Tuhan, Aku Rindu Kedamaian
oleh: Nurhidayah
Sang surya menjelang disambut dengan suara merdu sang ayam. Semua orang sudah bersiap untuk melakukan kegiatan. Ayah dan ibu Aje bangun lebih awal, kemudian adik-adik Aje, disusul Aje yang bangun lebih lambat dua jam dari yang lain. Puang Ashar, begitu orang-orang menyapa ayah Aje, segera membuka bengkelnya seperti yang ia lakukan setiap harinya, setiap paginya. Bengkel merupakan sumber penghasilan Puang Ashar -puang merupakan sapaan sebagai bentuk rasa hormat kepada orang lain, begitu budaya yang ada di Bone-, hasil yang didapatkan dari pekerjaannya di bengkel yang tidak lain adalah miliknya sendiri digunakan untuk menghidupi keluarganya. Puang Meri, sapaan untuk ibu Aje, tak kalah sigapnya bangun awal untuk melakonkan perannya sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya.
Dari beberapa keluarga yang hidup di desa tempat Aje tinggal, keluarga Aje termasuk keluarga yang serba berkecukupan. Apa yang diinginkan selalu dipenuhi oleh orang tuanya, begitu pun ketiga adiknya. Karena itulah, orang-orang disekitar menganggap keluarga Aje sangat boros. Tak jarang keluarga dekat menegur Puang Ashar maupun Puang Meri untuk tidak terlalu memanjakan anak-anaknya atau menuruti semua keinginannya. Namun, bagi orang tua Aje, itulah cara untuk membahagiakan anak-anaknya, tak peduli dengan apa yang ia berikan, yang penting anak-anaknya senang.
Aje, anak sulung, putra mahkota di keluarganya, sangat menikmati hidupnya yang selalu dimanja. Merasa semua yang ia minta selalu dikabulkan oleh raja dan ratu di keluarganya, jadilah Aje anak yang malas. Apapun yang diinginkan, ia hanya minta, dan orang tuanya pun lantas mengabulkan. Aje tak pernah berusaha untuk menjadi anak yang mandiri. Hal tersebut pun terjadi pada adik-adiknya, manja pula.
Tak sedikit orang-orang di sekitar tempat tinggal keluarga Aje merasa iri dengan kehidupannya, terlebih teman sebayanya. Namun, tak sedikit pula yang mengambil kesempatan untuk dekat dengan Aje sebagai teman, teman yang memanfaatkan Aje.
Pengaruh dari teman-teman Aje membuat sikap manja Aje semakin menjadi-jadi. Setiap hari Aje menghabiskan uang untuk bersenang-senang bersama teman-temannya, teman yang memanfaatkan sikap manja Aje. Puang Ashar dan Puang Meri tak mau ambil pusing tentang hal itu, mereka tetap saja menuruti apapun yang diinginkan oleh Aje.
Keharmonisan keluarga Aje masih tetap terjaga hingga suatu ketika permasalahan mulai menimpa keluarganya. Puang Meri, ibu Aje, menjadi perempuan yang hedonis. Boros dan bergaya hidup mewah. Hal itu membuat ayah Aje, Puang ashar, kerja keras, menguras tenaga dalam raganya dari bengkel buka di pagi hari hingga bengkel ditutup ketika sepi pengunjung, di malam hari. Bahkan, seringkali
Puang Ashar buka 24 jam untuk meraup penghasilan lebih. Anak-anak yang manja, ibu yang boros, ayah yang dengan sabarnya tetap gigih bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, begitulah kehidupan keluarga Aje. Meski demikian, Aje tetap saja seperti biasanya. Melakukan apapun yang ia senangi. Meminta yang ia inginkan. Menghabiskan yang ia miliki. Kasih sayang orang tua di mata Aje adalah seberapa banyak uang yang diberikan orang tuanya.
Entah pengaruh apa dan dari mana yang merasuki ibu Aje, kian hari menjadi sangat boros. Hingga belakangan diketahui bahwa ibu Aje memiliki hutang di salah satu cabang Bank yang ada di Bone. Tak hanya itu, tetangga dan kerabat menjadi sasaran Puang Meri untuk meminjam uang. Tak jelas Puang Meri apakan uang yang dipinjam itu. Kehidupan keluarga Aje berubah drastis. Lilitan hutang membuat ibunya kerap kali meninggalkan rumah mencari pinjaman untuk membayar pinjaman lainnya. Orang-orang disekitar yang dulunya iri, kini miris melihat kehidupan keluarga Aje. Siapa yang menyangka, berawal dari sebuah kesalahan kecil akhirnya seluruh tahta yang megah di bangun harus hancur berkeping tanpa sisa. Tak lain karena sebuah spekulasi dan perhitungan yang tak cermat, terlalu menggampangkan masalah kecil dan akhirnya harus menerima akibat buruknya.
Sifat manja Aje masih tetap melekat ditengah kondisi keluarga yang terhimpit. Perlahan Aje mulai merasa kesepian lantaran satu persatu temannya merenggangkan jarak dengan Aje. Adik-adik Aje sudah tak terurus lagi. Tak ada keharmonisan yang terlukis di kanvas kehidupan keluarga Aje. Meski demikian, Aje masih sering ngotot meminta apapun yang diinginkan. Jika tidak dipenuhi, Aje bahkan berani memberontak pada ayah dan ibunya.
Suatu pagi, Aje terbangun dari tidur lelapnya. Mеntаri pun tеrbаngun dаri ѕinggаѕаnаnуа mеnghаngаtkаn bumi dаri dingin tаdi mаlаm sehingga membuat suasana disekitarnya hening hingga tiba-tiba suara piring jatuh dan tamparan menggantikan keheningan yang ia rasakan. Secepatnya Aje beranjak dari kamarnya. Di ruang makan ia menyaksikan pertengkaran kedua orangtuanya.
“Ibu punya selingkuhan, Kak”, bisik adik Aje yang pertama, Nurul.
“Hutang, bukan selingkuhan”, bantah Aje.
“Saya sudah mendengar semua percakapan mereka sebelum kakak berdiri di
sini. Saya masih bisa bedakan yang mana hutang, yang mana selingkuhan”, tegas Nurul.
Tanpa berkata apapun, Aje langsung pergi dan menyambar kunci motor di gantungan ruang tengah rumah kemudian melajukan motornya dengan sangat-sangat cepat meski tak tahu tujuannya ke mana. Dalam perjalanan ia teringat pada kejadian tadi. Ingin melarikan diri dari dunia ini dan melarikan diri dari semua kenyataan hidup ini tapi tetap saja Aje tak bisa. Karena tak ada pilihan lain selain kembali ke rumah, Aje banting setir, pulang dengan kekesalan dan kekecewaan yang menumpuk di dadanya, sesekali ia merasa sesak.
Di dalam kamarnya, Aje menghempaskan tubuh ke tempat tidur dan menutup wajahnya dengan bantal. Tanpa disadari, air bening keluar di sudut-sudut kelopak matanya yang bertanda bahwa ia sudah tidak dapat menahan kesedihan. Yah… Aje menangis, menangis karna malangnya hidupnya, menangis atas nasibnya. Nasib menjadi anak dari orang tua yang terlilit hutang dan jerat perselingkuhan. Masalah demi masalah membuat hubungan ibu dan ayah Aje tak lagi baik, dengan ekonomi yang kurang mencukupi, emosi yang susah dikendalikan membuat ayah dan ibunya sering bertengkar setiap malam, sehingga Aje terbangun dari tidurnya. Ia merasa tertekan, ingin cerita tapi tak tahu dengan siapa. Adiknya? Jika ia cerita kepada adiknya, sama saja ia menekan adik-adiknya juga. Sisi kedewasaan Aje mulai terlihat dari sikapnya itu.
Mаlаm dingin mеnеmаni, ѕimраng ѕiur ѕuаrа jаngkrik уаng khаѕ mеnjаdi muѕik реngiring tidur. Jam dinding tua di kamar yang bernuansa biru berbunyi hingga 10 kali tanda malam itu tepat pukul 22.00 WIB. Mata Aje masih menolak merapatkan kedua kelopaknya. Amat susah memejamkan mata. Entah karena memang enggan untuk terlelap atau karena telinga bising karena mendengar adu mulut antara dua manusia paruhbaya berlain jenis. Siapa lagi? Merekalah orang tua Aje. Masih saja tidak pernah bisa menyelesaikan masalah tanpa bertengkar. Seolah terbiasa mendengar mereka beradu mulut, Aje hanya diam mengintip dari celah pintu kamar. Batinnya meronta seakan ingin melerai dan menghentikan pertengkaran itu. Namun, Aje kembali berfikir atas resiko yang akan ia dapatkan jika melakukan kebodohan itu.
Tak ada yang berubah, bahkan semakin buruk. Nurul, adik pertama Aje, telah manamatkan SMP-nya namun tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMA karena tak ada biaya. Nurul hanya tinggal di rumah, mengurus ayah dan kedua adiknya karena ibunya jarang tinggal di rumah. Aje yang telah lulus SMA, tak punya kesempatan untuk mengecap bangku kuliah. Ia bahkan berniat untuk bekerja. Yah, jika tidak bisa mengurangi, setidaknya tidak menambah beban orang tuanya. Sikap manjanya benar-benar telah meluruh karena masalah yang menimpa keluarganya. Niat Aje untuk bekerja ia sampaikan kepada ayahnya.
“Saya mau kerja Pak”, kata Aje dengan nada suara yang rendah.
“Mau kerja apa kamu?”, jawab Puang Ashar dengan ketus.
“Ada orang yang ajak saya berlayar Pak. Saya memang belum pernah berlayar, tapi tidak ada salahnya kalau saya coba. Kan kita tidak tahu seberapa berat atau ringannya pekerjaan kalau tidak dicoba”, bujuk Aje. Puang Ashar luluh dengan bujukan anaknya. Jika saja kondisinya agak baik dari yang sekarang, ia tak akan membiarkan anaknya mengorbankan masa muda yang seharusnya dihabiskan di bangku kuliah, malah dihabiskan di tengah laut dan terpaan ombak. Aje sengaja tidak memberitahu ibunya kalau ia ingin pergi berlayar. Mungkin ibunya akan melarang atau mungkin tidak. Keduanya sama saja, akan membuat Aje sakit hati.
Berlayar memang tak semudah yang Aje pikirkan, ia harus kerja keras. Namun, lelah yang ia rasakan tidak seberapa dibanding pengorbanan orang tuanya. “Bukankah sudah cukup melihat mereka terbebani dengan masalah mereka? Saya tidak ingin melihat mereka bersedih lalu juga terbebani karena penderitaan yang ku rasakan di sini?”, gumam Aje.
Sudah dua bulan lamanya Aje bertaruh di tengah laut. Kabar buruk pun sampai ditelinganya bahwa ayah dan ibunya akan segera cerai. Aje menangis, batinnya terasa dicabik-cabik, tak sepantasnya ia merasakan itu, ia sangat tertekan, menangis dan berdoa semoga ini hanyalah mimpi. Nyatanya, orang tuanya benar-benar bercerai. Aje menganggap dirinya hanya menjadi sisa dari perpisahan orang tuanya. Aje sangat terpukul, orang-orang yang menjadi alasan mengapa ia berada di tengah laut telah mengoyak harapan dan mematahkan semangat hidupnya. Meski demikian, Aje tak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak berdaya. Di saat Aje termenung di ujung ruang. Berselimutkan sayatan dingin angin malam. Paras yang seolah mencerminkan kebahagiaan, namun jiwanya telah hancur berkeping. Memang, dengan usianya yang masih muda, tak seharusnya Aje mengalami peristiwa yang teramat pahit. Kehidupan yang tak diinginkan, sama sekali tidak diharapkan, tak pernah terbayangkan.
Telepon genggam milik Aje berdering memecahkan kesunyian. Segera ia angkat telepon yang sempat ia tatap selama lima detik, ternyata dari ibunya, Puang Meri.
“Aje, apa kabar? Bagaimana keadaanmu di sana Nak?” suara lembut Puang Meri kini kembali didengar Aje.
“Alhamdulillah baik, Bu” jawab Aje sambil menggigit bibir lantaran menahan tangis. “Bu, saya mau pulang”, Aje kembali melanjutkan.
“Iya Nak, pulang secepatnya. Ibu sudah sangat rindu”, jawab ibunya dengan isak tangis. “Besok ibu pesankan tiket online, jadi kamu bisa langsung pulang, tidak perlu repot beli tiket lagi”, lanjut Puang Meri.
Aje hanya mengiyakan tawaran dari ibunya kemudian menutup telepon.
Memang sulit menerima kenyataan bahwa orang tuanya telah pisah. Bukan hal mudah menjalani peran sebagai anak dari orang tua yang telah pisah. Hingga kemudian, saat Aje mulai terasa lelah menapak alur skenario hidup, dalam pemberhentian di antara terik untuk sejenak mengusap peluh, ia belajar menatap titah hidup dari sudut pandang lain lain, tak bisa ia dapatkan. Aje mengungkapkan keluh dan kesah kepada Tuhan melalui secarik surat. Tanpa surat pun, Tuhan sudah tahu apa yang Aje rasakan. Aje tahu itu, namun ia tetap menulis surat.
Tuhаn,
Duniа ku bеgitu kеjаm
Siаng уаng ku lаlui раnаѕ mеmbаkаr tubuh
Mаlаm уаng ku ѕinggаhi membuatku menggigil
Luараn аmаrаhku ingin ku аkhiri
Kеѕаbаrаnku tеlаh diаmbаng bаtаѕ
Aku ingin bеrрulаng
Tuhаn,
Jаngаn раkѕа аku hiduр реnuh kеjеnuhаn
Jаngаn раkѕа аku bеrtаhаn lеbih lаmа
Sааt ѕеnуum уаng tеrlukiѕ tеlаh tеrhарuѕ аir mаtа
Aku tаk ѕаngguр
Tuhаn jаngаn hukum аku уаng tаk ѕаngguр
Jаngаn mаrаhi аku ѕереrti Aуаh dаn Ibu
Jаngаn ѕаlаhkаn аku jikа аku iri раdа mеrеkа
Tuhаn аku hаnуа ingin dеkар hаngаt реlukmu
Karena aku rindu kеdаmаiаn
Begitulah Aje mengakhiri hidupnya. Ia melihat laut luas yang tenang, tentunya akan menerimanya, tidak akan meninggalkan, mencampakkan, dan membuangnya. Aje memejamkan matanya, melemaskan tubuhnya, jatuh, melayang, kemudian tenggelam.
Damai.