BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terlepas dari berbagai macam pengelompokan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F. Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Banyaknya ilmu pengetahuan yang telah kita dapat dan yang berada disekeliling kita. Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini sangatlah pesat. Tidak jarang, kemajuan ilmu dan teknologi serta pengetahuan yang kita dapat yang terus berlangsung hingga saat ini, membuat banyak manusia khawatir, bingung dan banyaknya terjadi kesalahpahaman terhadap sebuah ilmu dan pengetahuan yang kita peroleh dari berbagai sumber.
Manusia takut dan khawatir akan dampak negatifnya sebuah pengetahuan dan ilmu apabila mereka tidak dapat menelaah atau memahami betul arti dari sebuah ilmu dan pengetahuan. Apakah ilmu dan pengetahuan tersebut baik atau buruk, membawa manfaatkah ilmu itu. Seharusnya kita memahami terlebih dahulu tentang jenis ilmu pengetahuan, teori-teori yang membenarkan pengetahuan itu, klasifikasi sebuah pengetahuan dan sejarah dari perkembngan ilmu. Berawal dari itulah kita bias menelaah, mencerna dan memahami apa arti yang sesungguhnya dari pengetahuan dan ilmu. Dan kita juga dapat memilih atau menyaring mana ilmu yang baik untuk hidup kita atau yang buruk.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah definisi dan jenis-jenis pengetahuan?
2. Bagaimanakah hakikat dan sumber pengetahuan?
3. Bagaimanakah ukuran dari kebenaran?
4. Bagaimanakah pengklasifikasian dan hierarki ilmu?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah dari penulisan makalah ini, tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi dan jenis-jenis pengetahuan.
2. Untuk mengetahui hakikat dan sumber pengetahuan.
3. Untuk mengetahui ukuran dari kebenaran.
4. Untuk mengetahui pengklasifikasian dan hierarki ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Jenis Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge.Dalam Encyclopedia of phisolophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief). Secara terminologi akan dikemukakan beberapa definisi tentang pengetahuan. Menurut, Drs. Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yangdiketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan yang aktif.
1. Jenis pengetahuan
Burhanuddin Salam, mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu:
a. Pengetahuan biasa
Adalah pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu di mana ia menerima secara baik.
b. Pengetahuan ilmu
Adalah ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif objektif. Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara objektif (objective thinking), tujuannya untuk menggambarkan dan member makna terhadap dunia factual. Pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu, diperolehnya melalui observasi, eksperimen, klasifikasi. Analisis ilmu itu objektif dan menyampingkan unsur pribadi, pemikiran logika diutamakan, netral, dalam arti tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat kedirian (subjektif), karena dimulai dengan fakta.
c. Pengetahuan filsafat
Adalah pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu.kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan rigid, filsafat, membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.
d. Pengetahuan agama
Adalah pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beebrapa hal yang pokok, yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang sering juga disebut dengan hubungan vertical dan cara berhubungan dengan sesame manusia, yang sering juga disebut dengan hubungan horizontal.
2. Perbedaan pengetahuan dengan ilmu
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia ilmu disamakan artinya dengan pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan. Dari asal katanya, kita dapat ketahui bahwa pengetahuan diambil dari kata dalam Bahasa Inggris yaitu knowledge, sedangkan ilmu diambil dari kata science dan peralihan dari kata Arab lim. Pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atas segala perbuatan manusia untuk memahami sutu objek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud barang-barang fisik, pemahamannya dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indera maupun lewat akal, dapat pula objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan. Dalam Encyclopedia Americana, dijelaskan bahwa ilmu (science) adalah pengetahuan yang bersifat positif dan sistematis. The Liang Gie mengutip Paul Freedman dari buku The Principles of Scientific Research memberi batasan ilmu sebagai berikut: “ ilmu adalah suatu bentuk aktiva manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri”.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pengetahuan berbeda dengan ilmu. Perbedaan itu terlihat dari sifat sistematik dan cara memperolehnya. Perbedaan tersebut menyangkut pengetahuan prailmiah atau pengetahuan biasa, sedangkan pengetahuan ilmiah dengan ilmu tidak mempunyai perbedaan yang berarti.
B. Hakikat dan Sumber Pengetahuan
1. Hakikat pengetahuan
Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu objek, dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada di luar akal. Ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan, yaitu:
a. Realisme
Teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam sebuah foto. Dengan demikian, relisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan. Menurut Prof. Dr. Rasjidi, penganut agama perlu sekali mempelajari realisme dengan alasan:
1) Dengan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang terdapat dalam pikiran. Kesulitan pikiran tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa tiap-tiap kejadian dapat diketahui hanya dari segi subjektif. Menurut, Rasjidi, pernyataan itu tidak benar sebab adanya factor subjektif bukan berarti menolak faktor objektif.
2) Dengan jalan memberi pertimbangan-pertimbangan yang positif, umumnya orang beranggapan bahwa tiap-tiap benda mempunyai satu sebab.
b. Idealisme
Ajaran idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif bukan gambaran objektif tentang realitas. Subjektif dipandang sebagai suatu yang mengetahui, yaitu dari orang yang membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran. Yang diberikan hanyalah gambaran menurut pendapat atau pengelihatan orang yang mengetahui. Premis pokok yang diajukan oleh idealisme adalah jiwa yang mempunyai kedudukan utama dalam alam semesta. Idealism tidak mengingkari adanya materi. Namun materi adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab, seseorang yang akan memikirkan materi dalam hakikatnya yang terdalam, dia harus memikirkan ruh atau akal. Jika seseorang ingin mengetahui apakah sesungguhnya materi itu, dia harus meneliti apakah pikiran itu, apakah nilai itu, dan apakah akal budi itu, bukannya apakah materi itu.
2. Sumber pengetahuan
Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan yaitu:
a. Empirisme
Kata ini berasal dari kata yunani empeirkos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamanya. Dan bila dikembalikan kepada kata yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi. Jhon locke (1632-1704), bapak empiris Britania mengemukakan teori tabularasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah manusia itu pada awal mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-kelamaan menjadi kompleks, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Jadi, bagaimanapun kompleks pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar. Jadi dalam empirisme, sumber utama utuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indera. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada itu pun sebatas ide yang kabur. Namun dalam aliran ini mempunya banyak kelemahan, antara lain:
1) Indera terbatas
2) Indera menipu
3) Objek yang menipu
4) Berasal dari indera dan objek sekaligus
b. Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan merangkap objek. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide dan bukunya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
August Comte berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat eksperimen dan eksperimen itu sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran dsb. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur.
c. Intuisi
Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari revolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi.
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara intuisi tidak dapat diandalkan. Pengetahuan intuisi dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernytaan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran. Bagi Nietzchen intuisi merupakan “inteligensi yang paling tinggi” dan bagi Maslow intuisi merupakan “pengalaman puncak” (peak experience).
d. Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan para nabi. Para nabi memeperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah trasendental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti.
C. Tingkatan dan Kriteria Kebenaran
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran
itu menjadi:
1) Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang dialami manusia
2) Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah pula dengan rasio
3) Tingkat filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya
4) Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifatasasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
D. Teori Kebenaran
1. Teori koherensi atau teori kebenaran saling berhubungan (the coherence/the consistence theory of truth)
Kebenaran menurut teori ini ialah suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat, kejadian, atau informasi) dianggap benar apabila proposisi tersebut koheren atau konsisten atau saling berhubungan dengan proposisi-proposisi sebelumnya yang kita ketahui, terima dan akui sebagai benar. Dari prinsipnya ini, jelas bahwa teori koherensi lebih mendasarkan diri kepada rasio. Suatu teori itu dianggap benar apabila tahan uji (testable). Artinya, suatu teori yang sudah dicetuskan oleh seseorang kemudian teori tersebut diuji kembali oleh orang lain dengan mengkomparasikan dengan data-data baru. Apabila teori tersebut tidak koheren dengan data yang baru, maka secara otomatis teori pertama gugur atau batal (refutability). Tetapi kalau data itu cocok dengan teori lama, maka teori itu semakin kuat (corroboration).
2. Teori korespondensi atau teori kebenaran saling berkesesuaian (the correspondence/the accordance theory of truth)
Menurut teori ini, suatu pernyataan dikatakan benar jika materi pernyataan tersebut berkorespondensi (berkesesuaian) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Berangkat dari hal ini, maka pengetahuan adalah benar bila apa yang terdapat di dalam pikiran subjek itu benar sesuai dengan apa yang ada di dalam objek. Dengan demikian, kebenaran menurut teori ini adalah persesuaian (agreement) mengenai fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan (judgement) dengan situasi seputar (environmental situation) yang diberi interpretasi.
3. Teori pragmatisme atau teori kebenaran konsekuensi kegunaan (the pragmatic/pragmatist theory of truth)
Kebenaran suatu pernyataan bagi seorang pragmatis diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Artinya, suatu pernyataan menjadi benar atau konsekwensi dari pernyataan itu benar apabila mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Pencarian pengetahuan tentang alam dianggap fungsional dan berguna untuk menafsirkan gejala alam. Secara historis, kebenaran dari suatu pernyataan ilmiah tidak selalu tetap, yang sekarang benar, bisa didapati salah di kemudian hari. Berhadapan dengan masalah ini, Jujun S. Suriasumantri berpendapat bahwa seorang ilmuwan pasti bersikap pragmatis, yakni masih tetap dipakainya teori tertentu jika pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan.
4. Teori Kebenaran Religius
Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
E. Mengklasifikasikan Hierarki Ilmu
Secara umum ada tiga basis yang sangat mendasar dalam menyusun secara hierarkis ilmu-ilmu metodolodis, ontologism, dan etis. Hampir ketiga kriteria ini dipakai dan diterima oleh para ilmuan muslim sesudahnya membuat klasifikasi ilmu-ilmu. Al-Farabi membuat klasifikasi ilmu secara filosofis ke dalam beberapa wilayah, seperti ilmu-ilmu matematis, ilmu alam, ilmu metafisika, ilmu politik dan terakhir yurisprudensi dan teologi dialektis. Beliau memberi perincian ilmu-ilmu religious (ilahiyah) dalam bentuk kalam dan fiqih langsung mengikuti perincian ilmu-ilmu filosofis, yakni matematika, ilmu alam, metafisika dan ilmu politik.
Dr. Muhammad Al-Bahi membagi ilmu dari segi sumbernya terbagi menjadi dua, pertama; ilmu yang bersumber dari tuhan, kedua;ilmu yang bersumber dari manusia. Al-Jurjani membagi ilmu menjadi dua jenis, yaitu ilmu qadim dan ilmu hadis(baru). Secara umum ilmu-ilmu yang berkembang dalam sejarah islam meliputi ilmu Al-Quran, ilmu hadis, ilmu tafsir, bhasa arab, ilmu kalam atau teologi, fiqih siyasah atau hukum tata Negara, peradilan, tasawuf, tarekat, akhlak, sejarah politik, dakwah islam, sains islam, pendidikan islam, peradaban islam, perbandingan agama, kebudayaan islam, pembaharuan dan pemurnian dalam islam, studi wilayah islam, dan studi bahasa-bahasa dan sastra-sastra islam. Ilmu itu kemudian berlanjut berkembang dan memiliki cabang masing-masing.
Khususnya di abad kontemporer, upaya integrasi terus dilakukan guna mencapai upaya mencapai upaya islamisasi ilmu. Dan perihal yang perlu diketahui bahwa yang membedakan antara upaya pengembangan pembidangan ataupun klasifikasi jenis dan bentuk ilmu di Barat dan di dunia islam adalah islam mengenal visi hierarki keilmuan. Yakni islam memandang terdapat hierarki dalam objek yang diketahui dan subjek yang mengetahui. Adanya pengakuan wawasan yang kudus dan kemudian terjabarkan secara hierarkis ke dalam berbagai bidang keilmuan. Dan masing-masing ilmu memiliki visi prioritas dan religious. Pengetahuan, menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala, dalam kitabnya Syarhu Ushul Ats Tsalatsah, memiliki enam tingkatan :
1. Al-Ilmu, yaitu pengetahuan secara pasti terhadap sesuatu sesuai dengan hakekatnya.
2. Al-Jahlul Basith, yaitu tidak diketahuinya sesuatu secara keseluruhan.
3. Al-Jahlul Murakkab, yaitu mengetahui sesuatu tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Disebut murakkab karena pada orang tersebut ada 2 kebodohan sekaligus, yaitu bodoh karena ia tidak mengetahui yang sebenarnya dan bodoh karena beranggapan bahwa dirinya tahu padahal sebenarnya tidak tahu.
4. Al-Waham, yaitu pengetahuan terhadap sesuatu dengan (adanya) kemungkinan berlawanan yang lebih kuat.
5. Asy-Syak, yaitu pengetahuan terhadap sesuatu dengan adanya kemungkinan (lain) yang sama (kuatnya).
6. Adz-Dzan, yaitu pengetahuan terhadap sesuatu dengan (adanya) kemungkinan berlawanan yang lebih lemah.
Banyak pengklasifikasian ilmu yang dikemukakan oleh para ahli dengan cara yang berbeda-beda pula, yaitu: klasifikasi berdasarkan subjek (Francis Bacon), objek (Aristoteles) serta metode (Wilhelm Windelband). Adapun ahli lain seperti The Liang Gie yang mengklasifikasikan ilmu berdasarkan jenis dan ragamnya, Cristian Wolff mengklasifikasikan menjadi tiga kelompok besar, Auguste Comte mengklasifikasikan berdasarkan sejarah ilmu itu sendiri, Karl Raimund Popper membagi menjadi tiga dunia, Thomas S. Kuhn dengan teori paradigmanya serta Jurgen Habermas berdasarkan sifat dan jenis ilmu. Sedangkan menurut Islam yang dikemukakan oleh Al-Ghazali membagi ilmu secara filosofis.
Contoh pengklasifikasian menurut Al-Ghazali
1. Ilmu Syar’iyyah
a. Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul)
Ilmu tentang keesaan Tuhan (al-tauhid)
Ilmu tentang kenabian.
Ilmu tentang akhirat atau eskatoogis
Ilmu tentang sumber pengetahuan religious. Yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah (primer), ijma’ dan tradisi para sahabat (sekunder), ilmu ini terbagi menjadi dua kategori:
Ilmu-ilmu pengantar (ilmu alat)
Ilmu-ilmu pelengkap.
b. Ilmu tentang cabang-cabang (furu’)
Ilmu tentang kewajiban manusia terhadap Tuhan (ibadah)
Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat:
Ilmu tentang transaksi
Ilmu tentang kewajiban kontraktual
Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri (ilmu akhlak)
2. Ilmu Aqliyyah
Matematika: aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi, music
Logika
Fisika/ilmu alam: kedokteran, meteorology, mineralogy, kimia
Ilmu tentang wujud di luar alam, atau metafisika:
Ontologi
Pengetahuan tentang esensi, sifat, dan aktivitas Ilahi.
Pengetahuan tentang substansi-substansi sederhana.
Pengetahuan tentang dunia halus.
Ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian ilmu tentang mimpi.
Teurgi (nairanjiyyat). Ilmu ini mengemukakan kekuatan-kekuatan bumi untuk menghasilkan efek tampak seperti supernatural.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam filsafat terdapat beberpa keterngan tentang ilmu, pengetahuan, dan kebenaran. Setelah menguraikannya maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu, pengetahuan dan kebenaran mempunyai keterkaitan dan saling berhubungan dan tidak dapat dipisahakan. Ilmu dan pengetahuan yang di dapat hanya untuk mencari sebuah kebenaran, dan kebenaran yang mutlak itu hanya dari tuhan yang harus kita yakini.
B. Saran
Sebuah materi yang esensial diperlukan pemahaman khusus, jadi diharapkan keseriusannya dalam materi ini dan rajin melatih diri untuk mempelajarinya agar dapat memahaminya. Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Asmal. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Gazalba, Sidi. 1992. Sistematika Filsafat, Pengantar Kepada Teori Pengetahuan.
Jakarta: Bulan Bintang.
Salam, Burhanuddin. 2000. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bina Aksara.