Perkokoh Fondasi Mental Pemuda Indonesia di Tengah Gempuran Globalisasi
dengan Menumbuhkan Semangat Nasionalisme Religius
oleh: Nurhidayah
Suatu hal yang patut dibanggakan bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara kepulauan di dunia yang dianugerahi dengan beragam kekayaan alam maupun kekayaan budaya. Begitu banyak budaya daerah yang tersebar di seluruh tanah air yang bermuara menjadi budaya nasional bangsa Indonesia. Perbedaan tersebut tidak lantas menjadi alasan untuk berpecah belah ataupun terkikisnya solidaritas di kalangan masyarakat Indonesia. Hal itu tidak pula layak untuk dijadikan benteng perlindungan bagi tumbuh kembangnya sikap sukuisme yang pada akhirnya merupakan kendala dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Menyikapi kondisi aktual yang berkembang, bangsa ini dihadapkan pada dua tantangan. Pertama, menjaga kemurnian esensi dan hakikat nasionalisme, yang berarti juga menjaga kemurnian nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, berupaya secara aktif mengantisipasi perkembangan situasi zaman khususnya arus globalisasi yang sedemikian hebat pengaruh implikasinya bagi kehidupan berbangsa dan beragama. Pada gilirannya, dalam mengawal reformasi yang terus bergulir, maka semangat nasionalisme religius pemuda perlu digugah kembali.
Dalam konteks Indonesia, nasionalisme yang mendasarkan diri pada nilai-nilai kemanusiaan (perikemanusiaan) yang hakiki dan bersifat asasi. Tujuannya, mengangkat harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan setiap bangsa untuk hidup bersama secara adil dan damai tanpa diskriminasi di dalam hubungan-hubungan sosial. Nasionalisme Indonesia sesungguhnya berbeda dengan nasionalisme bangsa-bangsa Eropa dan Amerika. Nasionalisme Indonesia dilandasi dengan semangat keberagaman dan keber-agama-an. Semangat yang lahir dari Pancasila sebagai ideologi negara, dengan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, dan menjadi tonggak bagi sila-sila selanjutnya.
Para tokoh pengusung Pancasila sebagai dasar negara Indonesia meyakini, agama tidak mungkin dipisahkan dengan negara. Dengan melandasi pada pengamalan nilai-nilai keagamaan, negara bisa menjalankan perannya dengan lebih baik, di mana agama tetap menjadi kontrol terhadap negara. Dalam konteks ini, nasionalisme Indonesia dengan dasar Pancasila adalah nasionalisme religius, yakni nasionalisme yang tetap menjadikan agama sebagai dasar. Namun, agama yang dimaksud di sini bukanlah satu agama tertentu, melainkan seluruh agama yang diakui oleh negara.
Nasionalisme religius merupakan perpaduan antara semangat kebangsaan dan keber-agama-an. Nasionalisme Indonesia bersumber kepada Pancasila, sedangkan semangat religius bersumber kepada ajaran Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat. Kedua unsur tersebut saling mengisi yang melahirkan semangat nasionalisme yang beragama dan semangat beragama yang nasionalis. Sejumlah aktivis pemuda menilai prinsip nasionalisme dalam diri pemuda Indonesia umumnya telah mengalami degradasi lantaran terus menerus tergerus oleh nilai-nilai dari luar. Kondisi ini terlihat semakin parah karena belum adanya pembaharuan atas pemahaman dan prinsip nasionalisme dalam diri pemuda. Jika kondisi dilematis itu tetap dibiarkan, bukan tidak mustahil degradasi nasionalisme akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemuda Indonesia umumnya belum sadar akan ancaman arus global yang terus menerus menggerogoti identitas bangsa. Tidak dapat dipungkiri, semakin ke timur kondisi alam Indonesia semakin kering dan panas, hal itu menyebabkan sifat dan karakter masyarakatnya juga menjadi semakin tempramental, sensitif dan mudah tersinggung. Alhasil, sikap sukuisme tumbuh subur di kalangan masyarakat Indonesia.
Ironisnya, fenomena yang kita temui dalam masyarakat saat ini adalah salah satu hari bersejarah yang menentukan kelanjutan nasib bangsa Indonesia hanyalah dijadikan rutinitas biasa, atau peringatan tahunan yang lewat begitu saja tanpa pemaknaan yang mendalam. Parahnya, jangankan untuk memahami makna di balik arti sumpah pemuda itu sendiri, masih ada saja sebagian bahkan banyak pemuda yang tidak mengetahui kapan hari sumpah pemuda itu. Dengan santainya dan tanpa rasa bersalah sedikitpun mereka berdalih “yang lalu biarlah berlalu, tidak baik mengungkit-ungkit masa lalu”. Jika kondisi pemuda kita seperti ini, lalu bagaimana nasib bangsa kita ke depan? Bukankah pemuda disebut-sebut sebagai agent of change yang diharapkan mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik? Ironis memang, jika bangsa Indonesia sendiri enggan untuk mungkin sekedar tahu hari besar dalam sejarah bangsanya. Padahal bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu sejarah bangsanya.
Potret buram kondisi pemuda saat ini nampak jelas di depan mata. Mungkin ada sebagian putra-putri bangsa ini yang telah mengharumkan nama bangsa di mata dunia lewat berbagai prestasi yang mereka torehkan. Akan tetapi, tidak sedikit pemuda-pemudi bangsa dengan berbagai masalah yang dianggap sudah lumrah dan biasa terjadi di kalangan pemuda, seperti tawuran, seks bebas, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya. Mereka berlomba-lomba berkiblat pada dunia barat. Tampaknya gaya hidup western telah menyulap pemuda negeri ini menjadi lupa akan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang masih memegang teguh budaya timur.
Globalisasi bisa menguntungkan apabila kita menyikapinya dengan benar. Letak dari masalah ini menunjukkan bahwa kurang kokohnya fondasi mental dari para pemuda yang tentunya berpangkal dari bagaimana mereka memperoleh pendidikan pertama dalam keluarga. Jika pemuda bangsa telah dibekali pendidikan mental maupun lahiriah yang kuat maka hal tersebut tidak akan terjadi. Sebab jika dibandingkan bagaimana cara mendidik orang dulu jauh sebelum perkembangan teknologi mempengaruhi hidup mereka tampak berbeda dengan kondisi sekarang, di mana teknologi komunikasi dan informasi berkembang dengan pesatnya, dan segala sesuatu menjadi sangat mudah. Seakan tidak ada yang tidak mungkin terjadi.
Komisi Nasional (KOMNAS) HAM dan perlindungan anak yang hadir menuntut keras sekecil apapun kekerasan pada anak. Hasilnya memang sebanding, bermunculan anak-anak dengan prestasi yang gemilang. Namun sedikit hambar, karena tidak dibarengi dengan fondasi keagamaan yang kokoh. Jika kita perhatikan, tampak ketidakseimbangan antara IQ (Intelegent Quetient), EQ (Emotional Quetient), dan SQ (Spiritual Quetient). Akibatnya, korupsi terjadi di mana-mana. Ironisnya, pelaku korupsi bukanlah orang yang tidak berpendidikan, melainkan seseorang dengan rentetan gelar di belakang namanya yang cukup menjadi bukti bahwa mereka adalah orang-orang dengan tingkat intelektual yang tinggi. Inikah hasil cetakan zaman modern? Mungkin berhasil secara materiil tapi nol besar untuk pendidikan mental.
Perlu disadari, bahwa paham radikalisme tumbuh berkembang paling subur adalah dikalangan pemuda. Semangat pembaharu yang dimiliki para pemuda menjadikan mereka sebagai cadangan keras (iron stock) sekaligus agen perubahan (agen of change) yang sangat efektif untuk membangun negeri.
Para pemuda Indonesia secara umum terbagi menjadi 3 golongan besar. Pertama, mereka yang sangat aktif dalam gerakan keislaman. Umumnya golongan ini anti terhadap nasionalisme, dan menganggap nasionalisme tidak sejalan dengan Islam. Pada golongan inilah radikalisme tumbuh dengan subur. Selama ini, golongan inilah yang menjadi objek operasi dari proyek penanggulangan terorisme yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Golongan kedua adalah mereka yang semangat nasionalismenya tinggi, namun sangat anti dengan gerakan Islam. Mereka berpandangan bahwa gerakan Islam justru mengancam keutuhan NKRI. Negara harus dibangun dengan prinsip-prinsip sekularisme sebagaimana yang diterapkan di Barat. Aksi-aksi dari golongan ini nyatanya justru sering berhadapan secara diametral dengan golongan yang pertama.
Golongan ketiga, yang masih merupakan golongan terbesar saat ini, adalah mereka yang tidak terlalu consern terhadap gerakan Islam, tetapi juga bersikap masa bodoh terhadap perkembangan negeri. Mereka larut dengan globalisasi, sibuk dengan dunianya sendiri, bahkan cenderung bersifat anti sosial. Sosialisasi mereka hanya dilakukan di dunia maya. Sedangkan dunia nyatanya hanya dihabiskan pada model “peci” (pesta dan cinta).
Pemerintah Indonesia seharusnya mengupayakan dengan serius lahirnya golongan yang keempat, yaitu golongan pemuda yang nasionalis, namun tetap religius dan mampu mengembangkan teknologi. Generasi ini merupakan generasi terbaik untuk membangun negeri ini. Semangat nasionalisme pemuda, jika diimbangi dengan religiusitas yang kuat, akan melahirkan sebuah generasi dengan kekuatan perubah yang besar.
Pertanyaan paling penting adalah, bagaimana menumbuhkan semangat nasionalisme religius ini ditengah gempuran globalisasi yang demikian hebat? Semangat nasionalisme religius harus ditumbuhkan pada generasi muda dengan berbagai cara, yakni:
a. Pendidikan formal
Semangat nasionalisme religius bisa ditumbuhkan melalui pendidikan formal dimulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Caranya bisa dengan memasukkan semangat nasionalisme religius ini ke dalam kurikulum pelajaran tertentu seperti PKn, sejarah dan sebagainya. Metode pengajarannya disesuaikan dengan usia peserta didik. Meskipun diajarkan di sekolah, metode pengajarannya bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya story telling kisah para pahlawan, menonton film perjuangan, pentas drama, baca puisi, dan sebagainya. Cara mengajarkan anak semangat nasionalisme religius tidak perlu dengan cara yang dogmatis. Seorang anak akan lebih mudah menerima pesan dengan cara penyampaian yang menyenangkan. Jika semangat nasionalisme religius ini secara konsisten ditanamkan sejak anak-anak hingga menjadi mahasiswa maka ia akan tertanam dalam sanubari. Dengan begitu generasi muda tidak akan mudah terpedaya oleh rayuan ideologi yang justru akan merusak bangsa. Untuk itu, pemerintah harus membuat kurikulum pendidikan yang memuat semangat nasionalisme religius secara berkesinambungan.
b. Pendidikan non formal
Selain melalui pendidikan formal, menumbuhkan semangat nasionalisme religius juga bisa dilakukan melalui pendidikan non formal. Misalnya semangat nasionalisme religius bisa ditumbuhkan melalui pengajian di pesantren. Begitu juga dengan pengajian remaja masjid, Rohis SMA atau kampus, taman pendidikan Al Quran dan sebagainya. Jika mungkin ada sesi pengajian khusus bertema cinta tanah air dan semacamnya. Mungkin juga semangat kebangsaan ini selalu diselipkan di sela-sela pengajian dengan tema yang berkaitan. Metode pengajarannya tidak mesti kaku dan terkadang membosankan. Dengan demikian diharapkan semangat kebangsaan ini bisa merasuk ke semua elemen generasi muda.
c. Sosial media
Saat ini penggunaan sosial media di kalangan pemuda Indonesia sudah menjadi hal biasa. Bahkan berdasarkan laporan tahunan dari We Are Social, sebuah agensi marketing sosial, dari 262 juta penduduk Indonesia, sekitar 132,7 juta pengguna aktif internet, 106 juta pengguna aktif sosial media, dimana 92 juta penggunanya mengakses sosial media menggunakan perangkat mobile [1]. Waktu yang digunakan untuk mengakses sosial media rata-rata selama 3 jam 16 menit dalam sehari. Data lain dari hasil studi berjudul “Digital Citizenship Safety among Children and Adolescents in Indonesia” (Keamanan Penggunaan Media Digital pada Anak dan Remaja di Indonesia) yang diadakan oleh UNICEF bermitra dengan Kementerian Kominfo serta Berkman Center for Internet and Society, Harvard University menyatakan bahwa setidaknya 30 juta anak-anak dan remaja di Indonesia merupakan pengguna internet, dan media digital saat ini menjadi pilihan utama saluran komunikasi yang mereka gunakan [2]. Berdasarkan data di atas, bisa disimpulkan bahwa mayoritas pemuda mayoritas sudah menggunakan internet dan mereka menjadikan sosial media sebagai salah satu sarana untuk melakukan komunikasi. Untuk itu, salah satu cara menumbuhkan semangat nasionalisme religius bisa dilakukan dengan menggunakan sosial media. Pemerintah, partai politik dan pihak yang berkepentingan lainnya bisa melakukan kampanye untuk meningkatkan semangat kebangsaan melalui sosial media. Kampanye tersebut bisa berupa pemuatan tulisan berisi berita atau cerita, gambar, video dan sebagainya. Tentu saja penyajiannya harus menarik agar para pemuda mau membaca atau melihatnya.
d. Film dan Musik
Salah satu hal yang paling disukai oleh generasi muda adalah film dan musik. Kedua sarana hiburan ini sangat efektif untuk mempengaruhi para pemuda. Kita bisa melihat bagaimana penyebaran budaya, ideologi, trend busana dan lain sebagainya dengan mudah dilakukan melalui dua media ini. Oleh karena itu, film dan musik bisa dijadikan sarana penumbuhan semangat nasionalisme religius untuk generasi muda. Dengan kehadiran film bertema kepahlawanan, belajar keteladanan seorang pahlawan jauh lebih mudah daripada hanya sekedar membaca riwayat hidupnya di buku sejarah. Semangat kebangsaan yang pahlwan miliki pun lebih mudah ditularkan kepada generasi muda. Film seperti ini jauh lebih bermanfaat karena punya misi mendidik dengan tidak melupakan aspek hiburannya. Selain itu, musik yang bertema semangat kebangsaan pun bisa dirangsang untuk muncul ke permukaan. Salah satu caranya yaitu dengan mengadakan festival musik yang menampilkan hasil karya cipta generasi muda. Rangsangan yang diberikan bisa berupa hadiah dan kesempatan untuk tampil di televisi nasional. Jika lomba seperti ini sering dilakukan maka akan lahir banyak lagu-lagu bertema cinta kepada negara. Tentu akan sangat terasa berbeda ketika para pemuda tidak hanya bisa bersenandung lagu asmara tapi mereka menyanyikan lagu-lagu cinta kepada bangsa. Syair lagu yang sering dinyanyikan akan mempengaruhi pikiran dan perasaan. Jika syair yang dilantunkan bernada positif tentu akan memberi semangat dan motivasi.
Pemahaman yang utuh terhadap Islam, sejatinya akan melahirkan rasa cinta tanah air. Nasionalisme yang lahir sebagai buah dari pemahaman Islam yang utuh, akan menjadi nasionalisme religius yang kokoh, tidak mudah tergerus oleh globalisasi, dan mempunyai imunitas yang mumpuni terhadap paham-paham radikalisme. Ia adalah sebuah kekuatan yang besar, yang mampu mendorong bangsa beberapa tingkat lebih maju.
Dengan memfokuskan diri pada pembangunan nasionalisme religius dikalangan pemuda, pemerintah sesungguhnya telah menyelesaikan beberapa PR sekaligus. Pemuda sebagai tulang punggung bangsa menjadi lebih optimal dan berdaya, paham radikalisme yang merusak bisa diminimalisir bahkan dihilangkan, semangat nasionalisme bangsa bisa semakin ditumbuhkan, dan ideologi Pancasila bisa ditegakkan.
Saatnya membangun bangsa. Bukan saatnya lagi ada pertarungan sesama anak bangsa, apalagi pertarungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Saatnya Indonesia mampu berbicara lebih banyak dipentas dunia. Saatnya membangun bangsa, dengan menumbuhkan semangat nasionalisme religius di kalangan pemuda.
Sumber data:
[1] http://wearesocial.com/sg/blog/2017/02/digital-southeast-asia-2017
[2]https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3834/Siaran+Pers+No.+17-PIH-KOMINFO-2-2014+tentang+Riset+Kominfo+dan+UNICEF+Mengenai+Perilaku+Anak+dan+Remaja+Dalam+Menggunakan+Internet+/0/siaran_pers
No comments:
Post a Comment