BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bagi setiap orang,
budaya meneguhkan sebuah konteks perilaku kognitif dan afektif, sebuah model
untuk eksistensi personal dan sosial. Tetapi kita condong melihat realitas di
dalam konteks budaya kita sendiri, sebuah realitas yang kita “ciptakan”, dan
karenanya tidak selalu merupakan realitas yang dipahami secara empiris.
Sekalipun kesempatan untuk keliling dunia dalam beberapa dasawarsa terakhir
sudah meningkat tajam, masih ada kecenderungan kita mempercayai bahwa realitas
kita sendirilah persepsi yang “benar”.
Namun, persepsi selalu
subjektif. Persepsi melibatkan penyaringan informasi bahkan sebelum ia disimpan
di memori, yang menghasilkan sebuah bentuk selektif kemafhuman. Apa yang tampak
oleh Anda sebagai persepsi akurat dan objektif, adat, atau gagasan, mungkin
“menjemukan” atau “dibuat-buat” dalam pandangan orang dari budaya lain. Oleh karenanya kesalahpahaman
gampang terjadi antara anggota-anggota budaya yang berbeda. Orang-orang dari
budaya lain mungkin tampak di mata Anda sebagai “berisik” atau “pendiam”,
“konservatif” atau “liberal”.
Tampak jelas bahwa
budaya, sebagai himpulan perilaku dan mode persepsi yang berurat akar, menjadi
sangat penting dalam pembelajaran sebuah bahasa kedua. Bahasa adalah bagian dari budaya, dan budaya
bagian dari bahasa.; keduanya saling terpintal erat sehingga tak ada seorang
pun yang bisa memisahkan keduanya tanpa menghilangkan arti masing-masing.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan di atas, adapun
rumusan masalah penulisan makalah ini yaitu:
1.
Apa perbedaan Streotipe dan Generalisasi?
2.
Bagaimana sikap dan jarak sosial dalam
pemerolehan budaya kedua?
3.
Bagaimana cara mengajarkan kompetensi
antarbudaya dengan memperhatikan kebijakan dan politik bahasa?
4.
Bagaimana hubungan antara bahasa,
pemikiran, dan budaya?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang
ingin dicapai pada penulisan makalah ini yaitu:
1.
Mengetahui perbedaan Streotipe dan Generalisasi.
2.
Mengetahui sikap dan jarak sosial dalam
pemerolehan budaya kedua.
3.
Mengetahui cara mengajarkan kompetensi
antarbudaya dengan memperhatikan kebijakan dan politik bahasa.
4.
Mengetahui hubungan antara bahasa,
pemikiran, dan budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi dan Teori
Budaya adalah sebuah
cara hidup. Ia adalah konteks yang di dalamnya kita ada, berpikir, merasa, dan
berhubungan dengan yang lain. Ia adalah “lem” yang merekatkan sekelompok orang.
Budaya adalah benua kita, identitas
kolektif kita. Larson dan Smalley (1972, h. 39) menggambarkan budaya
sebagai sebuah “cetak biru” yang “menuntun perilaku orang-orang dalam sebuah
komunitas dan terbina dalam kehidupan keluarga. Ia mengatur perilaku kita dalam
kelompok, menjadikan kita peka terhadap persoalan status, dan membantu kita
mengetahui apa yang orang lain harapkan dari kita dan apa yang akan terjadi
sekiranya kita tak memenuhi harapan mereka. Budaya membantu kita mengetahui
seberapa jauh kita bisa berjalan selaku pribadi dan tanggung jawab kita kepada
kelompok”.
Budaya bisa juga
didefinisikan sebagai gagasan, kebiasaan, keterampilan, seni, dan peranti yang
mencirikan sekelompok orang dalam sebuah periode waktu tertentu. Tetapi budaya
lebih dari sekedar gabungan bagian-bagian itu. Menurut Matsumoto (2000, h. 24):
Budaya adalah sebuah sistem aturan yang dinamis,
eksplisit dan implisit, yang dibangun oleh kelompok-kelompok untuk menjamin
kelangsungan hidup mereka. Ia melibatkan sikap, nilai, keyakinan, norma, dan
perilaku yang dianut bersama oleh sebuah kelompok tetapi dijaga secara berbeda
oleh setiap unit spesifik di dalam kelompok yang bersangkutan, dikomunikasikan
lintas generasi, relative stabil tetapi mempunyai peluang untuk berubah siring
waktu.
Matsumo menyertakan
penjelasan konsep-konsep penting yang melekat pada definisi tersebut.
Dinamis
Sistem aturan
Kelompok
dan unit
Kelangsungan hidup
Sikap, nilai, keyakinan, norma, dan perilaku
Dianut bersama sebuah kelompok
Dijaga secara berbeda oleh tiap unit khusus
Dikomunikasikan lintas generasi, relative stabil
Berpotensi berubah seiring dengan berjalannya waktu
B.
Streotipe dan Generalisasi
Bagaimana sterotipe
membentuk? Milieu budaya kita membentuk pandangan dunia kita (Weltanscauung kita) dalam sebuah cara
sehingga realitas dianggap terlihat objektif melalui pola budaya kita sendiri,
dan persepsi yang berbeda dilihat sebagai salah atau “asing” dan penyederhanaan
berlebihan pun terjadi. Jika orang mengenali dan memahami pandangan-pandangan
dunia yang berbeda, mereka biasanya mengadopsi sikap positif dan terbuka kepada
perbedaan-perbedaan lintas budaya. Pandangan sempit terhadap
perbedaan-perbedaan semacam itu sering berakibat pada dipertahankannya
stereotype-sebuah penyederhanaan berlebihan dan sepenuhnya asumsi. Sebuah
stereotipe melekatkan karakteristik kelompok kepada tiap individu semata-mata
berbasis keanggotaan budaya mereka.
Stereotipe
mungkin berbeda dalam menggambarkan anggota “tipikal” dari sebuah budaya,
tetapi ia tak akurat saat menggambarkan individu tertentu, semata-mata karena
setiap orang unik dan seluruh karakteristik perilaku seseorang tak bisa
diprediksi secara akurat, secara pukul rata seperti itu.menghakimi anggota
sebuah budaya dengan sifat keseluruhan budaya sama saja dengan menghakimi
sebelum waktunya dan salah menghakimi. Lebih
uruk lagi, stereotipe punya fungsi merendahkan orang-orang dari budaya
lain.
Kadang
konsep penyederhanaan berlebihan kita terhadap anggota budaya lain salah
sepenuhnya. Orang Amerika kadang berpikir orang Jepang kadang tak bersahabat
karena norma budaya mereka tentang respek dan kesopanan. Mahasiswa Asia dalam
persepsi mahasiswa Amerika di Amerika Serikat terlalu sering diangap sama di
bawah pandangan yang keliru bahwa banyak Negara dan budaya di Asia punya banyak
kesamaan. Bahkan dalam literatul TESOL, menurut Kumaravadivelu (2003),
stereotype umum mahasiswa Asia digambarkan: mereka (1) patuh kepada otoritas,
(2) kurang punya keterampilan berpikir kritis, dan (3) tak berpartisipasi dalam
interaksi kelas (h.710-713). Sikap semacam ini perlu digantikan oleh “kesadaran
kritis tentang sifat kompleks pemahaman budaya”
Sekalipun
pandangan stereotype atau generalisasi berlebihan terhadap orang dari budaya
lain mesti dihindari, penelitian lintas budaya telah memperlihatkan bahwa memang ada karakteristik-karakteristik budaya
yang membuat satu budaya berbeda dari yang lainnya (Atkinson, 1999, 2002;
Matsumoto, 2000). Misalnya, Condon (1973) menyimpulkan dari penelitian lintas
budaya bahwa cara pandang orang Amerika, Prancis, dan Hispanik sangat berbeda
dalam konsep waktu dan ruang. Orang AMerika condong didominasi pandangan
“psikomotor” tentang waktu dan ruang yang dinamis, menyebar, dan nominalistik.
Orientasi orang Prancis lebih “kognitif” dengan pandangan yang statis,
terpusat, dan universalistis. Orientasi Hispanik lebih “afektif” dengan
pandangan yang pasif, relasional, dan intuitif.
Baik
pembelajar maupun guru bahasa kedua perlu memahami perbedaan-perbedaan budaya,
untuk mengakui secara terbuka bahwa tidak ada orang yang sama. Kelas bahasa
bisa merayakan perbedaan budaya, dan bahkan terlibat dalam analisis kritis
penggunaan da nasal-usul stereotipe-stereotipe (Abrams, 2002). Sebagai
guru dan peneliti kita harus berjuang memahami identitas-identitas pembelajar kita dalam hal latar belakang sosial
budaya mereka (Atkinson, 1999). Ketika kita sudah terkondisi peka melihat
identitas budaya, mungkin selanjutnya kita bisa mengubah persepsi menjadi
apresiasi.
C.
Sikap
Stereotipisasi biasanya menyiratkan semacam sikap terhadap budaya atau
bahasa yang dibicarakan. Sikap, seperti semua aspek perkembangan kognisi dan
afeksi pada manusia, berkembang awal pada masa kanak-kanak dan buah dari sikap
orangtua dan rekan sebaya, kontak dengan orang-orang yang “berbeda” dalam
banyak cara, dan faktor-faktor afektif yang berinteraksi dalam pengalaman
manusia. Sika-sikap ini membentuk sebagian dari persepsi seseorang akan
dirinya, orang lain, dan budaya di mana ia tinggal.
Studi ekstensif Gardner dan Lambert (1972) adalah upaya sistematis
memeriksa efek sikap kepada pembelajaran bahasa. Setelah mempelajari
antarhubungan sejumlah jenis sikap berbeda, mereka menetapkan motivasi sebagai
pengertian yang tersusun dari sikap-sikap tertentu. Yang paling penting adalah
sikap spesifik kelompok ini, yakni sikap para pembelajar terhadap
anggota-anggota kelompok budayayang bahasanya sedang mereka pelajari. Maka,
dalam model Gardner dan Lambert, sikap positif seorang Kanada berbahasa Inggris
kepada orang Kanada berbahasa Prancis-keinginan untuk memahami mereka dan
berempati dengan mereka- akan membawa ke orientasi integrative untuk belajar
bahasa Prancis, yang dalam studi pada 1972 didapati adanya hubungan yang
berlaku.
John Oller dan koleganya
(Lihat Oller, Hudson, Liu, 1977: Chihara & Oller, 1978; Oller, Baca, &
Vigil, 1978) melakukan beberapa kajian berskala besar mengenai hubungan antara
sikap dan keberhasilan bahasa. Mereka memperhatikan hubungan pencapaian dalam
bahasa Inggris dalam bahasa Cina, Jepang, dan Meksiko dengan sikap mereka
terhadap diri sendiri, kelompok bahasa asli, kelompok bahasa sasaran, alasan
mereka mempelajari bahasa Inggris, dan alasan mereka bepergian ke Amerika
Serikat. Para peneliti berhasil mengidentifikasi sejumlah variable sikap yang
berkorelasi secara positif dengan kecakapan yang diraih. Ketiga studi ini
masing-masing menghasilkan kesimpulan yang sedikit berbeda, tetapi sebagian
besar, sikap positif terhadap diri sendiri, kelompok bahasa asli, kelompok
bahasa sasaran meningkatkan kecakapan. Ada beberapa hasil tupang tindih pada
orientasi integrative dan instrumental. Misalnya, dalam satu studi mereka
mendapati bahwa kecakapan yang lebih baik diperoleh oleh mahasiswa-mahasiswa
yang tak ingin tinggal tetap di Amerika Serikat.
Tampaknya jelas bahwa para
pembelajar bahasa kedua memetik manfaat dari sikap positif dan bahwa sikap
negatif mungkin menyebabkan melemahnya motivasi dan kemungkinan besar, karena
melemahnya masukan dan interaksi kegagalan meraih kecakapan. Namun guru harus
awas bahwa setiap orang memiliki sikap positif dan negatif. Sikap negatif bisa
diubah, seringkali melalui pemaparan kepada realitas-misalnya, dengan menjumpai
orang-orang nyata dari budaya-budaya lain. Sikap negative biasanya muncul dari
keterpaparan tak langsung seseorang kepada sebuah budaya atau kelompok melalui
televisi, film, media berita, buku, dan sumber-sumber lain yang mungkin kurang
bisa diandalkan. Guru bisa membantu menyingkirkan apa yang seringkali berupa
mitos tentang budaya-budaya lain dan menggantikan mitos-mitos itu dengan
pemahaman akurat budaya lain yang berbeda dari budaya yang bersangkutan, yang
mesti dihormati dan dihargai.
D.
Pemerolehan Budaya Kedua
Robinson-Stuart dan Nocon (1996) mempertemukan beberapa perspektif
tentang pembelajaran budaya yang sudah kita lihat beberapa dasawarsa terakhir.
mereka mengomentari gagasan yang menyebut bahwa pembelajaran budaya adalah
“perjalanan dengan karpet ajaib menuju budaya lain”, yang teraih sebagai produk
samping otomatis dari pelatihan bahasa, adalah konsepsi yang keliru. Banyak
murid dikelas bahasa asing yang mempelajari bahasa itu dengan sedikit atau
tidak ada pengertian sama sekali tentang kedalaman norma dan pola budaya dari
orang-orang yang berbicara bahasa itu. Perspektif lain adalah gagasan bahwa
sebuah kurikulum bahasa asing bisa menghadirkan budaya sebagai “daftar fakta
yang dikonsumsi secara kognitif” (h.434) oleh murid, tanpa interaksi yang
memadai dengan budaya itu. Dengan meminggirkan perspektif-perspektif tersebut
karena tak efektif dan salah pengertian, Robinson-Stuart dan Nocon menyarankan
agar para pembelajar bahasa menjalani pembelajaran budaya sebagai “sebuah
proses, yaitu sebagai sebuah cara mengindra, menafsir, merasa hidup di dunia …
dan berjumpa” (h. 432). Pembelajaran budaya adalah sebuah proses penciptaan
makna bersama di antara perwakilan-perwakilan budaya. Proses ini harus
dijalani, proses pembelajaran bahasa yang berlangsung selama bertahun-tahun
pembelajaran bahasa, dan menembus sangat dalam ke pola pemikiran, perasaan, dan
tindakan seseorang.
Pembelajaran bahasa kedua
dalam pembahasan ego bahasa, melibatkan pemerolehan sebuah identitas kedua.
Penciptaan identitas baru ini berada dijantung pembelajaran budaya, atau yang
disebut akulturasi. Jika seorang penutur Prancis utamanya berorientasi kognitif,
penutur Amerika berorientasi psikomotor, dan penutur Spanyol berorientasi
afektif seperti dinyatakan Condon (1973, h. 22) tidaklah sulit di taraf
perkembangan ini saja untuk memahami kompleksitas proses orientasi kepada
sebuah budaya baru. Reorientasi pemikiran dan perasaan, belum lagi komunikasi,
adalah wajib hukumnya.
Proses akulturasi bisa lebih
menyiksa dengan hadirnya bahasa baru. Pasti, budaya adalah bagian yang tertanam
sangat dalam dari keberadaan kita sebagai manusia, tetapi bahasa--cara-cara
berkomunikasi di antara anggota-anggota sebuah budaya—adalah ekspresi yang
paling terlihat dan tersedia dari budaya itu. Maka, cara pandang, identitas
diri, dan sistem berpikir, bertindak, merasa, dan berkomunikasi bisa terusik
oleh kontak dengan budaya lain.
Kadang gangguan tersebut
sedemikian berat, sehingga seseorang mungkin mengalami gegar budaya. Gegar
budaya merujuk kepada fenomena yang bertentang dari ketersinggungan ringan
sampai panik dan krisis psikologis yang dalam. Gegar budaya diasosiasikan dengan
perasaan keterasingan, marah, bermusuhan, bimbang, frustasi, gundah, sedih,
kesepian, kangen rumah, dan bahkan sakit fisik. Orang-orang yang mengalami
gegar budaya melihat dunia baru dengan perasaan sengit dan berubah-ubah dari
iba kepada diri sendiri dan marah kepada orang lain yang tak memahami mereka.
Orang-orang yang berada di
sebuah budaya kedua awalnya mungkin
nyaman dan terhibur dengan lingkungan sekitar yang “eksotis”. Sepanjang mereka
bisa secara perseptual menyaring lingkungan sekitar mereka dan
menginternalisasi lingkungan itu dalam pandangan mereka sendiri, mereka merasa
nyaman. Begitu kebaruan itu luntur dan kontradiksi yang bertumpuk mengganggu
pikiran dan perasaan, mereka menjadi terdisorientasi.
Lazim menggambarkan gegar
budaya sebagai yang kedua dari keempat tahap beruntun pemerolehan budaya:
1. Periode kegembiraan dan eforia karena kebaruan lingkungan sekitar.
2. Gegar budaya-muncul ketika orang merasakan makin banyak gangguan masuk
dari perbedaan budaya ke dalam bayangan mereka akan diri sendiri dan rasa aman.
Dalam tahap ini orang-orang mengandalkan dan mencari dukungan dari orang-orang
sebangsa di budaya kedua, menghibur diri dengan mengeluh tentang adat dan
kondisi lokal , berusaha lari dari kesengsaraan ini.
3. Salah satu dari pemulihan bertahap dan pada awalnya tentatif dan
terombang-ambing. Tahap ini dicirikan oleh apa yang disebut Larson dan Smalley
(1972) “stres budaya”: beberapa masalah akulturasi terpecahkan sementara
beberapa masalah lain berlanjut untuk beberapa waktu. Tetapi ada kemajuan umum,
lambat tapi pasti, ketika orang mulai menerima perbedaan-perbedaan di sekitar
mereka dalam berpikir dan merasakan, pelan-pelan mereka menjadi lebih berempati
pada orang lain di budaya kedua.
4. Mewakili pemulihan hampir penuh atau sepenuhnya, baik asimilasi maupun
adaptasi, penerimaan budaya dan kepercayaan diri baru dalam orang “baru” yang
sudah berkembang dalam budaya ini.
E.
Jarak Sosial
Konsep jarak sosial muncul sebagai sebuah pengertian
afektif untuk menjelaskan tempat pembelajaran budaya dalam pembelajaran bahasa
kedua. Jarak sosial merujuk kepada kedekatan kognitif dan afektif dari dua
budaya yang bertemu di dalam diri seseorang. “Jarak” jelas dipakai sebagai
metafora untuk menggambarkan ketidakmiripan antara kedua budaya. Pada tataran
yang sangat superfisial orang mungkin menyebut bahwa orang dari Amerika Serikat
mirip secara budaya dengan orang Kanada, sementara penduduk asli Amerika
Serikat dan China, jika dibandingkan, relatif tak serupa. Kita bisa bilang
bahwa jarak sosial kasus yang belakangan melampaui yang sebelumnya.
John
Schumann (1976c, h. 136) menggambarkan jarak sosial terdiri atas
parameter-parameter berikut:
1. Dominasi. Dalam kaitannya dengan kelompok BS (bahasa sasaran), apakah
kelompok B2 (pembelajar bahasa kedua) secara politik, budaya, teknis, atau
ekonomi, dominan, tak dominan, atau bawahan?
2. Integrasi. Apakah pola integrasi kelompok B2 berupa asimilasi, akulturasi,
atau preservasi? Seperti apa derajat penutupan
diri kelompok B2—terpisahkan identitasnya dari kelompok lain di sekitarnya?
3. Kekohesifan. Apakah kelompok B2 kohesif? Seberapa besar ukuran kelompok
B2?
4. Keserasian. Apakah budaya dari dua kelompok itu serasi—sistem nilai dan
keyakinan mereka mirip? Seperti apa sikap timbal balik kedua kelompok?
5. Kepermanenan. Berapa lama kelompok B2 berniat tinggal di wilayah bahasa
sasaran?
Schumann menggunakan faktor-faktor di atas untuk
menggambarkan secara hipotesis situasi pembelajaran bahasa yang “baik” dan
“buruk”, dan mengilustrasikan tiap situasi dengan dua konteks lintas budaya aktual.
Dua hipotesis situasi pembelajaran bahasa yang “buruk” darinya:
1. Kelompok BS melihat kelompok B2 sebagai dominan dan kelompok B2 melihat
dirinya dengan cara yang sama. Kedua kelompok menginginkan preservasi dan
penutupan diri tinggi bagi kelompok B2, dan kelompok B2 kohesif sekaligus
besar, dua budaya tak serasi, dua kelompok saling bersifat negatif, dan
kelompok B2 berniat tinggal di wilayah BS hanya untuk waktu singkat.
2. Situasi buruk kedua memiliki semua karakteristik yang pertama kecuali
dalam kasus ini, kelompok B2 memandang dirinya bawahan dan dianggap bawahan
oleh kelompok BS.
Situasi pertama, menurut Schumann, adalah tipikal orang
Amerika yang tinggal di Riyadh, Arab Saudi. Situasi kedua adalah gambaran
Indian Navajo yang tinggal di wilayah barat daya Amerika Serikat.
Situasi pembelajaran bahasa yang “baik”, menurut model
Schumann (h. 141) adalah situasi si mana kelompok B2 tak dominan dalam
hubungannya dengan kelompok BS, kedua kelompok menginginkan asimilasi (atau
setidaknya akulturasi) untuk kelompok B2, penutupan diri yang rendah adalah
cita-cita kedua kelompok, kedua budaya serasi, kelompok B2 kecil dan tak
kohesif, kedua kelompok saling memiliki sikap positif, dan kelompok B2 berniat
tinggal di wilayah BS untuk waktu yang lama. Di bawah kondisi-kondisi demikian
jarak sosial akan minimal dan pemerolehan bahasa sasaran akan meningkat.
Hipotesis Schumann adalah bahwa makin besar jarak
sosial antara dua budaya, makin besar kesulitan yang akan ditemui pembelajar
saat belajar bahasa kedua, dan sebaliknya, makin kecil jarak sosial, makin baik
situasi pembelajaran bahasanya.
Salah satu kesulitan dalam hipotesis Schumann tentang
jarak sosial adalah pengukuran jarak sosial aktual. Bagaimana orang bisa
menentukan derajat jarak sosial? Dengan cara apa? Dan bagaimana cara-cara itu
bisa dikuantifikasi untuk perbandingan jarak relatif?
William Acton (1979) mengajukan solusi untuk dilema
tersebut. Alih-alih mencoba mengukur jarak sosial aktual, ia merancang ukuran
jarak sosial yang dipahami. Pendapatnya adalah bahwa jarak aktual antara
budaya-budaya tidak secara khusus relevan mengingat apa yang dilihat
pembelajarlah yang membentuk realitas mereka sendiri. Menurut Acton, ketika
pembelajar menjumpai budaya baru, proses akulturasi mereka adalah sebuah faktor
bagaimana mereka melihat budaya mereka sendiri dalam hubungannya dengan budaya
bahasa sasaran, dan sebaliknya.
Dengan meminta pembelajaran merespon tiga dimensi
jarak, Acton merancang pengukuran jarak sosial yang dipahami—Kuesioner
Perbedaan Nyata dalam Sikap atau Professed
Difference in Attitude Questionnaire (PDAQ)—yang
memperlihatkan karakterpembelajar yang “baik” atau berhasil (sebagaimana diukur
dengan tes kecakapan standar) dengan akurasi yang mengagumkan. Pada dasarnya
PDAQ meminta pembelajar mengukur perbedaan sikap mereka terhadap berbagai
konsep (“otomobil”, “perceraian”, “sosialisme”, “polisi”, misalnya) pada tiga
dimensi: (1) jarak (atau perbedan) antara mereka sendiri dan orang sebangsa
secara umum; (2) jarak antara mereka sendiri dan anggota budaya sasaran secara
umum; dan (3) jarak antara orang sebangsa mereka dan anggota budaya sasaran.
Dengan menggunakan teknik diferensial semantik, skor tiga jarak itu dihitung
untuk tiap-tiap dimensi.
F.
Mengajarkan Kompetensi Antarbudaya
Sekalipun kebanyakan pembelajar betul-betul dapat
menemukan manfaat dalam pengalaman pembelajaran atau tinggal diwilayah lintas
budaya, sejumlah orang mengalami kendala psikologis dan efek menghambat lainnya
dari budaya kedua. Stevick (1976b) mewanti-wanti bahwa para pembelajar bisa
merasakan keterasingan dalam proses pembelajaran bahasa kedua, terasing dari
orang-orang di budaya kampung halaman mereka, budaya sasaran, dan dari diri
mereka sendiri. Saat mengajarkan sebuah bahasa “asing”, kita perlu peka pada
kerapuhan murid dengan menggunakan teknik yang meningkatkan pemahaman budaya.
Barangkali model paling produktif dari kombinasi
pembelajaran bahasa kedua dan budaya kedua dijumpai di antara murid yang
mempelajari bahasa kedua di sebuah negara di mana bahasa itu dituturkan secara
asli. Di banyak negara, ribuan mahasiswa asing mendaftar ke institusi
pendidikan tinggi dan harus belajar bahasa negara tersebut agar bisa mengejar
tujuan akademis mereka. Mereka membawa serta norma moral dan pola perilaku “terpuji” yang dipelajari di bahasa asal
mereka, dan condong menerapkan standar itu ke situasi baru mereka.
Sejumlah cara untuk merumuskan berbagai
ketidakcocokan dalam standar norma semacam itu digambarkan dalam sebuah artikel
provokatif karya Geert Hofstede (1986) yang menggunakan empat kategori
konseptual untuk mempelajari norma-norma budaya lima puluh negara berbeda.
Berikut penjabaran kategori masing-masing:
1.
Individualisme adalah karakteristik
sebuah budaya yang merupakan lawan dari kolektivisme (dipakai di sini dalam
pengertian antropologis, bukan politis). Budaya individualis mengasumsikan
bahwa setiap orang terutama menjaga kepentingannya sendiri dan kepentingan
keluarga intinya (suami, istri, dan anak-anak).
2.
Jarak kekuasaan adalah sebuah
karakteristik sebuah budaya yang mendefinisikan sampai sejauh mana orang-orang
yang kurang berdaya dalam sebuah masyarakat menerima ketidaksetaraan dalam
kekuasaan dan menganggapnya normal. Ketidaksetaraan ada di dalam setiap budaya,
tetapi derajat bisa ditoleransinya bervariasi antara satu budaya dan lainnya.
3.
Penghindaran ketidakpastian adalah
karakteristik sebuah budaya yang mendefinisikan sampai sejauh mana orang-orang
di dalam sebuah budaya dibuat gugup oleh situasi-situasi yang mereka lihat
sebagai tak terstruktur, tak jelas, tak bisa diduga situasi yang kemudian
mereka coba hindari dengan menegakkan aturan-aturan perilaku dan keyakinan
mutlak.
4.
Maskulinitas adalah karakteristik sebuah
budaya yang merupakan lawan dari femininitas. Keduanya berbeda dalam
peran-peran sosial terkait dengan fakta biologis jenis kelamin, dan dalam
hal-hal khusus peran sosial yang disandangkan kepada laki-laki. Budaya-budaya
feminin, di sisi lain, merumuskan secara relatif tumpang tindih peran sosial
untuk kedua jenis kelamin, di mana laki-laki tak perlu ambisius atau
kompetitif, tetapi boleh mengejar kualitas hidup yang berbeda selain sukses
materi; laki-laki boleh menghormati apa pun yang kecil, lemah, dan lambat.
G.
Kebijakan dan Politik Bahasa
Hubungan
antara bahasa dan masyarakat tak bisa didiskusikan untuk waktu lama tanpa
menyentuh cabang politik bahasa dan kebijakan bahasa.
Bahasa
Inggris Dunia
Pertumbuhan bahasa
Inggris sebagai bahasa internasional (EIL) telah merangsang diskusi menarik tetapi
sering kontroversial mengenai keberadaan yang berbeda dari apa yang sekarang
lazim disebut bahasa Inggris dunia. Penyebaran dan stratifikasi EIL dimotori
oleh Kachru dan lain-lainnya yang telah bergabung dalam proses eksplorasi menuju
konseptualisasi baru konteks penggunaan bahasa Inggris:
Dikotomi lama antara asli dan bukan asli secara
fungsional tak berwawasan dan secara linguistik mengandung pertanyaan, terutama
ketika membahas fungsi-fungsi bahasa Inggris dalam masyarakat multilingual.
Pembedaan sebelumnya mengenai bahasa Inggris sebagai bahasa asli (ENL), kedua
(ESL), dan asing (EFL) diserang hebat untuk alasan-alasan selain
sosiolinguistik (Kachru, 1992, h. 3).
ESL
dan EFL
Masalah dengan
peristilahan, seperti yang Nayar (1997) tunjuk, bahwa istilah ini “tampaknya
telah menciptakan cara pandang bahwa dengan menjadi penutur asli bahasa Inggris
akan dengan sendirinya orang diyakini tak hanya kompeten dalam penggunaan dan
pengajaran tetapi juga cakap dalam memberi tahu orang-orang lain bagaimana
seharusnya bahasa Inggris diajarkan”. Beragamnya konteks penggunaan bahasa
Inggris di seluruh dunia menuntut perhatian saksama pada situasi sebelum
membuat generalisasi pukul rata tentang berlakunya satu dari dua model yang
ada, ESL atau EFL.
Imperialisme
Linguistik dan Hak Bahasa
Permasalahan pokok
dalam debat imperialisme linguistik adalah penurunan nilai, jika bukannya
genosida bahasa-bahasa asli melalui penyebaran kolonial bahasa Inggris. Ketika
para guru bepergian ke penjuru-penjuru jauh dunia dan mengajarkan bahasa
Inggris, salah satu ajaran utama kita haruslah menghormati kepada bahasa-bahasa
dan budaya-budaya siswa kita.
Kebijakan
Bahasa dan Debat “Hanya bahasa Inggris”
Satu lagi manifestasi dari wilayah
sosial politik pemerolehan bahasa kedua dijumpai dalam kebijakan bahasa di
seluruh dunia. Dalam analisis final, “sejarah mengindikasikan bahwa membatasi
hak bahasa bisa memecah belah dan bisa mengiring ke kecondongan segregasionis
di dalam sebuah masyarakat.
H.
Bahasa, Pemikiran, dan Budaya
Tak ada diskusi
tentang variable-variabel budaya dalam pemerolehan bahasa kedua yang lengkap
tanpa pembahasan hubungan antara bahasa dan pemikiran. Kita menyaksikan dalam
kasus pemerolehan bahasa pertama bahwa perkembangan kognitif dan perkembangan
linguistik berjalan seiring, keduanya saling berinteraksi dan saling membentuk.
Lazim teramati bahwa cara menyatakan sebuah ide atau “fakta” mempengaruhi cara
kita merumuskan ide tersebut. Di sisi lain, banyak dari ide, permasalahan,
penciptaan, dan penemuan kita melahirkan kebutuhan untuk kata-kata baru.
Membingkai
Semesta Konseptual Kita
Kata-kata membentuk hidup kita.
Dunia iklan adalah contoh telak penggunaan bahasa untk membentuk, membujuk, dan
mencegah.
Eufimisme
melimpah ruah di budaya Amerika di mana beberapa pemikiran tertentu ditabukan
dan kata-kata tertentu berkonotasi sesuatu yang kurang diinginkan. Para
politikus baru-baru ini memutuskan frase “pemotongan pajak” tak mendapatkan
simpati sebanyak “pengurangan pajak”.
Buku tajam George Lakoff (2004)
tentang pembingkaian mengingatkan kita tentang pentingnya bahasa dan
label-label verbal dalam membentuk cara orang berpikir. Lakoff secara
meyakinkan memperlihatkan bagaimana retorika politik secara cermat dibingkai
untuk memantik citra dan perasaan positif. Kita adalah peleburan kompleks
bingkai-bingkai. Banyak dari komposisi hierarki-hierarki konseptual itu
dibingkai dengan lambang-lambang linguistik-kata, frase, dan asosiasi verbal
lain.
Kumpulan kata
bukanlah satu-satunya kategori linguistik yang mempengaruhi pemikiran. Cara
sebuah kalimat disusun akan mempengaruhi nuansa-nuansa makna. Elizabeth Loftus
(1976) menemukan bahwa perbedaan-perbedaan tak kentara dalam struktur
pertanyaan bisa mempengaruhi jawaban yang diberikan seseorang. Budaya
betul-betul merupakan bagian integral dari interaksi antara bahasa dan
pemikiran. Pola-pola budaya kognisi dan kebiasaan kadang kala secara eksplisit
terkodekan dalam bahasa. Gaya-gaya wacana konversasional, misalnya, mungkin
merupakan sebuah faktor bahasa. Simak “keterus-terangan” wacana sejumlah
bahasa: di Amerika Serikat, misalnya, percakapan kasual disebut kurang terbuka
dan lebih eentingkan jaim ketimbang
percakapan di Yunani (Kakava, 1995), dan dengan demikian sebuah percakapan
Yunani mungkin lebih konfrontasional ketimbang sebuah perakapan di Amerika
Serikat. Di Jepang, sifat pertalian dari teman bicara seseorang hamper selalu
diungkapkan secara eksplisit, baik verbal dan/atau nonverbal. Barangkali
bentuk-bentuk itu membentuk persepsi seseorang terhadap orang lain dalam
kaitannya dengan diri sendiri.
Hipotesis
Whorfian
Whorf (1956, h. 212-214)
merangkumkan hipotesis tersebut:
Sistem linguistik yang
melatarbelakangi (dengan kata lain, tata
bahasa) setiap bahasa tidak semata-mata sebuah instrumen reproduksi untuk
menyuarakan ide-ide tetapi agaknya sistem itulah pembentuk ide-ide, program dan
panduan untuk aktivitas mental seseorang, untuk analisis kesannya, untuk
sintesis pertukaran stok mentalnya. Kita menganalisis sifat dasar mengikuti
jalur yang sudah digariskan bahasa asli kita. Kita membedah sifat dasar,
menatanya menjadi konsep-konsep, dan menyandangkan signifikansi seperti yang
kita lakukan, sebagian besar karena kita adalah pihak-pihak yang bersepakat
untuk menatanya dengan cara ini- sebuah kesepakatan yang bertahan di seluruh
komunitas wicara kita dan dikodifikasi dalam pola bahasa kita.
Para guru bahasa
saat ini telah benar-benar menganut pandangan Hipotesis Whorfian yang lebih
moderat, tak lain karena bertumpuknya bukti interaksi bahasa dan budaya. Dengan
semangat orang-orang yang sudah membeberkan sifat kemitosan dari banyak klaim
tentang determinisme linguistik, Ronald Wardhaugh (1976, h. 74) menawarkan
alternatif berikut untuk pandangan kuat Hipotesis Whorfian. Kesimpulan paling
valid untuk semua studi semacam itu adalah bahwa mungkin kiranya bicara tentang
apa pun dalam bahasa apa pun selama si penutur bersedia menggunakan penyampaian
tak langsung dalam derajat tertentu. Setiap bahasa alamiah menyediakan sebuah
bahasa untuk bicara tentang bahasa lain, yaitu metabahasa, maupun sebuah
perkakas yang sepenuhnya memadai untuk melakukan pengamatan jenis apa saja yang
perlu dibuat tentang dunia. Jika demikian kasusnya, setiap bahasa alamiah
pastilah sebuah sistem yang sangat kaya yang siap membuat para penuturnya mengatasi
kecenderungan yang ada.
Maka, sekalipun
beberapa aspek bahasa tampaknya memberi kita kerangka pikir kognitif potensial
kita juga bisa mengenali bahwa melalui bahasa dan budaya, sejumlah property
universal mengikat kita bersama di satu dunia. Belajar berpikir dalam bahasa
lain mungkin mensyaratkan penguasaan bahasa itu secara memadai, tetapi pada
umumnya pembelajar bahasa kedua tak perlu belajar berpikir dari awal lagi.
Seperti dalam setiap pengalaman pembelajaran yang lain, pembelajar bahasa kedua
bisa memanfaatkan kegunaan positif pengalaman-pengalaman sebelumnya untuk
memudahkan proses pembelajaran dengan mempertahankan apa yang valid dan
berharga untuk pembelajaran budaya kedua dan pembelajar bahasa kedua.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Budaya mengatur perilaku kita dalam kelompok,
menjadikan kita peka terhadap persoalan status, dan membantu kita mengetahui
apa yang orang lain harapkan dari kita dan apa yang akan terjadi sekiranya kita
tak memenuhi harapan mereka. Para pembelajar bahasa kedua memetik manfaat dari
sikap positif dan bahwa Sikap negatif mungkin menyebabkan melemahnya motivasi
karena melemahnya masukan dan interaksi kegagalan meraih kecakapan.
Orang-orang yang berada di
sebuah budaya kedua awalnya mungkin
nyaman dan terhibur dengan lingkungan sekitar yang “eksotis”. Sepanjang mereka
bisa secara perseptual menyaring lingkungan sekitar mereka dan
menginternalisasi lingkungan itu dalam pandangan mereka sendiri, mereka merasa
nyaman. Begitu kebaruan itu luntur dan kontradiksi yang bertumpuk mengganggu
pikiran dan perasaan, mereka menjadi terdisorientasi.
Sekalipun
beberapa aspek bahasa tampaknya memberi kita kerangka pikir kognitif potensial
kita juga bisa mengenali bahwa melalui bahasa dan budaya, sejumlah property
universal mengikat kita bersama di satu dunia. Seperti dalam setiap pengalaman
pembelajaran yang lain, pembelajar bahasa kedua bisa memanfaatkan kegunaan
positif pengalaman-pengalaman sebelumnya untuk memudahkan proses pembelajaran
dengan mempertahankan apa yang valid dan berharga untuk pembelajaran budaya
kedua dan pembelajar bahasa kedua.
B.
Saran
Sebuah materi yang esensial diperlukan pemahaman
khusus, jadi diharapkan keseriusannya dalam materi ini dan rajin melatih diri
untuk mempelajarinya agar dapat memahaminya. Menyadari bahwa penulis masih jauh
dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan
tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya
dapat dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa Edisi Kelima. Jakarta:
Pearson Education.