BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ketika kita mendengar orang berbicara, maka kita akan
dengar runtutan bunyi bahasa. Runtutan bunyi bahasa ini dapat dianalisis dan
disegmentasikan berdasarkan tingkatan-tingkatan kesatuannya yang ditandai
dengan hentian-hentian atau jeda yang terdapat dalam runtutan bunyi tersebut. Bidang
linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan
bunyi-bunyi bahasa disebut fonologi. Adapun
satuan bunyi yang menjadi objek studinya yaitu fonetik dan fonemik. Dalam
hal mengeluarkan, menghasilkan, atau mengucapkan bunyi, tentu saja melalui
proses. Kita perlu mengetahui bagaimana proses pengeluaran bunyi-bunyi bahasa
dan organ-organ apa saja yang berperan dalam proses tersebut.
Jika diperhatikan bunyi-bunyi yang terdapat pada
kata-kata [intan], [angin], dan [batik] tidak sama. Ketidaksamaan bunyi pada deretan
kata-kata itulah sebagai salah satu objek atau sasaran studi fonologi khususnya
cabang ilmu fonetik. Dalam kajiannya, fonetik berusaha mendeskripsikan
perbedaan bunyi-bunyi itu serta menjelaskan sebab-sebabnya. Dalam makalah ini,
akan dibahas lebih lanjut mengenai kajian-kajian fonetik tersebut.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan di atas, maka
rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pembentukan bunyi
dalam bahasa Indonesia?
2. Bagaimana klasifikasi dan deskripsi
bunyi segmental bahasa Indonesia?
3. Bagaimana penggunaan bunyi diftong
dalam bahasa Indonesia?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang
ingin dicapai
pada penulisan makalah ini yaitu
sebagai berikut:
1. Mengetahui proses pembentukan bunyi
dalam bahasa Indonesia.
2. Mengetahui klasifikasi dan deskripsi
bunyi segmental bahasa Indonesia.
3. Mengetahui penggunaan bunyi diftong
dalam bahasa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Fonologi dan Fonetik
Secara etimologi terbentuk dari kata fon yang berarti
bunyi, dan logi yang berarti ilmu. Sebagai sebuah ilmu, fonologi lazim
diartikan sebagai bagian paling dasar dalam hierarki kajian linguistik yang
mempelajari, membahas, membicarakan, dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang
diproduksi oleh alat-alat ucap manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fonologi yaitu bidang linguistik yang
menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Fonologi mengkaji bunyi
bahasa secara umum dan fungsional. Adapun cabang studi fonologi yang dikaji dalam
makalah ini adalah fonetik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fonetik adalah bidang linguistik pengucapan
(penghasilan) bunyi ujar, sistem bunyi suatu bahasa. Menurut Kamus Linguistik, fonetik yaitu ilmu
yang menyelidiki penghasilan, penyampaian, dan penerimaan bunyi bahasa; ilmu
interdisipliner linguistik dengan fisika, anatomi dan psikologi; sistem bunyi
suatu bahasa. Fonetik adalah cabang kajian linguistik yang meneliti bunyi-bunyi
bahasa tanpa melihat apakah bunyi-bunyi itu dapat membedakan makna atau tidak
(Abdul Chaer, 2009: 10). Fonetik
merupakan bidang kajian ilmu pengetahuan (science)
yang menelaah bagaimana manusia menghasilkan bunyi-bunyi bahasa dalam ujaran,
menelaah gelombang-gelombang bunyi bahasa yang dikeluarkan, dan bagaimana alat
pendengaran manusia menerima bunyi-bunyi bahasa untuk dianalisis oleh otak
manusia (O’Connor, 1982: 10-11, Ladefoged, 1982: 1, dalam Masnur, 2013: 8).
Dengan demikian, fonetik adalah bidang ilmu linguistik yang mempelajari
penghasilan, penyampaian, dan penerimaan bunyi bahasa tanpa memperhatikan
bunyi-bunyi tersebut membedakan makna atau tidak.
Sebagai contoh
bunyi [d] dalam kata tidak oleh
penutur Jawa diucapkan beraspirasi agak keras, sedangkan oleh penutur suku lain
tidak. Bunyi [d] yang diucapkan, baik beraspirasi atau tidak, tidak membedakan
makna dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, perbedaannya
tidak fungsional.
B. Jenis-jenis
Fonetik
Berdasarkan di mana beradanya bunyi bahasa itu sewaktu
dikaji, fonetik dibedakan atas tiga macam yaitu fonetik fisiologis atau fonetik
artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris.
1. Fonetik Fisiologis atau Artikulatoris
Fisiologi adalah suatu bidang ilmu
pengetahuan yang mengkaji tentang fungsi fisiologis manusia (Liberman, 1977: 3,
dalam Masnur, 2013: 8). Sebagaimana manusia yang normal tentu mampu
menghasilkan berbagai bunyi bahasa dengan menggerakkan atau memanfaatkan
organ-organ tuturnya, misalnya lidah, bibir, dan gigi bawah (yang digerakkan
oleh rahang bawah). Dengan demikian, seseorang yang ingin mengkaji bunyi-bunyi
bahasa harus mengetahui juga berbagai struktur mekanisme pertuturan, memahami
fungsi setiap mekanisme tersebut, dan peranannya dalam menghasilkan berbagai
bunyi bahasa (Singh dan Singh, 1976: 2 dalam Masnur, 2013: 9). Dalam hal ini,
fonetik fisiologis yaitu bidang fonetik yang mengkaji tentang penghasilan
bunyi-bunyi bahasa berdasarkan fungsi mekanisme biologis organ tutur manusia.
Fonetik
fisiologis atau artikulatoris sering pula disebut fonetik organis yaitu
mempelajari bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan oleh alat-alat ucap
manusia. Fonetik fisiologis paling berkaitan dengan ilmu linguistik, karena
fonetik ini sangat berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi bahasa itu
diproduksi atau dihasilkan. Fonetik organis (fonetik artikulatoris atau fonetik
fisiologis) ialah fonetik yang mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara
(alat-alat ucap) yang ada dalam tubuh manusia menghasilkan bunyi bahasa.
Bagaimana bunyi bahasa itu diucapkan dan dibuat, serta bagaimana bunyi bahasa
diklasifikasi berdasarkan artikulasinya.
2. Fonetik Akustik
Fonetik
akustik mempelajari bunyi bahasa
menurut aspek-aspek fisiknya. Kajian fonetik akustis bertumpu pada struktur
fisik bunyi-bunyi bahasa dan bagaimana alat pendengaran manusia memberikan
reaksi kepada bunyi-bunyi bahasa yang diterima (Malmberg, 1963: 1 dalam Masnur,
2013: 9). Fonetik akustik, yang objeknya adalah bunyi bahasa ketika merambat di
udara, antara lain membicarakan: gelombang bunyi beserta frekuensi dan
kecepatannya ketika merambat di udara, spektrum, tekanan, dan intensitas bunyi.
Juga mengenai skala desibel, resonansi, akustik produksi bunyi, serta
pengukuran akustik itu.
Dalam rangka
pengkajian fonetik akustik, fonetisi berusaha menguraikan berbagai hal tentang
bagaimana suatu bunyi bahasa ditanggapi dan dihasilkan oleh mekanisme
pertuturan manusia, bagaimana pergerakan bunyi-bunyi bahasa itu dalam ruang
udara, yang seterusnya bisa merangsang proses pendengaran manusia. Kajian
fonetik akustik lebih mengarah kepada kajian fisika daripada kajian linguistik,
meskipun linguistik memiliki kepentingan didalamnya.
3. Fonetik Auditoris
Fonetik
auditoris adalah kajian terhadap respons sistem pendengaran terhadap rangsangan
gelombang bunyi yang diterima. Fonetik auditoris mengarahkan kajiannya kepada
persoalan bagaimana manusia menentukan pilihan bunyi-bunyi yang diterima alat
pendengarannya. Dengan arti kata, kajian ini meneliti bagaimana seorang
pendengar menanggapi bunyi-bunyi yang diterimanya sebagai bunyi-bunyi yang
perlu diproses sebagai bunyi-bunyi bahasa bermakna, dan apakah ciri bunyi-bunyi
bahasa yang dianggap penting oleh pendengar dalam usahanya untuk
membeda-bedakan setiap bunyi bahasa yang didengar (Singh dan Singh, 1976: 5
dalam Masnur, 2013: 9-10). Dalam hal ini tentunya pembahasan mengenai struktur
dan fungsi alat dengar, yang disebut telinga itu bekerja. Bagaimana mekanisme
penerimaan bunyi bahasa itu, sehingga bisa dipahami. Oleh karena itu, kiranya
kajian fonetik auditoris lebih berkenaan dengan ilmu kedokteran, termasuk
kajian neurologi.
C. Proses
Pembentukan Bunyi
Dalam proses pembentukan bunyi, sumber
energi utamanya adalah arus udara yang mengalir dari/ke paru-paru.
Getaran-getaran itu timbul pada pita suara sebagai akibat tekanan arus udara,
yang dibarengi dengan gerakan alat-alat ucap sedemikian rupa sehingga
menimbulkan perbedaan/perubahan rongga udara yang terdapat dalam mulut dan/atau
hidung. Dengan demikian, sarana utama yang berperan dalam proses pembentukan bunyi
bahasa adalah (1) arus udara, (2) pita suara, dan (3) alat ucap.
1.
Arus
Udara
Arus udara yang menjadi sumber energi
utama pembentukan bunyi bahasa merupakan hasil kerja alat atau organ tubuh yang
dikendalikan oleh otot-otot tertentu atas perintah saraf-saraf otak. Dengan
demikian, arus udara diciptakan atas perintah saraf-saraf otak tertentu; apakah
arus udara menuju ke luar dari paru-paru, atau arus udara ke dalam atau menuju
paru-paru.
2.
Pita
Suara
Merupakan sumber bunyi. Ia bergetar
atau digetarkan oleh udara yang keluar atau masuk paru-paru. Pita suara
terletak dalam kerongkongan (larynx)
dalam posisi mendapar dari muka (anterior)
ke belakang (posterior).
Bergetarnya
pita suara dengan cara membuka dan menutup. Lubang pada saat pita suara itu
membuka disebut glotis. Membukanya
dari muka menuju ke belakang. Kadang-kadang membukanya tidak sampai ke belakang
betul. Menutupnya pun mulai dari muka. Selain dari getaran penuh dari muka ke
belakang, ada getaran kecil yang panjangnya setengah, seperempat, dan seterusnya
dari panjang pita suara, dan bergetar secara serempak. Satu kali
membuka-menutupnya pita suara di sebut satu gelombang.
Tenggorokan
yang terletak di atas pita suara, rongga mulut, dan rongga hidung, berperan
sebagai resonator atau peninggi bunyi yang diciptakan oleh pita suara. Dengan
demikian, waktu pita suara bergetar, tenggorokan, rongga mulut, dan rongga
hidung ikut membantu menggetarkan udara dengan frekuensi yang seirama dengan
frekuensi pita suara, sehingga bunyi dari pita suara menjadi lebih tinggi
pengaruhnya.
3.
Alat
Ucap
Organ-organ tubuh yang dipergunakan
sebagai alat ucap dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu (1) komponen
supraglotal, (b) komponen laring, (c) komponen subglotal.
1.
Komponen
Supraglotal
Komponen
supraglotal adalah alat-alat ucap yang berada di dalam rongga mulut dan rongga
hidung baik yang menjadi artikulator aktif maupun yang menjadi artikulator
pasif. Komponen supraglotal terdiri dari tiga rongga yang berfungsi sebagai
lubang resonansi dalam pembentukan bunyi, yaitu rongga kerongkongan (faring),
rongga hidung, dan rongga mulut.
Rongga kerongkongan yang terletak di atas laring merupakan
tabung dan di bagian atasnya bercabang dua, yang berwujud rongga mulut dan
rongga hidung. Peranan rongga kerongkongan yaitu sebagai tabung udara yang akan
bergetar apabila pita suara menimbulkan getaran pada arus udara yang lewat dari
paru-paru. Volume rongga kerongkongan dapat diperkecil dengan menaikkan laring,
dengan mengangkat ujung langit-langit lunak sehingga hubungan dengan rongga
hidung tertutup, dan dengan menarik belakang lidah ke arah dinding faring.
Rongga hidung mempunyai bentuk dan dimensi yang
relatif tetap tetapi dalam kaitannya dengan pembentukan bunyi mempunyai fungsi
sebagai tabung resonansi. Peran ini terjadi ketika arus udara dari paru-paru
mengalami getaran sewaktu melalui pita suara, dan getaran itu menggetarkan
udara yang ada dalam rongga kerongkongan, rongga mulut, dan rongga hidung.
Rongga mulut mempunyai dan dimensi yang sangat
bervariasi, sehingga bunyi-bunyi ujar yang dihasilkan pun sangat banyak dan
bervariasi. Hal ini dimungkinkan karena keterlibatan lidah, bibir, dan juga
rahang yang mudah digerakkan. Bagian-bagian alat ucap yang terdapat dalam
rongga mulut yang bisa digerakkan disebut artikulator
(berada di bagian bawah rongga mulut) dan titik artikulasi (berada di bagian atas rongga mulut).
Berikut penamaan bunyi berdasarkan
daerah artikulasinya.
Titik Artikulasi
|
Bibir Atas (Labium)
|
Gigi Atas (Dentum)
|
Pangkal Gigi Atas (Alveolum)
|
Langit- Langit Keras (Palatum)
|
Langit-Langit Lunak (Velum)
|
Anak Tekak (Uvula)
|
Artikulator
|
||||||
Bibir Bawah (Labium)
|
Bilabial
|
Labio Dental
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Gigi Bawah (Dentum)
|
-
|
Inter Dental
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Ujung Lidah (Apeks)
|
-
|
Apiko dental
|
Apiko alveolar
|
-
|
-
|
-
|
Daun Lidah (Lamina)
|
-
|
Lamino dental
|
Lamino alveolar
|
Lamino palatal
|
-
|
-
|
Belakang Lidah (Dorsum)
|
-
|
-
|
-
|
Dorso palatal
|
Dorso velar
|
Dorso uvular
|
Akar Lidah (Radiks)
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Radiko uvular
|
2.
Komponen
Laring
Komponen
laring merupakan kotak yang terbentuk dari tulang rawan yang berbentuk
lingkaran. Di dalamnya terdapat pita suara. Laring berfungsi sebagai klep yang
mengatur arus udara antara paru-paru, mulut dan hidung. Pita suara dengan
kelenturannya bisa membuka dan menutup, sehingga bisa memisahkan dan sekaligus
bisa menghubungkan antara udara yang ada pada paru-paru dan yang ada pada mulut
dan hidung. Apabila dibuka lebar-lebar, udara yang ada pada paru-paru bisa berhubungan
dengan udara yang ada pada mulut dan hidung. Sebaliknya, apabila klep ditutup
rapat, udara yang ada pada paru-paru terpisah total dengan udara yang ada pada
mulut dan hidung.
3.
Komponen
Subglotal
Komponen
subglotal terdiri dari paru-paru kiri dan kanan, saluran bronkial, dan saluran
pernapasan (trakea). Fungsi utama komponen subglotal adalah memberi arus udara
yang merupakan syarat mutlak untuk terjadinya bunyi bahasa. Proses pengaliran
udara yang berganti-ganti arah disebabkan oleh berkembang kempisnya kedua
paru-paru yang berongga. Proses tersebut berjalan secara teratur oleh kinerja
otot-otot yang terdapat dalam paru-paru, otot-otot perut, dan rongga dada.
Proses ini tidak mengganggu kegiatan berbicara, bahkan menjadi syarat utama
pembentukan bunyi bahasa.
Proses
pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan memanfaatkan pernapasan sebagai sumber
tenaganya. Pada saat kita mengeluarkan napas, paru-paru kita menghembuskan
tenaga yang berupa arus udara. Arus udara itu dapat mengalami perubahan pada
pita suara yang terletak pada pangkal tenggorokan atau laring. Arus udara dari
paru-paru itu dapat membuka kedua pita suara yang merapat sehingga menghasilkan
ciri-ciri bunyi tertentu. Gerakan membuka dan menutup pita suara itu
menyebabkan udara di sekitar pita suara itu bergetar. Perubahan bentuk saluran
suara yang terdiri atas rongga faring, rongga mulut, dan rongga hidung
menghasilkan bunyi bahasa yang berbeda-beda. Udara dari paru-paru dapat keluar
melalui rongga mulut, rongga hidung, atau lewat rongga mulut dan rongga hidung
sekaligus.
Pada saat
udara dari paru-paru dihembuskan, kedua pita suara dapat merapat atau
merenggang. Apabila kedua pita suara itu berganti-ganti merapat dan merenggang
dalam pembentukan suatu bunyi bahasa, maka bunyi bahasa yang dihasilkan terasa
‘berat’. Apabila pita suara direnggangkan sehingga udara tidak tersekat oleh
pita suara, maka bunyi bahasa yang dihasilkan akan terasa ‘ringan’.
Setelah
melewati rongga faring, arus udara mengalir ke bagian atas tenggorokan. Jika
yang kita kehendaki adalah bunyi oral, tulang rawan yang dinamakan anak tekak
atau uvula akan menutup saluran ke rongga hidung. Dengan demikian, bunyi
tersebut akan keluar melalui rongga mulut. Jika yang kita kehendaki bunyi
nasal, uvula diturunkan sehingga udara keluar melalui rongga hidung. Macam
bunyi bahasa yang kita hasilkan juga dipengaruhi oleh ada tidaknya hambatan
dalam proses pembuatannya.
D. Alat
Ucap
Ketika berbicara, alat-alat ucap
bekerja seperti pada proses ketika melakukan fungsi utamanya masing-masing. Berikut
adalah gambar alat-alat ucap beserta penjelasannya.
Keterangan gambar:
1.
Paru-paru
(lung)
2.
Batang
tenggorok (trachea)
3.
Pangkal
tenggorok (laring)
4.
Pita
suara (vocal card)
5.
Krikoid
(cricoid)
6.
Tiroid
(thyroid)
7.
Aritenoid
(arhythenoid)
8.
Dinding
rongga kerokongan (wall of pharynx)
9.
Epiglotis
10.
Akar
lidah (root of the lounge)
11.
Pangkal
lidah (back of the lounge, dorsum)
12.
Tengah
lidah (middle of the tounge, medium)
13.
Daun
lidah (blade of the tounge, medium)
14.
Ujung
lidah (tip of the tounge, apex)
15.
Anak
tekak (uvula)
16.
Langit-langit
lunak (soft palate, velum)
17.
Langit-langit
keras (hard palate, palatum)
18.
Gusi,
ceruk gigi (alveolum)
19.
Gigi
atas (upper teeth, dentum)
20.
Gigi
bawah (lower teeth, dentum)
21.
Bibir
atas (upper lip, labium)
22.
Bibir
bawah (lower lip, labium)
23.
Mulut
(mouth)
24.
Rongga
mulut (oral cavity)
25.
Rongga
hidung (nasal cavity)
Adapun cara
kerja alat-alat ucap atau alat-alat bicara tersebut, yaitu:
1. Paru-paru
Paru-paru adalah sumber
arus udara yang merupakan syarat mutlak untuk terjadinya bunyi bahasa. Bunyi
bahasa dapat juga dihasilkan dengan arus udara yang datang dari luar mulut.
Kalau arus datang dari paru-paru disebut arus udara egresif dan kalau arus udara datang dari luar disebut arus udara ingresif.
2.
Pangkal
Tenggorok (laring), pita suara, glottis dan epiglottis
Pangkal
tenggorok adalah sebuah rongga pada ujung saluran pernafasan yang diujungnya
ada sepasang pita suara. Pita suara ini dapat terbuka lebar, terbuka agak
lebar, terbuka sedikit, dan tertutup rapat sesuai dengan arus idara yang di
hembuskan keluar. Celah di antara pita suara itu disebut glottis. Pada glotis inilah awal terjadinya bunyi bahasa dalam
proses produksi bunyi itu. Bila glotis berada dalam keadaan terbuka lebar,
tidak ada bunyi bahasa yang di hasilkan selain desah nafas. Bila glotis dalam
keadaan terbuka agak lebar akan terjadi bunyi tak bersuara. Bila glotis dalam
keadaan terbuka sedikit akan terjadi bunyi bersuara. Bila glotis dalam keadaan
tertutup rapat akan terjadi bunyi hambat glotal.
3.
Rongga
Kerokongan
Faring atau
rongga kerokongan adalah sebuah rongga yang terletak diantara pangkal tenggorok
dengan rongga mulut dan rongga hidung. Faring berfungsi sebagai “tabung udara”
yang akan ikut bergetar bila pita suara bergetar. Bunyi bahasa yang dihasilkan
disebut bunyi faringal.
4.
Langit-langit
lunak(velum), anak tekak(uvula), dan pangkal lidah (dorsum)
Langit-langit
lunak dan bagian ujungnya yang disebut uvula dapat turun naik untuk mengatur
arus udara keluar masuk melalui rongga hidung dan rongga mulut. Uvula akan merapat ke dinding faring kalau arus udara keluar melalui
rongga mulut, dan akan menjauh dari dinding faring
kalau arus udara keluar melalui rongga hidung. Bunyi yang dihasilkan dengan velum sebagai articulator pasif dan dorsum sebagai artikulator disebut bunyi
dorsovelar, dari gabungan kata dorsum dan
velum. Sedangkan bunyi yang
dihasilkan uvula disebut bunyi uvular.
5.
Langit-langit
keras (palatum), ujung lidah (apeks), dan daun lidah (laminum)
Dalam
pembentukan bunyi-bunyi bahasa, langit-langit keras berlaku sebagai artikulator
pasif (artikulator yang diam, tidak bergerak) dan yang menjadi artikulator
aktifnya adalah ujung lidah (apeks)
atau daun lidah (laminum). Bunyi bahasa yang dihasilkan oleh palatum dan apeks disebut bunyi apikopalatal. Sedangkan yang dihasilkan oleh palatum dan laminum disebut bunyi laminopalatal
6.
Ceruk
gigi (alveolum), apeks, dan daun lidah (laminum)
Dalam
pembentukan bunyi bahasa, alveolum
sebagai artikulator pasif; dan apeks atau laminum sebagai artikulator aktifnya.
Bunyi yang dihasilkan oleh alveolum
dan apeks disebut bunyi apikoalveolar.
7.
Gigi
(dentum), ujung lidah (apeks), dan bibir (labium)
Dalam produksi
bunyi bahasa, gigi atas dapat berperan sebagai artikulator pasif; yang menjadi
artikulator aktifnya adalah apeks
atau bibir bawah. Bunyi yang dihasilkan oleh gigi atas dan apeks disebut bunyi apikodental;
dan yang dihasilkan oleh gigi atas dan bibir bawah disebut bunyi labiodental. Dalam hal ini ada juga
bunyi interdental dimana apeks
sebagai artikulator aktif berada di antara gigi atas dan gigi bawah yang
menjadi artikulator pasifnya.
8.
Bibir
bawah dan bibir atas
Dalam
pembentukan bunyi bahasa bibir atas bisa menjadi artikulator pasif dan bibir
bawah menjadi artikulator aktif. Bunyi yang dihasilkan disebut bunyi bilabial, seperti bunyi [p] dan [b]. Bibir
bawah bisa juga menjadi artikulator aktif, dengan gigi atas sebagai artikulator
pasifnya. Lalu, bunyi yang dihasilkan disebut bunyi labiodental dari kata labium dan
dentum.
9.
Lidah
(tongue)
Lidah terbagi
menjadi empat bagian, yaitu ujung lidah (apeks);
daun lidah (laminum); pangkal
lidah (dorsum); dan akar lidah (root). Lidah dengan bagian-bagiannya
dalam pembentukan bunyi bahasa selalu menjadi artikulator aktif, yakni
artikulator yang bergerak. Sedangkan artikulator pasifnya adalah alat-alat ucap
yang terdapat pada rahang atas. Posisi lidah ke depan, ke tengah, ke belakang,
ke atas atau ke bawah menentukan jenis vocal yang dihasilkan.
10. Mulut dan rongga mulut
Rongga mulut
dengan kedua belah bibir (atas dan bawah) berperan
dalam pembentukan bunyi vokal. Kalau
bentuk mulut membundar maka akan dihasilkan bunyi vokal bundar atau bulat;
kalau bentuk mulut tidak membundar maka akan dihasilkan bunyi vokal tidak
bundar. Secara umum semua bunyi yang dihasilkan di rongga mulut dissebut bunyi
oral.
11. Rongga hidung
Bunyi bahasa
yang dihasilkan melalui rongga hidung disebut bunyi nasal. Bunyi nasal ini
dihasilkan dengan cara menutup rapat-rapat arus udara di rongga mulut, dan
menyalurkannya keluar melalui rongga hidung. Bunyi nasal yang ada di Indonesia
adalah bunyi nasal bilabial [m]; bunyi nasal apikoalveolar [ɳ]; bunyi nasal
laminopalatal [ñ]; dan bunyi nasal dorsovelar [ŋ].
E. Klasifikasi
Bunyi Segmental
Klasifikasi
bunyi segmental didasarkan berbagai macam kriteria, yaitu:
1.
Ada
tidaknya gangguan
Dilihat dari ada tidaknya gangguan
ketika bunyi diucapkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a.
Bunyi
vokoid, yaitu bunyi yang dihasilkan tanpa melibatkan penyempitan atau penutupan
pada daerah artikulasi. Ketika bunyi itu diucapkan, yang diatur hanyalah ruang
resonansi pada rongga mulut melalui pengaturan posisi lidah dan bibir.
Berkaitan dengan pengaturan ruang resonansi, Daniel Jones menemukan delapan
titik vokoid yang disebut dengan Vokal Kardinal (Cardinal Vowel) yang didiagramkan sebagaimana gambar berikut.
b.
Bunyi
kontoid, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara melibatkan penyempitan atau penutupan pada daerah
artikulasi. Bunyi-bunyi kontoid ini lebih banyak jenisnya bila dibanding dengan
bunyi-bunyi vokoid, seiring dengan banyaknya jenis artikulator yang terlibat
dalam upaya penyempitan atau penutupan ketika bunyi itu diucapkan.
2.
Mekanisme
Udara
Yang dimaksud dengan mekanisme udara
adalah dari mana datangnya udara yang menggerakkan pita suara sebagai sumber
bunyi. Dilihat dari kriteria ini, bunyi-bunyi bahasa bisa dihasilkan dari tiga
kemungkinan mekanisme udara, yaitu:
a. Mekanisme udara pulmonis, yaitu udara
yang dari paru-paru menuju ke luar. Mekanisme udara pulmonis ini terjadi pada
hampir semua bunyi-bunyi bahasa di dunia.
b. Mekanisme udara laringal atau
faringal, yaitu udara yang datang dari laring atau faring. Caranya, glotis
ditutup terlebih dahulu, kemudian rongga mulut ditutup pada velum atau uvula. Velik
juga ditutup. Kemudian, rongga laring dan faring diperkecil dengan menarik akar
lidah ke belakang dan menaikkan jakun. Maka, terjadilah pemadatan udara dalam
rongga laring dan faring sehingga apabila salah satu tutup dibuka (glotis,
velum, velik), udara akan keluar meninggalkan rongga laring dan faring.
c. Mekanisme udara oral, yaitu udara yang
datang dari mulut. Caranya, menutup rongga mulut pada velum dan salah satu
tempat di depan. Kemudian, rongga mulut diperkecil sehingga terjadi pemadatan
udara sehingga apabila salah satu tutup dibuka maka udara akan keluar
meninggalkan rongga mulut.
3.
Arah
udara
Dilihat dari
arah udara ketika bunyi dihasilkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu:
a. Bunyi egresif, yaitu bunyi yang
dihasilkan dari arah udara menuju ke luar melalui rongga mulut atau rongga
hidung.
b. Bunyi ingresif, yaitu bunyi yang
dihasilkan dari arah udara masuk ke dalam paru-paru. Misalnya, ketika kita
berbicara sambil terisak, kita bisa menghasilkan bunyi ingresif.
4.
Pita
suara
Dilihat dari bergetar tidaknya pita
suara ketika bunyi dihasilkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Bunyi mati atau bunyi tak bersuara,
yaitu bunyi yang dihasilkan dengan pita suara tidak melakukan gerakan membuka
menutup sehingga getarannya tidak signifikan. Misalnya, bunyi [k], [p], [t],
[s], [c], [f].
b. Bunyi hidup atau bunyi bersuara, yaitu
bunyi yang dihasilkan dengan pita suara melakukan gerakan membuka dan menutup
secara sehingga bergetar secara signifikan. Misalnya, bunyi [g], [b], [d], [z],
[v], [j], [x], [h], [?].
5.
Lubang
lewatan udara
Dilihat dari lewatan udara ketika
bunyi dihasilkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a. Bunyi oral, yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan cara udara keluar melalui rongga mulut, dengan menutupkan
velik pada dinding faring. Untuk mengetahui apakah bunyi yang kita hasilkan
merupakan bunyi oral atau tidak, kita bisa mengeceknya dengan cara membungkam
mulut kita dengan telapak tangan. Ternyata, misalnya, kita tidak bisa
membunyikan [k] dengan mulut terbungkam. Berarti [k] merupakan bunyi oral.
b. Bunyi nasal, adalah bunyi yang
dihasilkan dengan cara udara keluar melalui rongga hidung, dengan menutup
rongga mulut dan membuka velik lebar-lebar. Untuk mengetahui apakah bunyi yang
kita hasilkan merupakan bunyi nasal atau tidak, kita bisa mengeceknya dengan
cara menutup kedua lubang hidung kita. Ternyata, misalnya, kita tidak bisa
mengucapkan bunyi [m] dan [ŋ] dengan kedua lubang hidung tertutup. Ini berarti
[m] dan [ŋ] merupakan bunyi nasal.
c. Bunyi sengau, yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan cara udara keluar melalui rongga mulut dan rongga hidung,
dengan membuka velik sedikit.
6.
Mekanisme
artikulasi
Yang dimaksud dengan makanisme
artikulasi adalah alat ucap mana yang bekerja atau bergerak ketika menghasilkan
bunyi bahasa. Berdasarkan kriteria ini, bunyi dapat dikelompokkan sebagai
berikut.
a. Bunyi bilabial, yaitu bunyi yang
dihasilkan oleh keterlibatan bibir (labium) bawah dan bibir (labium) atas.
Misalnya, bunyi [p], [b], [m], dan [w].
b. Bunyi labio-dental, yaitu bunyi yang
dihasilkan oleh keterlibatan bibir (labium) bawah dan gigi (dentum) atas.
Misalnya, [f] dan [v].
c. Bunyi apiko-dental, yaitu bunyi yang
dihasilkan oleh keterlibatan ujung lidah (apeks) dan gigi (dentum) atas.
d. Bunyi apiko-alveolar, yaitu bunyi yang
dihasilkan oleh keterlibatan ujung lidah (apeks) dan gusi (alveolum) atas.
e. Bunyi lamino-palatal, yaitu bunyi yang
dihasilkan oleh keterlibatan tengah lidah (lamina) dan langit-langit keras
(palatum).
f. Bunyi dorso-velar, yaitu bunyi yang
dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah (dorsum) dan langit-langit lunak
(velum).
g. Bunyi dorso-uvular, yaitu bunyi yang
dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah (dorsum) dan anak tekak (uvula).
h. Bunyi laringal, yaitu bunyi yang
dihasilkan oleh keterlibatan tenggorok (laring).
i. Bunyi glotal, yaitu bunyi yang
dihasilkan oleh keterlibatan lubang atau celah (glotis) pada pita suara.
7.
Cara
gangguan
Dilihat dari cara gangguan arus udara
oleh artikulator ketika bunyi diucapkan, bunyi dapat dikelompokkan sebagai
berikut.
a. Bunyi stop (hambat), yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan cara arus udara ditutup rapat sehingga udara terhenti seketika,
lalu dilepaskan kembali secara tiba-tiba. Tahap pertama (penutupan) disebut implosif (atau stop implosif), tahap kedua (pelepasan) disebut eksplosif (atau stop eksplosif). Misalnya, [p’] pada [atap’] disebut bunyi stop implosif; [p] pada [paku] disebut bunyi
stop eksplosif. Contoh bunyi stop
yang lain: [b], [t], [d], [k], [g], [?].
b. Bunyi kontinum (alir), yaitu bunyi
yang dihasilkan dengan cara arus udara tidak ditutup secara total sehingga arus
udara tetap mengalir. Berarti, bunyi-bunyi selain bunyi stop merupakan bunyi
kontinum, yaitu bunyi afrikatif,
frikatif, tril, dan lateral.
c. Bunyi afrikatif (paduan), yaitu bunyi
yang dihasilkan dengan cara arus udara ditutup rapat, tetapi kemudian dilepas
secara berangsur-angsur. Misalnya, [c], [j].
d. Bunyi frikatif (geser), yaitu bunyi
yang dihasilkan dengan cara arus udara dihambat sedemikian rupa sehingga udara
tetap dapat keluar. Misalnya, [f], [v], [s], [z], [š], [x], dan [h].
e. Bunyi tril (getar), yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan cara arus udara ditutup dan dibuka berulang-ulang secara
cepat. Misalnya, [r] dan [R].
f. Bunyi lateral (samping), yaitu bunyi
yang dihasilkan dengan cara arus udara ditutup sedemikian rupa sehingga udara
masih bisa keluar melalui salah satu atau kedua sisi-sisinya. Misalnya, [l]
pada [lima].
g. Bunyi nasal (hidung), yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan cara arus udara yang lewat rongga mulut ditutup rapat, tetapi
arus udara dialirkan lewat rongga hidung. Misalnya, [m], [n], [ñ], dan [ŋ].
8.
Tinggi-Rendahnya
Lidah
Dilihat dari tinggi rendahnya lidah ketika
bunyi itu diucapkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu (a) bunyi
tinggi, (b) bunyi agak tinggi, (c) bunyi tengah, (d) bunyi agak rendah, dan (e)
bunyi rendah.
a. Bunyi tinggi, yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi, mendekati langit-langit keras.
Caranya, rahang bawah merapat ke rahang atas. Misalnya, [i] pada [kita], [u]
pada [hantu].
b. Bunyi agak tinggi, yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan cara posisi lidah meniggi, sehingga agak mendekati langit-langit
keras. Caranya, rahang bawah agak merapat ke rahang atas. Misalnya, [e] pada
[lele], [o] pada [soto].
c. Bunyi tengah, yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan cara posisi lidah di tengah. Caranya, rahang bawah dalam
posisi netral atau biasa. Caranya, rahang bawah dalam posisi netral atau biasa.
Misalnya, [ǝ] pada [sǝgǝra], [ǝ] pada [ǝmas].
d. Bunyi agak rendah, yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan cara posisi lidah agak merendah, sehingga agak menjauhi
langit-langit keras. Caranya, rahang bawah menjauh dari rahang atas, di bawah
posisi netral. Misalnya, [ɛ] pada [ɛlɛ?], [O] pada [pOkO?].
e. Bunyi rendah, yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan cara posisi lidah merendah sehingga menjauh dari
langit-langit keras. Caranya, rahang bawah diturunkan sejauh-jauhnya dari rahang
atas. Misalnya, [a] pada [bata], [α] pada [rαhmat].
9.
Maju-mundurnya
lidah
Dilihat dari maju-mundurnya lihat
ketika bunyi diucapkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (a) bunyi
depan, (b) bunyi pusat, dan (c) bunyi belakang.
a. Bunyi depan, yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan cara bagian depan lidah dinaikkan. Misalnya, [i], [ī], [e], [ɛ],
[a].
b. Bunyi pusat, yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan cara lidah merata, tidak ada bagian lidah yang dinaikkan.
Misalnya, [ǝ].
c. Bunyi belakang, yaitu bunyi yang dihasilkan
dengan cara bagian belakang lidah dinaikkan. Misalnya, [u], [U], [o], [O], [α].
10. Bentuk bibir
Dilihat dari bentuk bibir ketika bunyi
diucapkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (a) bunyi bulat dan (b)
bunyi tidak bulat.
a. Bunyi bulat, yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan cara posisi bibir berbentuk bulat. Misalnya, [u], [U], [o],
[O], [α].
b. Bunyi tidak bulat, yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan cara posisi bibir merata atau tidak bulat. Misalnya, [i],
[ī], [e], [ɛ], [a].
F.
Deskripsi Bunyi Segmental
Bunyi
segmental, baik vokoid maupun kontoid, yang diucapkan oleh penutur bahasa
Indonesia sangat variatif, apalagi setelah diterapkan dalam berbagai distribusi
dan lingkungan. Tetapi paling tidak jumlah dan variasi bunyi tersebut bisa
dideskripsikan sebagai berikut.
1. Bunyi
Vokal
Vokal adalah jenis bunyi bahasa yang
ketika dihasilkan atau diproduksi, setelah arus ujar ke luar dari glotis tidak
mendapat hambatan dari alat ucap, melainkan hanya diganggu oleh posisi lidah,
baik vertikal maupun horizontal, dan bentuk mulut. Bunyi
vokoid dihasilkan dengan udara yang keluar dari paru-paru tanpa adanya
hambatan. Proses terjadinya vokal, selain oleh hambatan udara, dipengaruhi pula
oleh gerakan bibir dan gerakan lidah. Berikut bagan vokal.
Posisi
Lidah
|
Depan
|
Tengah
|
Belakang
|
Striktur
|
|
TB
|
TB
|
B
|
N
|
||
atas
TINGGI
bawah
|
[
i ]
[
I ]
|
[
u ]
[
U ]
|
Tertutup
|
||
atas
MADYA
bawah
|
[
e ]
[
ɛ ]
|
[
ə ]
|
[
o ]
[
Ɔ ]
|
Semi
Tertutup
Semi Terbuka
|
|
RENDAH
|
[
a ]
|
[
a ]
|
Terbuka
|
Keterangan:
TB : Tak Bulat
B : Bulat
N : Netral
Berdasarkan
bagan di atas, bunyi vokal dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Bunyi
|
Ciri-Ciri
|
Contoh Kata
|
[i]
|
Tinggi
(atas), depan, tak bulat, tertutup
|
[bila]
‘bila’
|
[I]
|
Tinggi
(bawah), depan, tak bulat, tertutup
|
[adI?]
‘adik’
|
[e]
|
Madya (atas),
depan, tak bulat, semi tertutup
|
[ide] ‘ide’
|
[ɛ]
|
Madya
(bawah), depan, tak bulat, semi terbuka
|
[nɛnɛ?]
‘nene?’
|
[a]
|
Rendah,
depan, tak bulat, terbuka
|
[cari]
‘cari’
|
[u]
|
Tinggi
(atas), belakang, bulat, tertutup
|
[buku]
‘buku’
|
[U]
|
Tinggi
(bawah), belakang, bulat, tertutup
|
[batU?]
‘batuk’
|
[o]
|
Madya (atas),
belakang, bulat, semi tertutup
|
[toko]
‘toko’
|
[Ɔ]
|
Madya
(bawah) , belakang, bulat, semi terbuka
|
[tƆkOh] ‘tƆkoh’
|
[a]
|
Rendah,
belakang, netral, terbuka
|
[allah] ‘Allah’
|
[ǝ]
|
Madya (atas),
tengah, tak bulat, terbuka
|
[ǝmas]
‘emas’
|
2.
Bunyi
Konsonan
Bunyi konsonan adalah bunyi bahasa
yang diroduksi dengan cara, setelah arus ujar keluar dari glotis, lalu
mendapatkan hambatan pada alat-alat ucap tertentu didalam rongga mulut atau
rongga hidung. Konsonan adalah bunyi bahasa yang dihasilkan
oleh aliran udara yang menemui berbagai hambatan atau penyempitan. Ciri
konsonan lebih banyak ditentukan oleh sifat dan tempat hambatan atau
penyempitan aliran udara. Terdapat beberapa ukuran memerikan konsonan, yaitu:
titik artikulasi, posisi glotis, dan cara hambatan. Posisi glotis adalah
keadaan celah pita suara, apakah terbuka atau tertutup. Jika glotis terbuka
akan menghasilkan konsonan tak bersuara dan jika glotis tertutup akan
menghasilkan konsonan bersuara. Titik artikulasi adalah pertemuan antara
artikulator aktif dan pasif.
Adapun klasifikasi
bunyi konsonan adalah:
Tempat Artikulasi
|
Bilabial
|
Labiodental
|
Apikoalveolar
|
Laminoalveolar
|
Laminopalatal
|
Dorsovelar
|
Uvular
|
Laringal
|
Glotal
|
|
Cara Artikulasi
|
||||||||||
Hambat
(Letup)
|
BS
|
b
|
d
|
g
|
?
|
|||||
TBS
|
p
|
t
|
k
|
|||||||
Nasal
|
m
|
n
|
ñ
|
ŋ
|
||||||
Paduan
(afrikat)
|
BS
|
j
|
||||||||
TBS
|
c
|
|||||||||
Sampingan
(lateral)
|
l
|
|||||||||
Geseran
(frikatif)
|
BS
|
v
|
z
|
ʃ
|
x
|
h
|
||||
TBS
|
f
|
s
|
||||||||
Getar
(tril)
|
r
|
|||||||||
Semivokal
|
w
|
y
|
Keterangan:
BS : Bersuara
TBS : Tak Bersuara
Berdasarkan
bagan di atas, bunyi konsonan dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Bunyi
|
Ciri-ciri
|
Contoh Kata
|
[p]
|
Bilabial,
hambat (letup), bersuara
|
[paku]
‘paku’
|
[b]
|
Bilabial,
hambat (letup), tak bersuara
|
[baru]
‘baru’
|
[m]
|
Bilabial,
nasal
|
[makan]
‘makan’
|
[w]
|
Bilabial,
semivokal
|
[waktu]
‘waktu’
|
[v]
|
Labiodental,
geseran (frikatif), bersuara
|
[voli]
‘voli’
|
[f]
|
Labiodental,
geseran (frikatif), tak bersuara
|
[final]
‘final’
|
[d]
|
Apikoalveolar,
hambat (letup), bersuara
|
[dari]
‘dari’
|
[t]
|
Apikoalveolar,
hambat (letup), tak bersuara
|
[tidUr]
‘tidur’
|
[n]
|
Apikoalveolar,
nasal
|
[minta]
‘minta’
|
[l]
|
Apikoalveolar,
sampingan (lateral)
|
[lama]
‘lama’
|
[r]
|
Apikoalveolar,
getar (tril)
|
[gerak]
‘gerak’
|
[z]
|
Laminoalveolar,
geseran (frikatif), bersuara
|
[zaman]
‘zaman’
|
[y]
|
Laminoalveolar,
semivokal
|
[yatim]
‘yatim’
|
[ñ]
|
Laminopalatal,
nasal
|
[ñala]
‘nyala’
|
[j]
|
Laminopalatal,
paduan (afrikat), bersuara
|
[jara?]
‘jara?’
|
[c]
|
Laminopalatal,
paduan (afrikat), tak bersuara
|
[ciri]
‘ciri’
|
[ʃ]
|
Laminopalatal,
geseran (frikatif), bersuara
|
[ʃarat]
‘syarat’
|
[s]
|
Laminopalatal,
geseran (frikatif), tak bersuara
|
[satu]
‘satu’
|
[g]
|
Dorsovelar,
hambat (letup), bersuara
|
[gali]
‘gali’
|
[k]
|
Dorsovelar,
hambat (letup), tak bersuara
|
[kaku]
‘kaku
|
[ŋ]
|
Dorsovelar,
nasal
|
[ŋilu]
‘ngilu’
|
[x]
|
Dorsovelar,
geseran (frikatif), bersuara
|
[xas]
‘khas’
|
[h]
|
Laringal,
geseran (frikatif), bersuara
|
[tahan]
‘tahan’
|
[?]
|
Glotal,
hambat (letup), bersuara
|
[jara?]
‘jara?’
|
1.
Konsonan
[p] dan [b] dilafalkan dengan bibir atas dan bibir bawah terkatup rapat
sehingga udara dari paru-paru tertahan untuk sementara waktu sebelum katupan
itu dilepaskan.
2.
Konsonan
[t] dan [d] umumnya dilafalkan dengan ujung lidah ditempelkan pada gusi. Udara
dari paru-paru sebelum dilepaskan .
3.
Konsonan
[k] dan [g] dihasilkan dengan menempelkan belakang lidah pada langit-langit
lunak. Udara dihambat di sini kemudian dilepaskan.
4.
Konsonan
[f], artinya konsonan itu dibuat dengan bibir bawah didekatkan pada bagian bawah
gigi atas sehingga udara dari paru-paru dapat melewati lubang yang sempit
antara gigi dan bibir dan menimbulkan bunyi desis.
5.
Konsonan
[s] dihasilkan dengan menempelkan ujung lidah pada gusi atas sambil melepaskan
udara lewat samping lidah sehingga menimbulkan bunyi desis.
6.
Konsonan
[z] dibentuk dengan cara pembentukan [s], tetapi dengan pita suara yang
bergetar.
7.
Konsonan
[ʃ] dibentuk dengan menempelkan depan lidah pada langit-langit keras, tetapi
udara dapat melewati samping lidah dan menimbulkan bunyi desis.
8.
Konsonan
[x] dibentuk dengan mendekatkan punggung lidah ke langit-langit lunak yang
dinaikkan agar udara tidak keluar melalui hidung. Udara dilewatkan celah yang
sempit keluar rongga mulut.
9.
Konsonan
[h] dibentuk dengan melewatkan arus udara di antara pita suara yang menyempit
sehingga menimbulkan bunyi desis, tanpa dihambat di tempat lain.
10. Konsonan [c] dilafalkan dengan daun
lidah ditempelkan pada langit-langit keras dan kemudian dilepas secara perlahan
sehingga udara dapat lewat dengan menimbulkan bunyi desis. Sementara itu, pita
suara dalam keadaan tidak bergetar.
11. Konsonan [j] dibentuk dengan cara yang
sama dengan pembentukan [c], tetapi pita suara dalam keadaan bergetar.
12. Konsonan [m] dibuat dengan kedua bibir
dikatupkan, kemudian udara dilepas melalui rongga hidung.
13. Konsonan [n] dihasilkan dengan cara
menempelkan ujung lidah pada gusi untuk menghambat udara dari paru-paru. Udara
itu kemudian dikeluarkan lewat rongga hidung.
14. Konsonan [ñ] dibentuk dengan
menempelkan depan lidah pada langit-langit keras untuk menahan udara dari
paru-paru. Udara yang terhambat ini kemudian dikeluarkan melalui rongga hidung
sehingga terjadi persengauan.
15. Konsonan [ŋ] dibentuk dengan
menempelkan belakang lidah pada langit-langit lunak dan udara kemudian dilepas
melalui hidung.
16. Konsonan [r] dibentuk dengan
menempelkan ujung lidah pada gusi, kemudian menghembuskan udara sehingga lidah
tersebut secara berulang-ulang menempel pada dan lepas dari gusi. Sementara
itu, pita suara dalam keadaan bergetar.
17. Konsonan [l] dihasilkan dengan
menempelkan daun lidah pada gusi dan mengeluarkan udara melewati samping lidah.
Sementara itu, pita suara dalam keadaan bergetar.
18. Semivokal [w] dilafalkan dengan
mendekatkan kedua bibir tanpa menghalangi udara yang dihembuskan dari
paru-paru.
19. Semivokal [y] dihasilkan dengan
mendekatkan depan lidah pada langit-langit keras, tetapi tidak sampai
menghambat udara yang keluar dari paru-paru.
G.
Diftong
Diftong
atau vokoid rangkap berhubungan dengan sonoritas atau tingkat kenyaringan suatu
bunyi. Ketika dua deret bunyi vokoid diucapkan dengan satu hembusan udara, akan
terjadi ketidaksamaan sonoritasnya. Salah satu bunyi vokoid pasti lebih tinggi
sonoritasnya dibanding dengan bunyi vokoid yang lain. Vokoid yang lebih rendah
sonoritasnya lebih mengarah atau menyerupai bunyi nonvoid. Kejadian meninggi
dan menurunnya sonoritas inilah yang disebut diftong. Diftong atau vokal rangkap karena posisi lidah ketika
memproduksi bunyi ini pada bagian awalnya dan akhirnya tidak sama.
Ketidaksamaan itu menyangkut tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang
bergerak, serta strikturnya. Namun yang dihasilkan bukan dua bunyi, melainkan
hanya sebuah bunyi karena berada dalam satu silabel.
Dalam bahasa
Indonesia hanya ada diftong naik. Diftong naik terjadi jika vokal yang kedua diucapkan
dengan posisi lidah menjadi lebih tinggi daripada yang pertama. Diftong merupakan gabungan bunyi dalam
satu suku kata, tetapi yang digabungkan adalah vokal dengan [w] atau [y]. Jadi
[aw] pada [kalaw] dan [baŋaw] (untuk kata kalau
dan bangau) adalah diftong, tetapi
[au] pada [mau] dan [bau] (untuk kata mau
dan bau) bukanlah diftong. Ada
tiga buah diftong, yakni [ay], [aw], dan [oy] yang masing-masing dapat
dituliskan: ai, au, dan oi. Kedua huruf vokal pada diftong melambangkan satu
bunyi vokal yang tidak dapat dipisahkan.
Contoh:
[ay] [suŋay] ‘sungai’
[pantay] ‘pantai’
[gulay] ‘gulai’
[aw] [harimaw] ‘harimau’
[kalaw] ‘kalau’
[walawpun] ‘walaupun’
[oy] [sekoy] ‘sekoi’
[sǝpoy] ‘sepoi’
[amboy] ‘amboi’
[koboy] ‘koboi’
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses
pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan memanfaatkan pernapasan sebagai sumber
tenaganya. Pada saat kita mengeluarkan napas, paru-paru kita menghembuskan
tenaga yang berupa arus udara. Setelah melewati rongga faring, arus udara
mengalir ke bagian atas tenggorokan. Bunyi tersebut akan keluar melalui rongga
mulut dan/atau rongga hdung. Macam bunyi bahasa yang kita hasilkan juga
dipengaruhi oleh ada tidaknya hambatan dalam proses pembuatannya.
Klasifikasi bunyi segmental didasarkan berbagai macam
kriteria, yaitu ada tidaknya gangguan,
mekanisme udara, arah udara, pita suara, lubang lewatan udara, mekanisme
artikulasi, cara gangguan, tinggi rendahnya lidah, maju mundurnya lidah, bentuk
bibir. Bunyi segmental, baik vokoid maupun kontoid, yang diucapkan oleh penutur
bahasa Indonesia sangat variatif, apalagi setelah diterapkan dalam berbagai
distribusi dan lingkungan.
Diftong
atau vokoid rangkap berhubungan dengan sonoritas atau tingkat kenyaringan suatu
bunyi. Ketika dua deret bunyi vokoid diucapkan dengan satu hembusan udara, akan
terjadi ketidaksamaan sonoritasnya. Dalam bahasa Indonesia hanya ada diftong
naik. Diftong naik terjadi jika vokal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah
menjadi lebih tinggi daripada yang pertama.
B. Saran
Sebuah materi yang esensial
diperlukan pemahaman khusus, jadi diharapkan keseriusannya dalam materi ini dan
rajin melatih diri untuk mempelajarinya agar dapat memahaminya. Menyadari bahwa
penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan
detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang
lebih banyak dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, alek dan Achmad HP. 2013. Linguistik Umum. Jakarta: Gelora Aksara
Pratama.
Alwi, Hasan,
dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer,
Abdul. 2003. Linguistik Umum.
Jakarta: Rineka Cipta.
-------.
2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa
Indonesia. Jakarta: Asdi Mahasatya.
-------.
2009. Fonologi Bahasa Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Dola,
Abdullah. 2011. Linguistik Khusus Bahasa
Indonesia. Makassar: Badan Penerbit UNM.
Kridalaksana,
Harimurti. 2008. Kamus Linguistik.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muslich,
Masnur. 2013. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan
Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Tim Redaksi.
2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.