Saturday, January 7, 2017

MAKALAH FONETIK (FONOLOGI)



BAB I
PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang
Ketika kita mendengar orang berbicara, maka kita akan dengar runtutan bunyi bahasa. Runtutan bunyi bahasa ini dapat dianalisis dan disegmentasikan berdasarkan tingkatan-tingkatan kesatuannya yang ditandai dengan hentian-hentian atau jeda yang terdapat dalam runtutan bunyi tersebut. Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa disebut fonologi. Adapun satuan bunyi yang menjadi objek studinya yaitu fonetik dan fonemik. Dalam hal mengeluarkan, menghasilkan, atau mengucapkan bunyi, tentu saja melalui proses. Kita perlu mengetahui bagaimana proses pengeluaran bunyi-bunyi bahasa dan organ-organ apa saja yang berperan dalam proses tersebut.
Jika diperhatikan bunyi-bunyi yang terdapat pada kata-kata [intan], [angin], dan [batik] tidak sama. Ketidaksamaan bunyi pada deretan kata-kata itulah sebagai salah satu objek atau sasaran studi fonologi khususnya cabang ilmu fonetik. Dalam kajiannya, fonetik berusaha mendeskripsikan perbedaan bunyi-bunyi itu serta menjelaskan sebab-sebabnya. Dalam makalah ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai kajian-kajian fonetik tersebut.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan di atas, maka rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.    Bagaimana proses pembentukan bunyi dalam bahasa Indonesia?
2.    Bagaimana klasifikasi dan deskripsi bunyi segmental bahasa Indonesia?
3.    Bagaimana penggunaan bunyi diftong dalam bahasa Indonesia?

C.   Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai
pada penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.    Mengetahui proses pembentukan bunyi dalam bahasa Indonesia.
2.    Mengetahui klasifikasi dan deskripsi bunyi segmental bahasa Indonesia.
3.    Mengetahui penggunaan bunyi diftong dalam bahasa Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN


A.   Pengertian Fonologi dan Fonetik
Secara etimologi terbentuk dari kata fon yang berarti bunyi, dan logi yang berarti ilmu. Sebagai sebuah ilmu, fonologi lazim diartikan sebagai bagian paling dasar dalam hierarki kajian linguistik yang mempelajari, membahas, membicarakan, dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat-alat ucap manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fonologi yaitu bidang linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Fonologi mengkaji bunyi bahasa secara umum dan fungsional. Adapun cabang studi fonologi yang dikaji dalam makalah ini adalah fonetik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fonetik adalah bidang linguistik pengucapan (penghasilan) bunyi ujar, sistem bunyi suatu bahasa. Menurut Kamus Linguistik, fonetik yaitu ilmu yang menyelidiki penghasilan, penyampaian, dan penerimaan bunyi bahasa; ilmu interdisipliner linguistik dengan fisika, anatomi dan psikologi; sistem bunyi suatu bahasa. Fonetik adalah cabang kajian linguistik yang meneliti bunyi-bunyi bahasa tanpa melihat apakah bunyi-bunyi itu dapat membedakan makna atau tidak (Abdul Chaer, 2009: 10).  Fonetik merupakan bidang kajian ilmu pengetahuan (science) yang menelaah bagaimana manusia menghasilkan bunyi-bunyi bahasa dalam ujaran, menelaah gelombang-gelombang bunyi bahasa yang dikeluarkan, dan bagaimana alat pendengaran manusia menerima bunyi-bunyi bahasa untuk dianalisis oleh otak manusia (O’Connor, 1982: 10-11, Ladefoged, 1982: 1, dalam Masnur, 2013: 8). Dengan demikian, fonetik adalah bidang ilmu linguistik yang mempelajari penghasilan, penyampaian, dan penerimaan bunyi bahasa tanpa memperhatikan bunyi-bunyi tersebut membedakan makna atau tidak.
Sebagai contoh bunyi [d] dalam kata tidak oleh penutur Jawa diucapkan beraspirasi agak keras, sedangkan oleh penutur suku lain tidak. Bunyi [d] yang diucapkan, baik beraspirasi atau tidak, tidak membedakan makna dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, perbedaannya tidak fungsional.

B.   Jenis-jenis Fonetik
Berdasarkan di mana beradanya bunyi bahasa itu sewaktu dikaji, fonetik dibedakan atas tiga macam yaitu fonetik fisiologis atau fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris.
1.    Fonetik Fisiologis atau Artikulatoris
Fisiologi adalah suatu bidang ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang fungsi fisiologis manusia (Liberman, 1977: 3, dalam Masnur, 2013: 8). Sebagaimana manusia yang normal tentu mampu menghasilkan berbagai bunyi bahasa dengan menggerakkan atau memanfaatkan organ-organ tuturnya, misalnya lidah, bibir, dan gigi bawah (yang digerakkan oleh rahang bawah). Dengan demikian, seseorang yang ingin mengkaji bunyi-bunyi bahasa harus mengetahui juga berbagai struktur mekanisme pertuturan, memahami fungsi setiap mekanisme tersebut, dan peranannya dalam menghasilkan berbagai bunyi bahasa (Singh dan Singh, 1976: 2 dalam Masnur, 2013: 9). Dalam hal ini, fonetik fisiologis yaitu bidang fonetik yang mengkaji tentang penghasilan bunyi-bunyi bahasa berdasarkan fungsi mekanisme biologis organ tutur manusia.
Fonetik fisiologis atau artikulatoris sering pula disebut fonetik organis yaitu mempelajari bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan oleh alat-alat ucap manusia. Fonetik fisiologis paling berkaitan dengan ilmu linguistik, karena fonetik ini sangat berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi bahasa itu diproduksi atau dihasilkan. Fonetik organis (fonetik artikulatoris atau fonetik fisiologis) ialah fonetik yang mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara (alat-alat ucap) yang ada dalam tubuh manusia menghasilkan bunyi bahasa. Bagaimana bunyi bahasa itu diucapkan dan dibuat, serta bagaimana bunyi bahasa diklasifikasi berdasarkan artikulasinya.
2.    Fonetik Akustik
Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa menurut aspek-aspek fisiknya. Kajian fonetik akustis bertumpu pada struktur fisik bunyi-bunyi bahasa dan bagaimana alat pendengaran manusia memberikan reaksi kepada bunyi-bunyi bahasa yang diterima (Malmberg, 1963: 1 dalam Masnur, 2013: 9). Fonetik akustik, yang objeknya adalah bunyi bahasa ketika merambat di udara, antara lain membicarakan: gelombang bunyi beserta frekuensi dan kecepatannya ketika merambat di udara, spektrum, tekanan, dan intensitas bunyi. Juga mengenai skala desibel, resonansi, akustik produksi bunyi, serta pengukuran akustik itu.
Dalam rangka pengkajian fonetik akustik, fonetisi berusaha menguraikan berbagai hal tentang bagaimana suatu bunyi bahasa ditanggapi dan dihasilkan oleh mekanisme pertuturan manusia, bagaimana pergerakan bunyi-bunyi bahasa itu dalam ruang udara, yang seterusnya bisa merangsang proses pendengaran manusia. Kajian fonetik akustik lebih mengarah kepada kajian fisika daripada kajian linguistik, meskipun linguistik memiliki kepentingan didalamnya.
3.    Fonetik Auditoris
Fonetik auditoris adalah kajian terhadap respons sistem pendengaran terhadap rangsangan gelombang bunyi yang diterima. Fonetik auditoris mengarahkan kajiannya kepada persoalan bagaimana manusia menentukan pilihan bunyi-bunyi yang diterima alat pendengarannya. Dengan arti kata, kajian ini meneliti bagaimana seorang pendengar menanggapi bunyi-bunyi yang diterimanya sebagai bunyi-bunyi yang perlu diproses sebagai bunyi-bunyi bahasa bermakna, dan apakah ciri bunyi-bunyi bahasa yang dianggap penting oleh pendengar dalam usahanya untuk membeda-bedakan setiap bunyi bahasa yang didengar (Singh dan Singh, 1976: 5 dalam Masnur, 2013: 9-10). Dalam hal ini tentunya pembahasan mengenai struktur dan fungsi alat dengar, yang disebut telinga itu bekerja. Bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu, sehingga bisa dipahami. Oleh karena itu, kiranya kajian fonetik auditoris lebih berkenaan dengan ilmu kedokteran, termasuk kajian neurologi.
C.   Proses Pembentukan Bunyi
Dalam proses pembentukan bunyi, sumber energi utamanya adalah arus udara yang mengalir dari/ke paru-paru. Getaran-getaran itu timbul pada pita suara sebagai akibat tekanan arus udara, yang dibarengi dengan gerakan alat-alat ucap sedemikian rupa sehingga menimbulkan perbedaan/perubahan rongga udara yang terdapat dalam mulut dan/atau hidung. Dengan demikian, sarana utama yang berperan dalam proses pembentukan bunyi bahasa adalah (1) arus udara, (2) pita suara, dan (3) alat ucap.
1.    Arus Udara
Arus udara yang menjadi sumber energi utama pembentukan bunyi bahasa merupakan hasil kerja alat atau organ tubuh yang dikendalikan oleh otot-otot tertentu atas perintah saraf-saraf otak. Dengan demikian, arus udara diciptakan atas perintah saraf-saraf otak tertentu; apakah arus udara menuju ke luar dari paru-paru, atau arus udara ke dalam atau menuju paru-paru.
2.    Pita Suara
Merupakan sumber bunyi. Ia bergetar atau digetarkan oleh udara yang keluar atau masuk paru-paru. Pita suara terletak dalam kerongkongan (larynx) dalam posisi mendapar dari muka (anterior) ke belakang (posterior).
Bergetarnya pita suara dengan cara membuka dan menutup. Lubang pada saat pita suara itu membuka disebut glotis. Membukanya dari muka menuju ke belakang. Kadang-kadang membukanya tidak sampai ke belakang betul. Menutupnya pun mulai dari muka. Selain dari getaran penuh dari muka ke belakang, ada getaran kecil yang panjangnya setengah, seperempat, dan seterusnya dari panjang pita suara, dan bergetar secara serempak. Satu kali membuka-menutupnya pita suara di sebut satu gelombang.
Tenggorokan yang terletak di atas pita suara, rongga mulut, dan rongga hidung, berperan sebagai resonator atau peninggi bunyi yang diciptakan oleh pita suara. Dengan demikian, waktu pita suara bergetar, tenggorokan, rongga mulut, dan rongga hidung ikut membantu menggetarkan udara dengan frekuensi yang seirama dengan frekuensi pita suara, sehingga bunyi dari pita suara menjadi lebih tinggi pengaruhnya.
3.    Alat Ucap
Organ-organ tubuh yang dipergunakan sebagai alat ucap dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu (1) komponen supraglotal, (b) komponen laring, (c) komponen subglotal.
1.    Komponen Supraglotal
Komponen supraglotal adalah alat-alat ucap yang berada di dalam rongga mulut dan rongga hidung baik yang menjadi artikulator aktif maupun yang menjadi artikulator pasif. Komponen supraglotal terdiri dari tiga rongga yang berfungsi sebagai lubang resonansi dalam pembentukan bunyi, yaitu rongga kerongkongan (faring), rongga hidung, dan rongga mulut.
Rongga kerongkongan yang terletak di atas laring merupakan tabung dan di bagian atasnya bercabang dua, yang berwujud rongga mulut dan rongga hidung. Peranan rongga kerongkongan yaitu sebagai tabung udara yang akan bergetar apabila pita suara menimbulkan getaran pada arus udara yang lewat dari paru-paru. Volume rongga kerongkongan dapat diperkecil dengan menaikkan laring, dengan mengangkat ujung langit-langit lunak sehingga hubungan dengan rongga hidung tertutup, dan dengan menarik belakang lidah ke arah dinding faring.
Rongga hidung mempunyai bentuk dan dimensi yang relatif tetap tetapi dalam kaitannya dengan pembentukan bunyi mempunyai fungsi sebagai tabung resonansi. Peran ini terjadi ketika arus udara dari paru-paru mengalami getaran sewaktu melalui pita suara, dan getaran itu menggetarkan udara yang ada dalam rongga kerongkongan, rongga mulut, dan rongga hidung.
Rongga mulut mempunyai dan dimensi yang sangat bervariasi, sehingga bunyi-bunyi ujar yang dihasilkan pun sangat banyak dan bervariasi. Hal ini dimungkinkan karena keterlibatan lidah, bibir, dan juga rahang yang mudah digerakkan. Bagian-bagian alat ucap yang terdapat dalam rongga mulut yang bisa digerakkan disebut artikulator (berada di bagian bawah rongga mulut) dan titik artikulasi (berada di bagian atas rongga mulut).
Berikut penamaan bunyi berdasarkan daerah artikulasinya.
Titik Artikulasi
Bibir Atas (Labium)
Gigi Atas (Dentum)
Pangkal Gigi Atas (Alveolum)
Langit- Langit Keras (Palatum)
Langit-Langit Lunak (Velum)
Anak Tekak (Uvula)
Artikulator






Bibir Bawah (Labium)
Bilabial
Labio Dental
-
-
-
-
Gigi Bawah (Dentum)
-
Inter Dental
-
-
-
-
Ujung Lidah (Apeks)
-
Apiko dental
Apiko alveolar
-
-
-
Daun Lidah (Lamina)
-
Lamino dental
Lamino alveolar
Lamino palatal
-
-
Belakang Lidah (Dorsum)
-
-
-
Dorso palatal
Dorso velar
Dorso uvular
Akar Lidah (Radiks)
-
-
-
-
-
Radiko uvular

2.    Komponen Laring
Komponen laring merupakan kotak yang terbentuk dari tulang rawan yang berbentuk lingkaran. Di dalamnya terdapat pita suara. Laring berfungsi sebagai klep yang mengatur arus udara antara paru-paru, mulut dan hidung. Pita suara dengan kelenturannya bisa membuka dan menutup, sehingga bisa memisahkan dan sekaligus bisa menghubungkan antara udara yang ada pada paru-paru dan yang ada pada mulut dan hidung. Apabila dibuka lebar-lebar, udara yang ada pada paru-paru bisa berhubungan dengan udara yang ada pada mulut dan hidung. Sebaliknya, apabila klep ditutup rapat, udara yang ada pada paru-paru terpisah total dengan udara yang ada pada mulut dan hidung.
3.    Komponen Subglotal
Komponen subglotal terdiri dari paru-paru kiri dan kanan, saluran bronkial, dan saluran pernapasan (trakea). Fungsi utama komponen subglotal adalah memberi arus udara yang merupakan syarat mutlak untuk terjadinya bunyi bahasa. Proses pengaliran udara yang berganti-ganti arah disebabkan oleh berkembang kempisnya kedua paru-paru yang berongga. Proses tersebut berjalan secara teratur oleh kinerja otot-otot yang terdapat dalam paru-paru, otot-otot perut, dan rongga dada. Proses ini tidak mengganggu kegiatan berbicara, bahkan menjadi syarat utama pembentukan bunyi bahasa.

Proses pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan memanfaatkan pernapasan sebagai sumber tenaganya. Pada saat kita mengeluarkan napas, paru-paru kita menghembuskan tenaga yang berupa arus udara. Arus udara itu dapat mengalami perubahan pada pita suara yang terletak pada pangkal tenggorokan atau laring. Arus udara dari paru-paru itu dapat membuka kedua pita suara yang merapat sehingga menghasilkan ciri-ciri bunyi tertentu. Gerakan membuka dan menutup pita suara itu menyebabkan udara di sekitar pita suara itu bergetar. Perubahan bentuk saluran suara yang terdiri atas rongga faring, rongga mulut, dan rongga hidung menghasilkan bunyi bahasa yang berbeda-beda. Udara dari paru-paru dapat keluar melalui rongga mulut, rongga hidung, atau lewat rongga mulut dan rongga hidung sekaligus.
Pada saat udara dari paru-paru dihembuskan, kedua pita suara dapat merapat atau merenggang. Apabila kedua pita suara itu berganti-ganti merapat dan merenggang dalam pembentukan suatu bunyi bahasa, maka bunyi bahasa yang dihasilkan terasa ‘berat’. Apabila pita suara direnggangkan sehingga udara tidak tersekat oleh pita suara, maka bunyi bahasa yang dihasilkan akan terasa ‘ringan’.
Setelah melewati rongga faring, arus udara mengalir ke bagian atas tenggorokan. Jika yang kita kehendaki adalah bunyi oral, tulang rawan yang dinamakan anak tekak atau uvula akan menutup saluran ke rongga hidung. Dengan demikian, bunyi tersebut akan keluar melalui rongga mulut. Jika yang kita kehendaki bunyi nasal, uvula diturunkan sehingga udara keluar melalui rongga hidung. Macam bunyi bahasa yang kita hasilkan juga dipengaruhi oleh ada tidaknya hambatan dalam proses pembuatannya.


D.   Alat Ucap
Ketika berbicara, alat-alat ucap bekerja seperti pada proses ketika melakukan fungsi utamanya masing-masing. Berikut adalah gambar alat-alat ucap beserta penjelasannya.

            download



Keterangan gambar:
1.        Paru-paru (lung)
2.        Batang tenggorok (trachea)
3.        Pangkal tenggorok (laring)
4.        Pita suara (vocal card)
5.        Krikoid (cricoid)
6.        Tiroid (thyroid)
7.        Aritenoid (arhythenoid)
8.        Dinding rongga kerokongan (wall of pharynx)
9.        Epiglotis
10.      Akar lidah (root of the lounge)
11.      Pangkal lidah (back of the lounge, dorsum)
12.      Tengah lidah (middle of the tounge, medium)
13.      Daun lidah (blade of the tounge, medium)
14.      Ujung lidah (tip of the tounge, apex)
15.      Anak tekak (uvula)
16.      Langit-langit lunak (soft palate, velum)
17.      Langit-langit keras (hard palate, palatum)
18.      Gusi, ceruk gigi (alveolum)
19.      Gigi atas (upper teeth, dentum)
20.      Gigi bawah (lower teeth, dentum)
21.      Bibir atas (upper lip, labium)
22.      Bibir bawah (lower lip, labium)
23.      Mulut (mouth)
24.      Rongga mulut (oral cavity)
25.      Rongga hidung (nasal cavity)
Adapun cara kerja alat-alat ucap atau alat-alat bicara tersebut, yaitu:
1.    Paru-paru
Paru-paru adalah sumber arus udara yang merupakan syarat mutlak untuk terjadinya bunyi bahasa. Bunyi bahasa dapat juga dihasilkan dengan arus udara yang datang dari luar mulut. Kalau arus datang dari paru-paru disebut arus udara egresif dan kalau arus udara datang dari luar disebut arus udara ingresif.
2.    Pangkal Tenggorok (laring), pita suara, glottis dan epiglottis
Pangkal tenggorok adalah sebuah rongga pada ujung saluran pernafasan yang diujungnya ada sepasang pita suara. Pita suara ini dapat terbuka lebar, terbuka agak lebar, terbuka sedikit, dan tertutup rapat sesuai dengan arus idara yang di hembuskan keluar. Celah di antara pita suara itu disebut glottis. Pada glotis inilah awal terjadinya bunyi bahasa dalam proses produksi bunyi itu. Bila glotis berada dalam keadaan terbuka lebar, tidak ada bunyi bahasa yang di hasilkan selain desah nafas. Bila glotis dalam keadaan terbuka agak lebar akan terjadi bunyi tak bersuara. Bila glotis dalam keadaan terbuka sedikit akan terjadi bunyi bersuara. Bila glotis dalam keadaan tertutup rapat akan terjadi bunyi hambat glotal.
3.    Rongga Kerokongan
Faring atau rongga kerokongan adalah sebuah rongga yang terletak diantara pangkal tenggorok dengan rongga mulut dan rongga hidung. Faring berfungsi sebagai “tabung udara” yang akan ikut bergetar bila pita suara bergetar. Bunyi bahasa yang dihasilkan disebut bunyi faringal.
4.    Langit-langit lunak(velum), anak tekak(uvula), dan pangkal lidah (dorsum)
Langit-langit lunak dan bagian ujungnya yang disebut uvula dapat turun naik untuk mengatur arus udara keluar masuk melalui rongga hidung dan rongga mulut. Uvula akan merapat ke dinding faring kalau arus udara keluar melalui rongga mulut, dan akan menjauh dari dinding faring kalau arus udara keluar melalui rongga hidung. Bunyi yang dihasilkan dengan velum sebagai articulator pasif dan dorsum sebagai artikulator disebut bunyi dorsovelar, dari gabungan kata dorsum dan velum. Sedangkan bunyi yang dihasilkan uvula disebut bunyi uvular.
5.    Langit-langit keras (palatum), ujung lidah (apeks), dan daun lidah (laminum)
Dalam pembentukan bunyi-bunyi bahasa, langit-langit keras berlaku sebagai artikulator pasif (artikulator yang diam, tidak bergerak) dan yang menjadi artikulator aktifnya adalah ujung lidah (apeks) atau daun lidah (laminum). Bunyi bahasa yang dihasilkan oleh palatum dan apeks disebut bunyi apikopalatal. Sedangkan yang dihasilkan oleh palatum dan laminum disebut bunyi laminopalatal
6.    Ceruk gigi (alveolum), apeks, dan daun lidah (laminum)
Dalam pembentukan bunyi bahasa, alveolum sebagai artikulator pasif; dan apeks atau laminum sebagai artikulator aktifnya. Bunyi yang dihasilkan oleh alveolum dan apeks disebut bunyi apikoalveolar.
7.    Gigi (dentum), ujung lidah (apeks), dan bibir (labium)
Dalam produksi bunyi bahasa, gigi atas dapat berperan sebagai artikulator pasif; yang menjadi artikulator aktifnya adalah apeks atau bibir bawah. Bunyi yang dihasilkan oleh gigi atas dan apeks disebut bunyi apikodental; dan yang dihasilkan oleh gigi atas dan bibir bawah disebut bunyi labiodental. Dalam hal ini ada juga bunyi interdental dimana apeks sebagai artikulator aktif berada di antara gigi atas dan gigi bawah yang menjadi artikulator pasifnya.
8.    Bibir bawah dan bibir atas
Dalam pembentukan bunyi bahasa bibir atas bisa menjadi artikulator pasif dan bibir bawah menjadi artikulator aktif. Bunyi yang dihasilkan disebut bunyi bilabial, seperti bunyi [p] dan [b]. Bibir bawah bisa juga menjadi artikulator aktif, dengan gigi atas sebagai artikulator pasifnya. Lalu, bunyi yang dihasilkan disebut bunyi labiodental dari kata labium dan dentum.
9.    Lidah (tongue)
Lidah terbagi menjadi empat bagian, yaitu ujung lidah (apeks); daun lidah (laminum); pangkal lidah (dorsum); dan akar lidah (root). Lidah dengan bagian-bagiannya dalam pembentukan bunyi bahasa selalu menjadi artikulator aktif, yakni artikulator yang bergerak. Sedangkan artikulator pasifnya adalah alat-alat ucap yang terdapat pada rahang atas. Posisi lidah ke depan, ke tengah, ke belakang, ke atas atau ke bawah menentukan jenis vocal yang dihasilkan.
10.  Mulut dan rongga mulut
Rongga mulut dengan kedua belah bibir (atas dan bawah) berperan
dalam pembentukan bunyi vokal. Kalau bentuk mulut membundar maka akan dihasilkan bunyi vokal bundar atau bulat; kalau bentuk mulut tidak membundar maka akan dihasilkan bunyi vokal tidak bundar. Secara umum semua bunyi yang dihasilkan di rongga mulut dissebut bunyi oral.
11.  Rongga hidung
Bunyi bahasa yang dihasilkan melalui rongga hidung disebut bunyi nasal. Bunyi nasal ini dihasilkan dengan cara menutup rapat-rapat arus udara di rongga mulut, dan menyalurkannya keluar melalui rongga hidung. Bunyi nasal yang ada di Indonesia adalah bunyi nasal bilabial [m]; bunyi nasal apikoalveolar [ɳ]; bunyi nasal laminopalatal [ñ]; dan bunyi nasal dorsovelar [ŋ].
E.    Klasifikasi Bunyi Segmental
Klasifikasi bunyi segmental didasarkan berbagai macam kriteria, yaitu:
1.    Ada tidaknya gangguan
Dilihat dari ada tidaknya gangguan ketika bunyi diucapkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a.    Bunyi vokoid, yaitu bunyi yang dihasilkan tanpa melibatkan penyempitan atau penutupan pada daerah artikulasi. Ketika bunyi itu diucapkan, yang diatur hanyalah ruang resonansi pada rongga mulut melalui pengaturan posisi lidah dan bibir. Berkaitan dengan pengaturan ruang resonansi, Daniel Jones menemukan delapan titik vokoid yang disebut dengan Vokal Kardinal (Cardinal Vowel) yang didiagramkan sebagaimana gambar berikut.

b.    Bunyi kontoid, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara melibatkan  penyempitan atau penutupan pada daerah artikulasi. Bunyi-bunyi kontoid ini lebih banyak jenisnya bila dibanding dengan bunyi-bunyi vokoid, seiring dengan banyaknya jenis artikulator yang terlibat dalam upaya penyempitan atau penutupan ketika bunyi itu diucapkan.
2.    Mekanisme Udara
      Yang dimaksud dengan mekanisme udara adalah dari mana datangnya udara yang menggerakkan pita suara sebagai sumber bunyi. Dilihat dari kriteria ini, bunyi-bunyi bahasa bisa dihasilkan dari tiga kemungkinan mekanisme udara, yaitu:
a.    Mekanisme udara pulmonis, yaitu udara yang dari paru-paru menuju ke luar. Mekanisme udara pulmonis ini terjadi pada hampir semua bunyi-bunyi bahasa di dunia.
b.    Mekanisme udara laringal atau faringal, yaitu udara yang datang dari laring atau faring. Caranya, glotis ditutup terlebih dahulu, kemudian rongga mulut ditutup pada velum atau uvula. Velik juga ditutup. Kemudian, rongga laring dan faring diperkecil dengan menarik akar lidah ke belakang dan menaikkan jakun. Maka, terjadilah pemadatan udara dalam rongga laring dan faring sehingga apabila salah satu tutup dibuka (glotis, velum, velik), udara akan keluar meninggalkan rongga laring dan faring.
c.    Mekanisme udara oral, yaitu udara yang datang dari mulut. Caranya, menutup rongga mulut pada velum dan salah satu tempat di depan. Kemudian, rongga mulut diperkecil sehingga terjadi pemadatan udara sehingga apabila salah satu tutup dibuka maka udara akan keluar meninggalkan rongga mulut.
3.    Arah udara
Dilihat dari arah udara ketika bunyi dihasilkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a.    Bunyi egresif, yaitu bunyi yang dihasilkan dari arah udara menuju ke luar melalui rongga mulut atau rongga hidung.
b.    Bunyi ingresif, yaitu bunyi yang dihasilkan dari arah udara masuk ke dalam paru-paru. Misalnya, ketika kita berbicara sambil terisak, kita bisa menghasilkan bunyi ingresif.
4.    Pita suara
Dilihat dari bergetar tidaknya pita suara ketika bunyi dihasilkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a.    Bunyi mati atau bunyi tak bersuara, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan pita suara tidak melakukan gerakan membuka menutup sehingga getarannya tidak signifikan. Misalnya, bunyi [k], [p], [t], [s], [c], [f].
b.    Bunyi hidup atau bunyi bersuara, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan pita suara melakukan gerakan membuka dan menutup secara sehingga bergetar secara signifikan. Misalnya, bunyi [g], [b], [d], [z], [v], [j], [x], [h], [?].
5.    Lubang lewatan udara
Dilihat dari lewatan udara ketika bunyi dihasilkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a.    Bunyi oral, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara udara keluar melalui rongga mulut, dengan menutupkan velik pada dinding faring. Untuk mengetahui apakah bunyi yang kita hasilkan merupakan bunyi oral atau tidak, kita bisa mengeceknya dengan cara membungkam mulut kita dengan telapak tangan. Ternyata, misalnya, kita tidak bisa membunyikan [k] dengan mulut terbungkam. Berarti [k] merupakan bunyi oral.
b.    Bunyi nasal, adalah bunyi yang dihasilkan dengan cara udara keluar melalui rongga hidung, dengan menutup rongga mulut dan membuka velik lebar-lebar. Untuk mengetahui apakah bunyi yang kita hasilkan merupakan bunyi nasal atau tidak, kita bisa mengeceknya dengan cara menutup kedua lubang hidung kita. Ternyata, misalnya, kita tidak bisa mengucapkan bunyi [m] dan [ŋ] dengan kedua lubang hidung tertutup. Ini berarti [m] dan [ŋ] merupakan bunyi nasal.
c.    Bunyi sengau, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara udara keluar melalui rongga mulut dan rongga hidung, dengan membuka velik sedikit.
6.    Mekanisme artikulasi
Yang dimaksud dengan makanisme artikulasi adalah alat ucap mana yang bekerja atau bergerak ketika menghasilkan bunyi bahasa. Berdasarkan kriteria ini, bunyi dapat dikelompokkan sebagai berikut.
a.    Bunyi bilabial, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan bibir (labium) bawah dan bibir (labium) atas. Misalnya, bunyi [p], [b], [m], dan [w].
b.    Bunyi labio-dental, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan bibir (labium) bawah dan gigi (dentum) atas. Misalnya, [f] dan [v].
c.    Bunyi apiko-dental, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan ujung lidah (apeks) dan gigi (dentum) atas.
d.    Bunyi apiko-alveolar, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan ujung lidah (apeks) dan gusi (alveolum) atas.
e.    Bunyi lamino-palatal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan tengah lidah (lamina) dan langit-langit keras (palatum).
f.     Bunyi dorso-velar, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah (dorsum) dan langit-langit lunak (velum).
g.    Bunyi dorso-uvular, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah (dorsum) dan anak tekak (uvula).
h.    Bunyi laringal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan tenggorok (laring).
i.      Bunyi glotal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan lubang atau celah (glotis) pada pita suara.
7.    Cara gangguan
Dilihat dari cara gangguan arus udara oleh artikulator ketika bunyi diucapkan, bunyi dapat dikelompokkan sebagai berikut.
a.    Bunyi stop (hambat), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara ditutup rapat sehingga udara terhenti seketika, lalu dilepaskan kembali secara tiba-tiba. Tahap pertama (penutupan) disebut implosif (atau stop implosif), tahap kedua (pelepasan) disebut eksplosif (atau stop eksplosif). Misalnya, [p’] pada [atap’] disebut bunyi stop implosif; [p] pada [paku] disebut bunyi stop eksplosif. Contoh bunyi stop yang lain: [b], [t], [d], [k], [g], [?].
b.    Bunyi kontinum (alir), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara tidak ditutup secara total sehingga arus udara tetap mengalir. Berarti, bunyi-bunyi selain bunyi stop merupakan bunyi kontinum, yaitu bunyi afrikatif, frikatif, tril, dan lateral.
c.    Bunyi afrikatif (paduan), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara ditutup rapat, tetapi kemudian dilepas secara berangsur-angsur. Misalnya, [c], [j].
d.    Bunyi frikatif (geser), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara dihambat sedemikian rupa sehingga udara tetap dapat keluar. Misalnya, [f], [v], [s], [z], [š], [x], dan [h].
e.    Bunyi tril (getar), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara ditutup dan dibuka berulang-ulang secara cepat. Misalnya, [r] dan [R].
f.     Bunyi lateral (samping), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara ditutup sedemikian rupa sehingga udara masih bisa keluar melalui salah satu atau kedua sisi-sisinya. Misalnya, [l] pada [lima].
g.    Bunyi nasal (hidung), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara yang lewat rongga mulut ditutup rapat, tetapi arus udara dialirkan lewat rongga hidung. Misalnya, [m], [n], [ñ], dan [ŋ].
8.    Tinggi-Rendahnya Lidah
Dilihat dari tinggi rendahnya lidah ketika bunyi itu diucapkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu (a) bunyi tinggi, (b) bunyi agak tinggi, (c) bunyi tengah, (d) bunyi agak rendah, dan (e) bunyi rendah.
a.    Bunyi tinggi, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi, mendekati langit-langit keras. Caranya, rahang bawah merapat ke rahang atas. Misalnya, [i] pada [kita], [u] pada [hantu].
b.    Bunyi agak tinggi, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meniggi, sehingga agak mendekati langit-langit keras. Caranya, rahang bawah agak merapat ke rahang atas. Misalnya, [e] pada [lele], [o] pada [soto].
c.    Bunyi tengah, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah di tengah. Caranya, rahang bawah dalam posisi netral atau biasa. Caranya, rahang bawah dalam posisi netral atau biasa. Misalnya, [ǝ] pada [sǝgǝra], [ǝ] pada [ǝmas].
d.    Bunyi agak rendah, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah agak merendah, sehingga agak menjauhi langit-langit keras. Caranya, rahang bawah menjauh dari rahang atas, di bawah posisi netral. Misalnya, [ɛ] pada [ɛlɛ?], [O] pada [pOkO?].
e.    Bunyi rendah, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah merendah sehingga menjauh dari langit-langit keras. Caranya, rahang bawah diturunkan sejauh-jauhnya dari rahang atas. Misalnya, [a] pada [bata], [α] pada [rαhmat].
9.    Maju-mundurnya lidah
Dilihat dari maju-mundurnya lihat ketika bunyi diucapkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (a) bunyi depan, (b) bunyi pusat, dan (c) bunyi belakang.
a.    Bunyi depan, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian depan lidah dinaikkan. Misalnya, [i], [ī], [e], [ɛ], [a].
b.    Bunyi pusat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara lidah merata, tidak ada bagian lidah yang dinaikkan. Misalnya, [ǝ].
c.    Bunyi belakang, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian belakang lidah dinaikkan. Misalnya, [u], [U], [o], [O], [α].
10.  Bentuk bibir
Dilihat dari bentuk bibir ketika bunyi diucapkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (a) bunyi bulat dan (b) bunyi tidak bulat.
a.    Bunyi bulat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir berbentuk bulat. Misalnya, [u], [U], [o], [O], [α].
b.    Bunyi tidak bulat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir merata atau tidak bulat. Misalnya, [i], [ī], [e], [ɛ], [a].


F.    Deskripsi Bunyi Segmental
Bunyi segmental, baik vokoid maupun kontoid, yang diucapkan oleh penutur bahasa Indonesia sangat variatif, apalagi setelah diterapkan dalam berbagai distribusi dan lingkungan. Tetapi paling tidak jumlah dan variasi bunyi tersebut bisa dideskripsikan sebagai berikut.
1.    Bunyi Vokal
Vokal adalah jenis bunyi bahasa yang ketika dihasilkan atau diproduksi, setelah arus ujar ke luar dari glotis tidak mendapat hambatan dari alat ucap, melainkan hanya diganggu oleh posisi lidah, baik vertikal maupun horizontal, dan bentuk mulut. Bunyi vokoid dihasilkan dengan udara yang keluar dari paru-paru tanpa adanya hambatan. Proses terjadinya vokal, selain oleh hambatan udara, dipengaruhi pula oleh gerakan bibir dan gerakan lidah. Berikut bagan vokal.

Posisi
Lidah
Depan
Tengah
Belakang
Striktur
TB
TB
B
N
atas
TINGGI
bawah
[ i ]

[ I ]

[ u ]

[ U ]

Tertutup
atas
MADYA
bawah
[ e ]

[ ɛ ]
[ ə ]


[ o ]

[ Ɔ ]

Semi Tertutup

Semi Terbuka
RENDAH
[ a ]


[ a ]
Terbuka

Keterangan:
            TB       : Tak Bulat
            B          : Bulat
            N         : Netral
Berdasarkan bagan di atas, bunyi vokal dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Bunyi
Ciri-Ciri
Contoh Kata
[i]
Tinggi (atas), depan, tak bulat, tertutup
[bila] ‘bila’
[I]
Tinggi (bawah), depan, tak bulat, tertutup
[adI?] ‘adik’
[e]
Madya (atas), depan, tak bulat, semi tertutup
[ide] ‘ide’
[ɛ]
Madya (bawah), depan, tak bulat, semi terbuka
[nɛnɛ?] ‘nene?’
[a]
Rendah, depan, tak bulat, terbuka
[cari] ‘cari’
[u]
Tinggi (atas), belakang, bulat, tertutup
[buku] ‘buku’
[U]
Tinggi (bawah), belakang, bulat, tertutup
[batU?] ‘batuk’
[o]
Madya (atas), belakang, bulat, semi tertutup
[toko] ‘toko’
[Ɔ]
Madya (bawah) , belakang, bulat, semi terbuka
[tƆkOh] ‘tƆkoh’
[a]
Rendah, belakang, netral, terbuka
[allah] ‘Allah’
[ǝ]
Madya (atas), tengah, tak bulat, terbuka
[ǝmas] ‘emas’

2.    Bunyi Konsonan
Bunyi konsonan adalah bunyi bahasa yang diroduksi dengan cara, setelah arus ujar keluar dari glotis, lalu mendapatkan hambatan pada alat-alat ucap tertentu didalam rongga mulut atau rongga hidung. Konsonan adalah bunyi bahasa yang dihasilkan oleh aliran udara yang menemui berbagai hambatan atau penyempitan. Ciri konsonan lebih banyak ditentukan oleh sifat dan tempat hambatan atau penyempitan aliran udara. Terdapat beberapa ukuran memerikan konsonan, yaitu: titik artikulasi, posisi glotis, dan cara hambatan. Posisi glotis adalah keadaan celah pita suara, apakah terbuka atau tertutup. Jika glotis terbuka akan menghasilkan konsonan tak bersuara dan jika glotis tertutup akan menghasilkan konsonan bersuara. Titik artikulasi adalah pertemuan antara artikulator aktif dan pasif.
Adapun klasifikasi bunyi konsonan adalah:


Tempat Artikulasi
Bilabial
Labiodental
Apikoalveolar
Laminoalveolar
Laminopalatal
Dorsovelar
Uvular
Laringal
Glotal
Cara Artikulasi

Hambat
(Letup)
BS
b

d


g


?
TBS
p

t


k



Nasal

m

n

ñ
ŋ



Paduan (afrikat)
BS




j




TBS




c




Sampingan (lateral)



l
















Geseran (frikatif)
BS

v

z
ʃ
x

h

TBS

f


s




Getar (tril)



r






Semivokal

w


y






Keterangan:
            BS       : Bersuara
            TBS     : Tak Bersuara

Berdasarkan bagan di atas, bunyi konsonan dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Bunyi
Ciri-ciri
Contoh Kata
[p]
Bilabial, hambat (letup), bersuara
[paku] ‘paku’
[b]
Bilabial, hambat (letup), tak bersuara
[baru] ‘baru’
[m]
Bilabial, nasal
[makan] ‘makan’
[w]
Bilabial, semivokal
[waktu] ‘waktu’
[v]
Labiodental, geseran (frikatif), bersuara
[voli] ‘voli’
[f]
Labiodental, geseran (frikatif), tak bersuara
[final] ‘final’
[d]
Apikoalveolar, hambat (letup), bersuara
[dari] ‘dari’
[t]
Apikoalveolar, hambat (letup), tak bersuara
[tidUr] ‘tidur’
[n]
Apikoalveolar, nasal
[minta] ‘minta’
[l]
Apikoalveolar, sampingan (lateral)
[lama] ‘lama’
[r]
Apikoalveolar, getar (tril)
[gerak] ‘gerak’
[z]
Laminoalveolar, geseran (frikatif), bersuara
[zaman] ‘zaman’
[y]
Laminoalveolar, semivokal
[yatim] ‘yatim’
[ñ]
Laminopalatal, nasal
[ñala] ‘nyala’
[j]
Laminopalatal, paduan (afrikat), bersuara
[jara?] ‘jara?’
[c]
Laminopalatal, paduan (afrikat), tak bersuara
[ciri] ‘ciri’
[ʃ]
Laminopalatal, geseran (frikatif), bersuara
[ʃarat] ‘syarat’
[s]
Laminopalatal, geseran (frikatif), tak bersuara
[satu] ‘satu’
[g]
Dorsovelar, hambat (letup), bersuara
[gali] ‘gali’
[k]
Dorsovelar, hambat (letup), tak bersuara
[kaku] ‘kaku
[ŋ]
Dorsovelar, nasal
[ŋilu] ‘ngilu’
[x]
Dorsovelar, geseran (frikatif), bersuara
[xas] ‘khas’
[h]
Laringal, geseran (frikatif), bersuara
[tahan] ‘tahan’
[?]
Glotal, hambat (letup), bersuara
[jara?] ‘jara?’

1.    Konsonan [p] dan [b] dilafalkan dengan bibir atas dan bibir bawah terkatup rapat sehingga udara dari paru-paru tertahan untuk sementara waktu sebelum katupan itu dilepaskan.
2.    Konsonan [t] dan [d] umumnya dilafalkan dengan ujung lidah ditempelkan pada gusi. Udara dari paru-paru sebelum dilepaskan .
3.    Konsonan [k] dan [g] dihasilkan dengan menempelkan belakang lidah pada langit-langit lunak. Udara dihambat di sini kemudian dilepaskan.
4.    Konsonan [f], artinya konsonan itu dibuat dengan bibir bawah didekatkan pada bagian bawah gigi atas sehingga udara dari paru-paru dapat melewati lubang yang sempit antara gigi dan bibir dan menimbulkan bunyi desis.
5.    Konsonan [s] dihasilkan dengan menempelkan ujung lidah pada gusi atas sambil melepaskan udara lewat samping lidah sehingga menimbulkan bunyi desis.
6.    Konsonan [z] dibentuk dengan cara pembentukan [s], tetapi dengan pita suara yang bergetar.
7.    Konsonan [ʃ] dibentuk dengan menempelkan depan lidah pada langit-langit keras, tetapi udara dapat melewati samping lidah dan menimbulkan bunyi desis.
8.    Konsonan [x] dibentuk dengan mendekatkan punggung lidah ke langit-langit lunak yang dinaikkan agar udara tidak keluar melalui hidung. Udara dilewatkan celah yang sempit keluar rongga mulut.
9.    Konsonan [h] dibentuk dengan melewatkan arus udara di antara pita suara yang menyempit sehingga menimbulkan bunyi desis, tanpa dihambat di tempat lain.
10.  Konsonan [c] dilafalkan dengan daun lidah ditempelkan pada langit-langit keras dan kemudian dilepas secara perlahan sehingga udara dapat lewat dengan menimbulkan bunyi desis. Sementara itu, pita suara dalam keadaan tidak bergetar.
11.  Konsonan [j] dibentuk dengan cara yang sama dengan pembentukan [c], tetapi pita suara dalam keadaan bergetar.
12.  Konsonan [m] dibuat dengan kedua bibir dikatupkan, kemudian udara dilepas melalui rongga hidung.
13.  Konsonan [n] dihasilkan dengan cara menempelkan ujung lidah pada gusi untuk menghambat udara dari paru-paru. Udara itu kemudian dikeluarkan lewat rongga hidung.
14.  Konsonan [ñ] dibentuk dengan menempelkan depan lidah pada langit-langit keras untuk menahan udara dari paru-paru. Udara yang terhambat ini kemudian dikeluarkan melalui rongga hidung sehingga terjadi persengauan.
15.  Konsonan [ŋ] dibentuk dengan menempelkan belakang lidah pada langit-langit lunak dan udara kemudian dilepas melalui hidung.
16.  Konsonan [r] dibentuk dengan menempelkan ujung lidah pada gusi, kemudian menghembuskan udara sehingga lidah tersebut secara berulang-ulang menempel pada dan lepas dari gusi. Sementara itu, pita suara dalam keadaan bergetar.
17.  Konsonan [l] dihasilkan dengan menempelkan daun lidah pada gusi dan mengeluarkan udara melewati samping lidah. Sementara itu, pita suara dalam keadaan bergetar.
18.  Semivokal [w] dilafalkan dengan mendekatkan kedua bibir tanpa menghalangi udara yang dihembuskan dari paru-paru.
19.  Semivokal [y] dihasilkan dengan mendekatkan depan lidah pada langit-langit keras, tetapi tidak sampai menghambat udara yang keluar dari paru-paru.

G.   Diftong
Diftong atau vokoid rangkap berhubungan dengan sonoritas atau tingkat kenyaringan suatu bunyi. Ketika dua deret bunyi vokoid diucapkan dengan satu hembusan udara, akan terjadi ketidaksamaan sonoritasnya. Salah satu bunyi vokoid pasti lebih tinggi sonoritasnya dibanding dengan bunyi vokoid yang lain. Vokoid yang lebih rendah sonoritasnya lebih mengarah atau menyerupai bunyi nonvoid. Kejadian meninggi dan menurunnya sonoritas inilah yang disebut diftong. Diftong atau vokal rangkap karena posisi lidah ketika memproduksi bunyi ini pada bagian awalnya dan akhirnya tidak sama. Ketidaksamaan itu menyangkut tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta strikturnya. Namun yang dihasilkan bukan dua bunyi, melainkan hanya sebuah bunyi karena berada dalam satu silabel.
Dalam bahasa Indonesia hanya ada diftong naik. Diftong naik terjadi jika vokal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah menjadi lebih tinggi daripada yang pertama. Diftong merupakan gabungan bunyi dalam satu suku kata, tetapi yang digabungkan adalah vokal dengan [w] atau [y]. Jadi [aw] pada [kalaw] dan [baŋaw] (untuk kata kalau dan bangau) adalah diftong, tetapi [au] pada [mau] dan [bau] (untuk kata mau dan bau) bukanlah diftong. Ada tiga buah diftong, yakni [ay], [aw], dan [oy] yang masing-masing dapat dituliskan: ai, au, dan oi. Kedua huruf vokal pada diftong melambangkan satu bunyi vokal yang tidak dapat dipisahkan.
Contoh:
[ay]      [suŋay]            ‘sungai’
            [pantay]           ‘pantai’
            [gulay]             ‘gulai’
                        [aw]     [harimaw]        ‘harimau’
                                    [kalaw]             ‘kalau’
[walawpun]      ‘walaupun’
                        [oy]      [sekoy]            ‘sekoi’
                                    [sǝpoy]            ‘sepoi’
[amboy]           ‘amboi’
[koboy]                        ‘koboi’












BAB III
PENUTUP


A.   Kesimpulan
Proses pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan memanfaatkan pernapasan sebagai sumber tenaganya. Pada saat kita mengeluarkan napas, paru-paru kita menghembuskan tenaga yang berupa arus udara. Setelah melewati rongga faring, arus udara mengalir ke bagian atas tenggorokan. Bunyi tersebut akan keluar melalui rongga mulut dan/atau rongga hdung. Macam bunyi bahasa yang kita hasilkan juga dipengaruhi oleh ada tidaknya hambatan dalam proses pembuatannya.
Klasifikasi bunyi segmental didasarkan berbagai macam kriteria, yaitu  ada tidaknya gangguan, mekanisme udara, arah udara, pita suara, lubang lewatan udara, mekanisme artikulasi, cara gangguan, tinggi rendahnya lidah, maju mundurnya lidah, bentuk bibir. Bunyi segmental, baik vokoid maupun kontoid, yang diucapkan oleh penutur bahasa Indonesia sangat variatif, apalagi setelah diterapkan dalam berbagai distribusi dan lingkungan.
Diftong atau vokoid rangkap berhubungan dengan sonoritas atau tingkat kenyaringan suatu bunyi. Ketika dua deret bunyi vokoid diucapkan dengan satu hembusan udara, akan terjadi ketidaksamaan sonoritasnya. Dalam bahasa Indonesia hanya ada diftong naik. Diftong naik terjadi jika vokal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah menjadi lebih tinggi daripada yang pertama.

B.   Saran
Sebuah materi yang esensial diperlukan pemahaman khusus, jadi diharapkan keseriusannya dalam materi ini dan rajin melatih diri untuk mempelajarinya agar dapat memahaminya. Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan.



DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, alek dan Achmad HP. 2013. Linguistik Umum. Jakarta: Gelora Aksara Pratama.
Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
-------. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Asdi Mahasatya.
-------. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Dola, Abdullah. 2011. Linguistik Khusus Bahasa Indonesia. Makassar: Badan Penerbit UNM.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muslich, Masnur. 2013. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Tim Redaksi. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.