Khudori. Di film Anisa dimarahi karena kegiatan berkudanya yang dianggap pencilakan oleh orang tuanya. Di situ Anisa mencoba membela diri dengan menunjuk kedua kakanya yang boleh naik kuda, sementara ia tidak. Anisa juga membela diri ketika berada di meja makan, namun ia justru semakin dimarahi karena ia berbicara sasat makan. Menurut ayahnya, perempuan tidak boleh makan sambil bicara. Anisa membantah lagi dan justru memubuat keluarganya kehilangan nafsu makan, kecuali ibunya. Film tersebut menunjukkan bahwa hak perempuan sangat sempit dan Anisa melakukan pembelaan pertamanya tentang hak-hak itu. Perempuan boleh berkuda dan jika laki-laki boleh makan sambil berbicara, maka perempuan juga harus demikian.
2. Adegan 2
Di dalam film digambarkan Anisa memakai jilbab sejak ia duduk di bangku madrasah ibtidaiyah, sementara di novel setelah ia baligh.film tersebut ingin menunjukkan betapa ketat dan kerasnya ayah Anisa lebih dari yang dikisahkan di novel. Gambaran itu juga mewakili kehidupan di pondok, terlebih Anisa ialah putrid seorang kiyai pemilik pondok. Engan demikian Anisa dituntut untuk bisa lebih baik dari teman sebayanya bahkan menjadi contoh untuk mereka. Selain itu, pada novel ia diceritakan bersekolah di sekolah dasar. Sementara di film ia bersekolah di madrasah ibtidaiyah. Hal tersebut sangat lekat dan serasi dengan cerita yang bersetting pondok sentris.
3. Adegan 3
Ketika di dalam kelas, pada novel dikisahkan mengenai pelajaran mengeja(A-yah-per-gi ke kan-tor; I-bu me-ma-sak di-da-pur; Bu-di ber-ma-in di ha-la-man; A-ni men-cu-ci pi-ring) dan kala Anisa langsung protes kepada bapak guru mengenai hal tersebut, namun di ujung cerita Anisa hanya diam walaupun tidak terima dengan jawaban dari pak guru. Dan sesampaiya di rumah ia hanya kejelasan dari Sang bunda. Sementara dalam film, digambarkan suasana pemilihan ketua kelas. Pada pemilihan iu, Anisa lah yang mendapatkan vptt paling banyak. Namun , ia tidak boleh menjadi ketua karena ia seorang perempuan. Dan yang menjadi ketua justru rivalnya: Rizal. Saat itu juga Anisa melakukan pemberontakan dengan cara kabur dari kelas. Sesampainya di rumah ia justru dimarahi habis-habisan oleh ayahnya. Film ingin menghadirkan kisah keidakadilan gender yang lebih konkret. Ketidakadilan itu berupa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Dicontohkan dengan Anisa tidak bisa menjadi ketua kelas (pemimpin) karena ia perempuan, walaupun sebenarnya ia memenangkan votting.
4. Adegan 4
Di dalam film, sebelum pergi ke Kairo, Lek Khudori berpamitan pada Anisa. Dan nampak jelas dari sorot mata keduanya tidak ingin saling berpisah dan kehilangan. Namun di novel, hal tersebut tidak diceritakan, hanya tiba-tiba Lek Khudori berada di Kairo.dengan hal tersebut, Sutradara ingin menegaskan bahwa mereka benar-benar saling menyayangi da sangat dekat. Nuansa berpamitan itu juga sengaja disisipkan untuk member efek nuansa romantis atau cinta-cintaan. Sehingga manusiawi sekali bahwa putrid kiyai dan santri pondok juga bisa merasakan jatuh cinta.
5. Adegan 5
Ketika Anisa bersama Aisyah ke gedung bioskop dan digoda oleh seorang yang tidak dikenal, dalam novel mereka ditolong oleh tetangganya yang seorang tukang kebun sekaligus penjual benda-benda tajam, pak Tasmin namanya. Sementara dalam film mereka ditolong oleh dua orang santri dari pondoknya. Hal tersebut dibuat berbeda karena cerita akan lebih hidup dan logis jika Anisa ditolong oleh santri tersebut. Dan dengan begitu, berita bahwa Anisa pergi ke gedung bioskop akan lebih cepat sampai pada telinga ayahnya. Tanpa melibatkan Pak tasmin, maka tidak perlu terlalu banyak tokoh dan setting juga tidak akan meluas kemana-mana dan bisa fokus bersetting di pesantren.
6. Adegan 6
Dalam novel, setelah Anisa tamat SD dan telah menstruasi ia langsung dinikahkan. Sementara dalam film, ia telah lulus SMA dan bertekad mendaftar ke peguruan tinggi dan juga diterima.barulah setelah itu ia dipaksa menikah jika memang ingin lanjut studi. Dengan cerita yang demikian, sutradara ingi me-refresh-nya karena jika Anisa dinikahkan ketika ia lulus SD saja, maka cerita yang demikian itu seolah-olah terjadi di zaman Siti Nurbaya. Sehingga, Anisa dibuat lulus SMA terlebih dahulu dan diterima di universitas baru ia dipaksa menikah. Hal itu lebih fresh dimunculkan di tahun 2009-an daripada lulusan SD yang dipaksa menikah. Dan tak lupa sutradara menambahkan unsur-unsur materialisme dalam diri ayah Anisa yaitu ketika Anisa dijodohkan dengan Syamsudin,karena syam ialah putra seorang kiyai besar yang diharapkan dapat memperbaiki reputasi pesantren. Dan ketika lamaran, keluarga Syamsudin juga membeikan amplopan uang kepada keluarga Anisa. Hal tersebut menunjukkan fenomena yang terjadi saat ini bahwa suap menjadi salah satu cara untuk meraih keinginan. Dan seorang kiyai juga manusoa biasa yang tidak sempurna dan mempunyai sifat butuh terhadap dunia.
7. Adegan 7
Pemaksaan hubungan suami istri yang dilakukan symsul terhadap Anisa diwakili oleh adegan Anisa dipaksa melakukannya di kamar mandi dan juga ia dipaksa kala sedang menstruasi. Hal itu tidak diceritakan terlalu runtut seperti pada novel karena diharapkan hal-hal semacam itu tidak dapat menodai kisah film yang berbau religi. Dalam film juga diceritakan bahwa Anisa lebih beranni kepada Symsudin. Dicontohkan di situ Anisa sampai menodong Syam dengan gunting dan mencoba kabur dari rumah, hingga Syam berlutut pada Anisa. Hal tersebut menggambarkan bahwa Anisa adalah wanita yang benar-benar tidak terima jika harga dirinya diinjak-injak dan diperlakukan tidak adil.
8. Adegan 8
Dalm novel dikisahkan bahwa Anisa dan Mbak Kalsum begitu akrab karena kesamaan nasib mereka sebagai isteri Symsudin yang beringas, namun dalam film tidak demikian. Hal tersebut dibuat untuk menunjukkan betapa menderitanya Anisa dan tidak punya seorang pembela pun. Hal itu juga mencerminkan kehidupan rumah tangga poligami yang biasanya antara istri pertama dan kedua memang tidak bisa rukun.
9. Adegan 9
Dalam novel, Anisa begitu gembira dengan kedatangan leknya dan melupakan semua kesalahannya. Namun di film, kebahagiaan itu dicampuri oleh perasaaan kesalnya tengah ditinggal dulu sehingga ia harus menikah dengan Syamsudin karena ia tidak lagi mempunyai pembela.hal tersebut untuk menunjukkan sifat manusiawi Anisa yang keras kepala.betapa pun ia sangat saying dan rindu pada leknya, namun kenangan ditinggal hingga harus terjerumus pada syamsudin membuat Anisa sakit hati dan menyalahkan leknya.
10. Adegan 10
Adegan fantastis dan ekstrim dari kisah itu ialah variasi perceraian Anisa dengan Syamsudin dan perluasan ceritanya. Dalam novel dikiahkan perceraian Anisa dengan Syamsudin berlangsung dengan baik melalui perantara hakam. Dan perceraian itu atas kesepakatan dari seluruh keluarga anisa, dan ia menjadi janda yang terhormat. Sementara di film, perceraian itu dilakukan oleh Syamsudin yang mentalak anisa di hadapan orang banyak. Mulanya ialah ketika Lek Khudori ingin bertemu dengan Anisa di sebuah gubuk untuk kejelasan keadaan rumah tngga Anis dengan Syam. Di situ Anisa terbakar nafsu untuk bisa segera lepas dari Symsudin. Anisa mengumbar cinta dan kerinduannya pada Lek Khudori. Ia minta agar Khudori mencumbunya dan menzinahinya sampai-sampai Anisa melepas kerudungnya untuk itu. Untung Khudori mampu menenangkannya, dan ketika Anisa tenang justru dengan tiba-tiba Syamsudin yang tau keberadaan mereka dari surat Khudori pada Anisa yang disimpan dalam diari Anisa muncul dan membesar-besarkan masalah tersebut. Syamsudin menuduh Anisa berzina denngan bukti kerudung Anisa yang tengah lepas. Dan ketika Anisa di talak oleh syamsudin, tiba-tiba ayah Anisa terkena serangan jantung hingga meninggal saat itu juga. Variasi dan perluasan cerita tersebut bermaksud menunjukkan suatu dampak yang sangat buruk akan terjadi jika seseorang menjalani sesuatu dengan nafsu yang menbara dan menuruti bisikan setan. Mengambil keputusan ketika sedang emosi juga tidak baik sehingga tokoh Anisa harus kehilangan ayahnya, bahkan ia belum sempat minta maaf pada ayahnya. Penyesalan selalu di akhir.
11. Adegan 11
Dalam novel diceritakan bahwa Khudori lebih agresif daripada Anisa, yaitu setelah makan sate terlalu banyak, Khudori yang mengajak Anisa untuk berhubungan suami-istri. Sementara dalam film Anisa dibuat lebih agresif, ketika selesai makan di luar dan khudori mengajak jaln-jalan lagi Anisa justru minta untuk pulang ke rumah saja. Setiba di rumah Anisa berdandan cantik dan mendahului mengajak berjimak. Sutradara membuat demikian untuk menunjukkan feminism lebih kuat lagi. Jadi, seorang perempuan juga boleh mengajak lebih dulu tidak harus menunggu dan dikuasai oleh kaum lelaki. Baik suami ataupun istri mempunyai hak yang sama untuk memulai berhubungan dan menolak sesuai keadaan yang ada.
12. Adegan 12
Dalam novel diceritakan bahwa kendaraan yang dimiliki Khudori dan Anisa adalah mobil, sementara di film mereka hanya mempunyai motor butut. Hal itu untuk memaknai bahwa kehidupan Anisa dan Khudori tidak begitu mewah; hanya sederhana.
13. Adegan 13
Dalam novel tidak dijelaskan kejadian ketika Khudori kecelakaan hingga meninggal, sementara film memilih untuk menceritakan itu. Sutradara membuat demikian agar penonton tau dan lebih paham atau sependapat dengan Anisa bahwa kecelakaan yang dialami oleh Khudori adalah sebuah kesengajaan. Di film terlihat jelas bahwa Khudori dibuntuti oleh sebuah mobil sejak lama, dan ketika ia terjatuh mobil itu justru dengan sengaja menabraknya. Dan hal itu jelas bukan kecelakaan, melainkan pembunuhan.
14. Adegan 14
Adegan tambahan yang terjadi dalam film ialah ketika Anisa kembali ke pondok pesantren peninggalan ayahnya dan menyebarkan buku-buku selain kitab-kitab pondok kepada para santri, khususnya santri putri. Kemudian ia juga membangun perpustakaan umum di dalam pesantren. Dan tentunya pembangunan itu dengan perjuangan yang tidak mudah, mulai dari bertengkar dengan keluarganya dan para pengurus pondok hingga semua buku yang ia miliki dibakar habis oleh pihak pesantren. Namun anisa tidak pernah menyerah hingga keinginannya untuk membangun perputakaan tersebut menjadi sebuah kenyataan. Hal tersebut dimunculkan untuk menambah renteten perjuangan Anisa untuk mengankat hak dan kebebasan kaumnya, itu juga menegaskan betapa Anisa sangat cinta dengan ilmu dan selalu berjuang untuk menyebarkan ilmu.