Thursday, March 17, 2022

MAKALAH APRESIASI PROSA FIKSI ANALISIS NOVEL CANTIK ITU LUKA MELALUI PENDEKATAN POSTKOLONIAL

MAKALAH APRESIASI PROSA FIKSI


ANALISIS NOVEL CANTIK ITU LUKA 

MELALUI PENDEKATAN POSTKOLONIAL







OLEH:

NURHIDAYAH
1551040039


KELAS C
PEND. BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR











BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Munculnya novel sejarah, khususnya sejarah kolonial, dilatarbelakangi berbagai hal. Pertama, sejarah kolonial adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, novel sejarah kolonial yang merupakan bagian dari refleksi realitas, seharusnya memang ada. Kolonial dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia berarti berkenaan dengan sifat-sifat penjajahan (Yasyin, 1997: 295). Indonesia merupakan bagian dari negara yang tidak lepas dari penjajahan beberapa negara Eropa dan Jepang. Kedua, novel sejarah kolonial, memunyai nilai lebih dibanding buku-buku sejarah yang sudah ada.

Adanya novel sejarah kolonial, diharapkan bisa menjadi referensi tambahan sebagai media penyampai ilmu pengetahuan sejarah kepada khalayak. Salah satu novel yang bisa dikategorikan dalam novel sejarah yang memusatkan perhatian pada isu kolonialisme adalah Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan.

Novel Cantik Itu Luka bercerita tentang sakit hati Ma Gedik terhadap Ted Stammler. Permasalahannya tentang perempuan. Di era Belanda berkuasa, banyak laki-laki Belanda yang memunyai gundik. Ted Stammler menginginkan Ma Iyang sebagai gundiknya. Meskipun Ma Iyang mencintai Ma Gedik, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya pasrah pada penguasa saat itu, yaitu orang-orang Belanda.

Kepasrahan orang-orang pribumi kepada pihak penjajah tersebut disebabkan oleh sistem hubungan hegemoni yang timbul. Sistem hegemoni memunculkan istilah dominasi dan subordinasi. Dari pola hubungan seperti itu kemudian terdapat gambaran-gambaran yang tidak menyenangkan mengenai pihak terjajah sebagai kelompok masyarakat barbar, tidak beradab, bodoh, aneh, mistis, dan tidak rasional, yang kemudian perlu dibimbing atau dipimpin.

Kemudian, dengan adanya kolonialisme itu, dampak yang timbul tidak hanya kerusakan pada material semata, tetapi juga degradasi mentalitas. Oleh karena itu, akibat-akibat yang dimaksudkan tidak berhenti serta merta setelah kolonisasi berakhir, melainkan terus berlangsung lama bahkan mungkin hingga puluhan atau ratusan tahun.

Selanjutnya, yang diperlukan untuk mengungkap akibat kolonialisme seperti yang terdapat dalam novel sejarah yang fokus pada isu kolonial, adalah dengan menganalisisnya menggunakan teori postkolonial. Teori postkolonial dapat didefinisikan sebagai teori kritis yang mencoba mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolonialisme (Ratna, 2008: 120).

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan di atas, adapun rumusan masalah penulisan makalah ini yaitu:
1. Bagaimana pandangan terhadap novel Cantik Itu Luka berdasarkan pendekatan postkolonialisme?
2. Bagaimana pengaruh dominasi penjajah dalam novel Cantik Itu Luka?

1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai pada penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pandangan terhadap novel Cantik Itu Luka berdasarkan pendekatan postkolonialisme.
2. Untuk mengetahui pengaruh dominasi penjajah dalam novel Cantik Itu Luka.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Postkolonialisme
Postkolonialisme, dari akar kata “post” + kolonial + “isme,” secara harfiah berarti paham mengenai teori yang lahir sesudah zaman kolonial. Dasar semantik istilah ‘postkolonial’ tampaknya hanya berkaitan dengan kebudayaan-kebudayaan nasional setelah runtuhnya kekuasaan imperial. Dalam karya-karya sebelumnya, istilah postkolonial ini tak jarang juga digunakan untuk membedakan masa sebelum dan sesudah kemerdekaan (‘masa kolonial dan postkolonial’). Misalnya saja, dalam merekonstruksi sejarah-sejarah kesusastraan nasional atau memaparkan kajian-kajian perbandingan antar tahapan-tahapan dalam sejarah-sejarah tersebut. Secara umum, meski istilah ‘kolonial’ telah digunakan untuk menyebut masa prakemerdekaan dan sebagai istilah untuk menggambarkan karya-karya nasional, seperti ‘tulisan Kanada modern’ atau kesusastraan India Barat kontemporer, istilah tersebut juga dipakai untuk menyebut masa setelah kemerdekaan.

2.2. Sinopsis Novel Cantik Itu Luka

 
Judul : Cantik Itu Luka
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit         : Gramedia Pustaka utama
Tahun Terbit : 2012
Kota Terbit : Jakarta
Tebal : 490 halaman
ISBN : 9786020312583


Sore hari di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburnya setelah dua puluh tahun kematiannya. Sebelum kematiannya, dia melahirkan seorang gadis sangat buruk rupa yang ia beri nama Cantik. Bayi tersebut merupakan anak ke-empat, berbeda dengan ke-tiga kakaknya yaitu Alamanda, Adinda, Maya Dewi yang terlahir sebagai para gadis cantik dengan wajah perpaduan Jawa-Jepang-Belanda dan nasib yang sama hanya terletak pada ketidakpastian bapak dari ke-empat anak tersebut.

Dewi Ayu adalah seorang pelacur terkenal di sebuah kota kecil bernama Halimunda. Dia dilahirkan dari sepasang kakak adik yaitu Hendri Stammler dan Aneu Stammler. Ke-dua orang tua Dewi Ayu merupakan anak dari Ted Stammler dengan ibu yang berbeda. Aneu Stammler adalah anak dari hasil pergundikan Ted Stammler dengan Mak Iyang. Setelah kematian Mak Iyang karena terjun dari bukit, Aneu Stammler tinggal bersama Ted Stammler dan istri serta anaknya, Hendri Stemmler. Dari situ, Hendri dan Aneu Stemmler jatuh cinta hingga lahirlah Dewi Ayu.

Perjalanan Dewi Ayu dimulai dari pernikahannya dengan Ma Gedik yang mengejutkan banyak orang sampai Ma Gedik sendiri. Ma Gedik merupakan seorang bujang tua yang agak setengah sinting karena di tinggalkan kekasih hatinya, Mak Iyang. Dewi Ayu memutuskan untuk menikahi bekas pacar neneknya dengan dalih menebus dosa kakeknya yang telah merebut Ma Iyang. Namun, Dewi Ayu tidak mampu menggantikan Ma Iyang di hati Ma Gedik. Pernikahannya dengan Dewi Ayu malah justru membuat Ma Gedik semakin sinting hingga akhirnya dia bunuh diri dengan menerjunkan dirinya ke sebuah bukit samping bukit Ma Iyang. Sejak saat itu kehidupan Dewi Ayu menjadi semakin aneh karena ulah roh jahat Ma Gedik.

Jatuhnya Belanda atas kekuasaan Hindia-Belanda ke tangan Jepang menjadi awal mula Dewi Ayu mejadi pelacur. Dewi Ayu menjadi tahanan tentara Jepang karena pada saat itu Jepang menahan semua warga Hindia keturunan Belanda. Dewi Ayu bersama dua puluh gadis keturunan Belanda dibawa menuju rumah Mama Kalong yaitu rumah plesirn terbesar di Halimunda untuk melayani tentara-tetara Jepang. Berbeda dengan ke-19 gadis Belanda yang merasa ketakutan, Dewi Ayu adalah perempuan yang paling kuat dan menerima semua kondisi tersebut. Oleh karena itu, Dewi Ayu menjadi anak kesayangan Mama Kalong dan menjadi primadona semua laki-laki yang gila seks. Hampir semua laki-laki di Halimunda perna meniduri pelacur dengan julukan “Bercinta Sampai Mati”, termasuk menantu-menantunya yaitu Shodanco dan Maman Gendeng.

Anak pertama Dewi Ayu, Alamanda menikah dengan seorang pemimpin tentara Halimunda yang tidak ia sukai yaitu Shodanco, mereka dikaruniai anak bernama Nurul Aini. Sedangkan Adinda menikah dengan seorang  pemimpin partai komunis, Kamered Kliwon. Mereka dikaruniai anak laki-laki yang sangat tampan bernama krisan. Dewi Ayu menikahkan anak ke-tiganya, Maya Dewi dengan mantan pacarnya yaitu Maman Gendeng. Kemudian dikaruniai anak gadis yang sangat cantik bernama Rangganis si Cantik. Ketiga cucu Dewi Ayu bersahabat baik, mereka sering bermain dan pergi bersama, sampai akhirnya Krisan mencintai Nurul Aini. Rengganis yang cantik dan molek sehingga mampu menggoda birahi semua laki-laki, tak terkecuai Krisan. Dia menyetubuhi Rengganis di WC sekolahnya sampai akhirnya Rengganis hamil dan mengaku anjing yang telah memerkosanya.

Rengganis melarikan diri setelah melahirkan anaknya. Nurul Aini yang sangat menyayangi Rengganis merasa gagal menjaga Rengganis sehingga setelah kepergian Renggenis, Aini jatuh sakit hingga meninggal dunia. Krisan sangat terpukul dengan kematian Aini. Beberapa minggu setelah kematian Aini, Rengganis mendatangi Krisan untuk mengajaknya melarikan diri. Krisan yang telah menggali kuburan Aini dan mencuri mayatnya, mengajak Rengganis dan mayat Aini ke tengah laut. Sesampai di tengah laut, Krisan membunuh Rengganis karena merasa dialah yang menghalangi cintanya dengan Nurul Aini.  Saat kejadian itu Krisan bertemu dengan seorang nelayan dan berkata “apa yang kau lakukan seorang diri di laut tanpa seekor ikan pun di perahumu”. Krisan menjawab “membuang mayat”, lantas nelayan tersebut membalas “patah hati karena kekasih yang cantik? Ha. Ha. Ha. Kuberi saran, Nak, carilah kekasih yang buruk rupa”. Perkataan nelayan tersebut membuat Krisan berpikir, hingga akhirnya dia mencintai Cantik, anak bungsu Dewi Ayu yang tak lain bibi Krisan sendiri. 

2.3. Postkolonialisme dan Pengaruh Dominasi Penjajah dalam Novel Cantik Itu Luka
Berikut pengaruh yang ditimbulkan akibat adanya penjajahan:  
2.3.1. Pengaruh Dominasi Penjajah dari Segi Mental (Beban Psikologis) 
Dalam analisis mental, penulis akan menggunakan tokoh sebagai perwujudan adanya kekerasan pihak penjajah. Berikut adalah tokoh-tokoh yang ditampilkan Eka dalam novelnya  di era penjajahan. 
Tokoh-tokoh dalam Cantik Itu Luka dan pembahasannya: 
a. Ma Gedik dan Ma Iyang
Ma Gedik salah satu korban kesewenang-wenangan Belanda. Sebelum tahun 1942 saat Belanda masih menjadi penguasa penuh, banyak pribumi yang tidak memunyai keberanian untuk menentang kehendak Belanda. Begitu pula Ma Gedik. Saat itu, persoalan yang sangat menyakitkan bagi Ma Gedik adalah kebiasaan atau bisa dikatakan kesenangan orang Belanda untuk mengambil perempuan pribumi sebagai gundik. Kekasih Ma Gedik yang bernama Ma Iyang menjadi salah satu gundik orang Belanda, yaitu Ted Stammler. 
Ma Gedik tidak bisa berbuat sesuatu untuk melepaskan kekasihnya dari permasalahan itu. Sebab, jawabannya ada pada kutipan berikut:
“Tai,” kata Ma Gedik. “Kenapa kau mau jadi gundik?”
“Sebab jika tidak, Bapak dan Ibu akan jadi sarapan pagi ajak-ajak.” (Kurniawan, 2006: 34).
Permasalahan tersebut tidak selesai begitu saja setelah Ma Iyang pergi meninggalkan Ma Gedik. Cinta Ma Gedik tidak dapat dibunuh hanya dengan mengetahui bahwa Ma Iyang akan menjadi milik orang lain. Begitu pula dengan Ma Iyang, ia tetap mencintai Ma Gedik meskipun ia akan dijadikan gundik oleh orang Belanda. Lalu keduanya menjalin kesepakatan, enam belas tahun kemudian, mereka akan mengadakan pertemuan di puncak bukit cadas.
Selama enam belas tahun penantian, Ma Gedik menjadi gila. Ia dipasung orang tuanya di kandang kambing. Penyakit gila yang diderita Ma Gedik tidak lain karena ia begitu mencintai Ma Iyang dan ingin hidup berbahagia dengannya. Namun, impian itu tidak dapat terwujud sebab Ma Iyang menjadi gundik orang Belanda. 
Penderitaan Ma Gedik tersebut, penyebabnya sudah sangat jelas, yaitu kesewenang-wenangan orang Belanda yang merasa paling berkuasa. Ted Stammler memisahkan dua insan yang saling mencintai. Ted tidak pernah memikirkan akibat yang akan timbul akibat keegoisannya itu.
Kesepakatan Ma Gedik dan Ma Iyang yang merencanakan pertemuan enam belas tahun kemudian merupakan salah satu bukti bahwa mereka tidak ingin menyerah pada nasib. Mereka berusaha mencari cara untuk memperlihatkan pada Ted Stammler bahwa cinta mereka tidak akan mati begitu saja karena kejahatan Ted Stammler yang telah memisahkan mereka.
Ted Stammler dibuat berang oleh polah Ma Iyang yang melarikan diri ke bukit cadas pada hari kesepakatan antara dirinya dan Ma Gedik yang akhirnya tiba. Ted menyuruh anak buahnya mengejar gundik itu.
Orang-orang Belanda memandangnya dengan penuh kemarahan, berjanji akan menyeretnya ke kandang ajak jika perempuan itu bisa ditangkap (Kurniawan, 2006: 39).
Orang-orang Belanda itu akhirnya tidak dapat melemparkan Ma Iyang ke kandang ajak. Ma Iyang lebih memilih bunuh diri dengan terbang dari bukit cadas setelah dirinya merasa puas bertemu dengan kekasihnya. Pilihan Ma Iyang ini menunjukkan bahwa ia tidak bisa dikendalikan orang Belanda. Inilah bukti pemberontakan pribumi pada penjajahan. Ma Iyang tidak lemah, ia bisa menentukan hidupnya sendiri, bukan Ted yang selamanya berhak atas hidupnya.
Ma Gedik yang ditinggalkan Ma Iyang kembali bersikap aneh sebagaimana sebelumnya. Ia sering berbicara sendiri dan orang-orang menganggap gilanya kambuh. Akibat yang ditimbulkan Ted setelah mengambil paksa Ma Iyang menjadi gundiknya tidak hanya berpengaruh sebentar pada Ma Gedik. Ma Gedik menjadi gila hingga masa tuanya.
Ma Gedik kemudian meninggal juga atas pilihannya sendiri. Ia terjun dari atas bukit cadas yang terletak di samping bukit Ma Iyang setelah sehari pernikahannya dengan Dewi Ayu. Ma Gedik dipaksa nikah dengan Dewi Ayu, gadis cantik keturunan indo yang merupakan cucu Ma Iyang dan Ted Stammler. Dewi Ayu mencintainya tetapi Ma Gedik masih tetap setia dengan cintanya pada Ma Iyang. Untuk kesetiannya itu, Ma Gedik bunuh diri. Ia membenci keluarga Stammler, termasuk juga Dewi Ayu. 
Dalam novel ini diceritakan, kebencian Ma Gedik begitu dalamnya hingga Ma Gedik melakukan balas dendam meskipun ia sudah meninggal. Ia menghancurkan kehidupan keluarga Stammler dari alam orang-orang meninggal.
“Telah kupisahkan mereka dari orang-orang yang mereka cintai,” katanya pada Dewi Ayu, “sebagaimana ia memisahkanku dari orang yang aku cintai.” (Kurniawan, 2006: 65).

Balas dendam Ma Gedik ini sebagai simbol bahwa pribumi tidak akan tinggal diam dalam ketertindasan. Ia tetap akan melakukan Sesuatu untuk melawan ketertindasan tersebut. Meskipun sepertinya Eka berlebihan dengan memunculkan orang mati dengan tindakan balas dendamnya, tetapi inilah kekuatan orang-orang teraniaya. Mereka akan berjuang sekuat tenaga sampai titik darah penghabisan.

b. Dewi Ayu 
Dewi Ayu ialah tokoh perempuan yang cerdas, dan selalu menjalankan hidup sesuai dengan kehendak hatinya. Dewi Ayu masih terlibat hubungan keluarga dengan tokoh Ma Gedik dan Ma Iyang. Ma Gedik adalah suami Dewi Ayu dan Ma Iyang adalah nenek Dewi Ayu dari pihak ibunya, yaitu Aneu Stammler.
Sebagai seorang Indo, hidup Dewi Ayu di masa Belanda sangat terjamin. Ia tinggal di rumah mewah Ted Stammler, kakeknya, dan menjalankan hidupnya layaknya orang-orang kaya. Ted memunyai enam jawara yang siap melayani Dewi Ayu dengan sangat baik. Jawara-jawara itu adalah orang-orang pribumi yang menjadi bawahan orang-orang Belanda. Mereka bekerja bukan untuk penjajah, tapi bekerja untuk sebuah pekerjaan. Sesuatu yang kontras, mereka menjadi budak di negeri sendiri untuk orang-orang asing yang seharusnya tidak berhak atas negeri tersebut.
Dewi Ayu bukan tipe orang yang menganggap buruk orang-orang pribumi sebagaimana orang Belanda yang menganggap pribumi manusia bodoh, tidak berpendidikan, dan berperadaban rendah. Dewi Ayu mencintai pribumi sebagaimana ia mencintai Hindia-Belanda. Cinta Dewi Ayu pada pribumi dan cintanya pada Indonesia atau disebut Hindia-Belanda, bisa dilihat dalam beberapa kutipan di bawah:
Cinta Dewi Ayu pada Indonesia:
Segalanya tampak kacau dan kekalahan Hindia Belanda sepertinya telah dipastikan. Keluarga Stammler yang hanya tersisa tiga orang segera berkemas setelah memperoleh kepastian kapan mereka bisa berangkat, namun dikejutkan oleh keputusan Dewi Ayu yang tiba-tiba, “Aku tak akan pergi.” (Kurniawan, 2006: 53).
Kutipan di atas sebagai deskripsi rasa cinta Dewi Ayu pada Indonesia. Berikut kutipan yang menunjukkan betapa cintanya Dewi Ayu pada orang-orang pribumi. 
Ada beberapa jawara, begitulah ia menyebutnya untuk para penjaga kandang kambing, penjaga rumah, dan penjaga kebun. Ia memeluk mereka semua, dan untuk pertama kali, mungkin setelah bertahun-tahun, Dewi Ayu menangis. Meninggalkan mereka seperti kehilangan sepotong badan. (Kurniawan, 2006: 65). 

Status sebagai seorang keturunan Belanda tidak menjamin bahwa hidup Dewi Ayu akan selamanya nyaman. Hidupnya berbalik seratus delapan puluh derajat saat Jepang datang untuk menjajah Indonesia. Orang-orang keturunan ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara Blodenkamp. Gadis-gadis muda yang cantik, termasuk Dewi Ayu, dipaksa melayani nafsu tentara-tentara Jepang. 
Penjajahan menyebabkan kerugian material maupun psikologis bagi pihak yang terjajah. Kerugian material yang kentara pada penjajahan Jepang untuk orang-orang keturunan adalah sebagai berikut:
Sebelum masuk, mereka berbaris menghadapi meja dengan dua orang Jepang menggenggam daftar. Di samping mereka tergeletak sebuah keranjang untuk semua jenis uang, perhiasan, dan apa pun yang berharga. Belum ada penggeledahan, tapi beberapa perempuan telah melemparkan barang-barang berharganya ke sana.
“Lakukan sebelum kami menggeledah,” kata salah satu prajurit dalam bahasa Melayu yang baik (Kurniawan, 2006: 69).

Penyebab kerugian psikologis pada Dewi Ayu adalah pemerkosaan tentara Jepang padanya. Pertama kali, Dewi Ayu menyerahkan keperawanan pada tentara Jepang saat ia harus menebus obat dan dokter untuk ibunya Ola yang sedang sakit. Ola adalah teman Dewi Ayu di penjara Bloedenkamp.
“Aku gantikan gadis yang tadi, Komandan. Kau tiduri aku tapi beri ibunya obat dan dokter. Dan dokter!” (Kurniawan, 2006: 76).

Kemudian pemerkosaan itu berlanjut saat beberapa pejabat tinggi militer Jepang di kota Halimunda menginginkan pelacur yang terpisah dari pelacur prajurit rendahan, terlebih lagi pelacur yang sering dipakai buruh-buruh pelabuhan serta nelayan. Pelacur-pelacur baru yang sungguh-sungguh segar, dengan perawatan yang baik, dan Mama Kalong harus menemukan gadis-gadis itu secepat mungkin, sebab sebagaimana kata-katanya sendiri, mereka sedang sekarat karena berahi.
“Gampang, Tuan,” katanya, “memperoleh gadis-gadis seperti itu.”
“Katakan, di mana?”
“Tahanan perang,” jawab Mama Kalong pendek (Kurniawan, 2006: 94).

Setelah saat itu, perempuan-perempuan keturunan yang ditahan di penjara Bloedenkamp menjadi sasarannya. Perempuan-perempuan yang dipilih adalah gadis-gadis muda yang cantik. Dewi Ayu menjadi salah satu di antaranya.  
“Kita akan menjadi pelacur!” teriak Ola sambil duduk dan menangis.
“Lebih buruk dari itu,” kata Dewi Ayu lagi. ”Tampaknya kita tak akan dibayar.” (Kurniawan, 2006: 95). 

Dewi Ayu perempuan yang kuat. Ia bisa bertahan di mana pun ia berada. Ia tidak pernah menangis untuk perlakuan orang-orang Jepang yang keji. Ia tegar menjalani kehidupannya meskipun itu sangat pahit. Saat di penjara Bloedenkamp, ia dan perempuan lain yang ditahan di penjara tersebut tidak mendapatkan jatah makan. Maka Dewi Ayu mencari sesuatu yang bisa dimakan. 
Tak seorang pun tertarik memakan lintah, dan seorang ibu tampaknya mual-mual dengan hidangan mengerikan semacam itu. “Bukan lintah yang kita makan, tapi darah sapi,” kata Dewi Ayu lagi menjelaskan. Ia membelah lintah-lintah tersebut dengan pisau kecil, mengeluarkan gumpalan darah sapi di dalamnya, menusuknya dengan ujung pisau dan melahapnya (Kurniawan, 2006: 71).

Pengalaman Dewi Ayu yang menjadi pelacur saat penjajahan Jepang, tidak membuatnya putus asa atau menganggap diri kotor. Bagi Dewi Ayu, ia menjadi pelacur karena keadaan sebagaimana seseorang menjadi kyai pun karena keadaan. Ia kemudian memutuskan pelacur menjadi profesinya seumur hidup setelah terlepasnya ia dari tentara-tentara Jepang. Ia menjadi pelacur eksklusif.
“Ia pelacur terbaik di sini, namanya Dewi Ayu,” kata Mama Kalong.
“Seperti Maskot,” kata Maman Gendeng.
“Seperti Maskot.” (Kurniawan, 2006: 134).

c. Shodancho
Karir militer Shodancho  kali pertama di Seinendan, barisan pemuda semi militer yang dibentuk Jepang. Ia mengikuti pendidikan militer setelah peta didirikan, kemudian lulus sebagai shodancho sebelum kembali ke Halimunda memimpin shodan masing-masing. Dan saat inilah, Shodancho merencanakan pemberontakan pada Jepang.
“Itu artinya kau mencari liang kubur,” kata Sadrah.
“Orang-orang Jepang datang dari jauh hanya untuk menguburku,” katanya dengan tawa kecil, “cerita bagus untuk anak cucu.” (Kurniawan, 2006: 152).

Sejak saat itu, ketika usianya baru dua puluh tahun, ia membuat taktik untuk mengalahkan tentara Jepang di Halimunda. Ia menjadi orang paling dicari oleh tentara Jepang.
“Dan hari ini,” katanya pada pukul setengah tiga hari pemberontakan, “adalah hari tersibuk bagi para penggali kubur.”

Shodancho berjuang dengan gigih untuk kemerdekaan Indonesia. Ia dilahirkan sebagai orang yang tidak tinggal diam dengan ketertindasan yang dialami. Ia hidup di hutan sebagai gerilyawan dan membantai orang-orang Jepang yang telah menjajah dengan keji masyarakat Indonesia. Shodancho menjadi salah satu orang yang dicintai masyarakat. Kedatangannya selalu dinantikan. Ia sebagai salah satu simbol bahwa pribumi begitu kuat. Pribumi tidak diam dalam ketertindasan. Tentara-tentara Jepang berang kepadanya dan kawan-kawan seperjuangannya.
Pada hari pertama gerilya, rombongan Sang Shodancho menyerang truk berisi beberapa prajurit Jepang yang tengah menuju delta, tempat penjara Bloedenkamp berada. Sebuah mortir diledakkan persis di bawah tanki bensinnya, dan truk meledak membunuh semua penumpang. Itu aksi mereka yang sangat dahsyat, sebelum menerima berita dari seorang kurir bahwa pasukan barat melakukan perang terbuka dengan tentara Jepang di hutan perbatasan distrik dalam satu pertempuran yang sengit (Kurniawan, 2006: 155).

 Tekad Shodancho: 
“Setelah segalanya,” kata Sang Shodancho, “Kita harus meninggalkan Halimunda sampai Jepang kalah.” (Kurniawan, 2006: 154).
Pemberontakan Shodancho akhirnya menjadi stimulan masyarakat pribumi untuk berjuang melawan penjajah. Pribumi bangkit dari keterpurukan. Pribumi menjadi percaya diri bahwa mereka dapat melakukan banyak hal untuk membuat Jepang kalang kabut.
Seorang kurir datang suatu malam ke gubug tempat Sang Shodancho tinggal selama gerilya, dua bulan setelah hari pemberontakan, dan memberitahu bahwa pemberontakan mereka telah terdengar hampir seluruh orang Jawa. Pemberontakan mereka telah memancing beberapa pemberontakan kecil di beberapa daidan, meskipun semuanya gagal, tapi itu telah membuat Jepang sungguh-sungguh khawatir sehingga terdengar desas-desus bahwa Peta akan dibubarkan dan semua senjata akan dilucuti.
“Itulah risiko memelihara anak harimau lapar,” kata Sang Shodancho (Kurniawan, 2006: 158).
Shodancho menjadi bukti bahwa pribumi memunyai kemampuan sejajar dengan bangsa penjajah.

d. Maman Gendeng
Maman Gendeng bukan tentara layaknya Shodancho, namun ia tetap orang pribumi yang juga memikirkan orang-orang lemah. Maman Gendeng seorang pendekar silat. Saat masih penjajahan Belanda, ia sering mencuri barang-barang berharga orang kaya dan memberikannya pada orang-orang miskin. Setelah republik berdiri, ia bergabung dengan tentara rakyat.
Selepas Jepang pergi dan republik berdiri, dan ketika perang revolusi dimulai, ia bergabung dengan salah satu gerilyawan tentara rakyat, dan tinggal di kota-kota kecil pesisir utara. Mereka tinggal di rumah-rumah nelayan pada siang hari, dan pergi ke front pada malam hari. Tak ada yang menarik dari masa-masa itu, sebab pertempuran tak selalu hebat dan tentara-tentara KNIL milik orang-orang Belanda itu lebih sering memenangkan pertempuran dan mendesak para gerilyawan ke daerah pedalaman… (Kurniawan, 2006: 121).

Kelemahan Maman Gendeng adalah ketrampilannya yang hanya bisa silat, Setelah tidak ada musuh yang bisa dilayani, akhirnya ia menjadi preman pasar. Kemunculan tokoh Maman gendeng dalam novel bisa diartikan sebagai bagian dari masyarakat biasa pada zaman itu yang juga ikut berperan melawan penjajah. Hal ini lebih menguatkan stigma bahwa pihak penjajah telah salah menilai bahwa pejuang selalu terdiri dari orang-orang lemah. Orang-orang yang penulis sebutkan di atas adalah simbol dari kekuatan orang-orang yang dianggap bawahan oleh penjajah.
Simpulan yang bisa ditarik dalam pembahasan di atas adalah ada orang-orang kuat dalam pejuang pribumi. Mereka yang tergolong kuat biasanya memberi stimulan bagi yang lain tentang kekuatan pribumi yang selama ini disepelekan pihak penjajah. Contoh nyata terjadi pada perjuangan Shodancho. Pemberontakan Shodancho pada Jepang telah mengobarkan semangat masyarakat untuk melakukan hal yang sama.
Inti dari mempelajari Postkolonialisme, kata Nyoman Kutha Ratna, adalah menumbuhkan kepercayaan diri bagi pihak yang merasa lemah. Dan hal itu sudah terbuktikan. Satu hal yang harus digarisbawahi, semangat semacam ini harus terus dibangun untuk kehidupan masa depan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Selama ini, secara psikologi, masyarakat Indonesia masih merasa belum percaya diri dengan kemampuannya dan cenderung masih percaya bahwa bangsa Barat selalu lebih baik dari bangsa Indonesia. Hal yang wajar ketika menyadari bahwa penjajahan yang ada pada masa kolonial tidak hanya penjajahan secara material, namun juga penjajahan secara mental. Namun, Ketika mempelajari postkolonialisme dan menemukan titik lemahnya, kemudian mendapatkan solusinya, diharapkan mental yang terjajah sedari masa kolonial bisa terkikis secara sempurna. Dan akhirnya masyarakat Indonesia percaya bahwa pribumi Indonesia bisa lebih baik dari bangsa-bangsa lain.

2.3.2. Pengaruh Dominasi Penjajah dari Segi Pola Pikir
Era penjajahan memunculkan pemikir-pemikir handal dari pihak pribumi. Dalam Cantik Itu Luka, diketahui adanya Kamerad Kliwon yang sangat cerdas yang hidup dengan selalu memikirkan cara untuk membuat masyarakat lebih sejahtera. Kamerad Kliwon, bukan seorang pejuang layaknya Shodancho. Namun, ia menjadi orang yang berpengaruh dalam kebangkitan masyarakat pribumi pasca proklamasi. Ia pemikir ulung di era pasca penjajahan. 
“Ia kadang bertanya-tanya juga apakah sudah merupakan nasib para revolusioner untuk menjalani kehidupan yang sunyi dengan kepala yang melulu dijejali gagasan-gagasan tentang revolusi. Beginilah mungkin ia akan menjalani hidup: ia bercinta sambil memikirkan revolusi, mabuk revolusi, makan revolusi, dan bahkan buang tai revolusi.” (Kurniawan, 2006: 323).

Kamerad Kliwon sering berpikir tentang nasib nelayan yang kurang makmur. Ia juga membuka taman bacaan untuk orang-orang, meskipun pada akhirnya taman bacaan itu ditutup karena ada isu bahwa komunis meracuni masyarakat dengan bacaan-bacaan tidak mendidik. Ia kemudian hidup sebagai orang biasa dan bekerja membuat kolor untuk kehidupan keluarganya. Kolor tersebut banyak disukai dan menjadi produk khas Halimunda yang merupakan daerah wisata pantai di Indonesia. Lalu, masyarakat beramai-ramai mengembangkan kolor di Halimunda. Dan suatu kali, ketika wisata pantai Halimunda akan diprivatisasi atas kebijakan pemerintah setempat, Kamerad Kliwon berjuang agar pemerintah membatalkan kebijakan tersebut. Hal ini dilakukan untuk penduduk Halimunda yang bergantung hidup pada pantai Halimunda.
Kamerad Kliwon melalui partai komunis menjadi salah satu pemikir yang berjuang untuk kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia. Selain kamerad Kliwon, masih banyak lagi pemuda yang pelajar Indonesia yang melakukan hal yang sama, yaitu mendirikan partai dan mencoba untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa. Pemikir-pemikir ini lahir juga akibat pengaruh adanya penjajah yang mengenalkan pendidikan formal bagi rakyat Indonesia. Dengan adanya pendidikan, pikiran lebih terbuka dan Indonesia tidak buta lagi dengan nasionalisme. Perasaan senasib dan seperjuangan menjadi motor penggerak yang lebih cepat dalam hal perjuangan melawan kolonialisme. Penjajah mendorong masyarakat menjadi lebih mengerti arti kemerdekaan, dan mengerti tentang hak asasi manusia yang memunyai hak hidup yang sama untuk tiap orang.

2.3.3. Pengaruh Dominasi Penjajah dari Segi Budaya
Dari segi budaya, kolonial membawa dua pengaruh yaitu negatif dan positif. Pengaruh negatif contohnya adalah adanya rumah-rumah pelacuran yang berdiri dan menjamur saat penjajahan Belanda yang kemudian berlanjut saat Jepang datang ke Indonesia. Selain pelacuran, minuman keras juga menjadi hal yang wajar di zaman kolonial. Prajurit-prajurit Belanda sangat berminat dengan minuman keras. Kutipannya sebagai berikut: 
Tempat pelacuran Mama kalong telah ada sejak masa pembukaan barak-barak tentara kolonial secara besar-besaran. Sebelum itu, ia hanya seorang gadis yang yang ikut membantu di kedai minum milik bibinya yang jahat. Mereka menjual tuak tebu dan beras, dan prajurit-prajurit itu pelanggan mereka yang baik (Kurniawan, 2006: 91).

Kebiasaan yang lain seperti pesta noni-noni Belanda, atau kebiasaan nonton bioskop tidak bisa dikategorikan positif atau negatif. Hal itu tergantung cara pandang orang masing-masing. Jika hal tersebut dianggap sebagai hiburan yang perlu, bisa dikategorikan dalam dampak positif. Namun, jika kebiasaan tersebut dianggap sebagai foya-foya semata, tentu bisa dikategorikan dalam dampak negatif. 

Henri pemuda yang menyenangkan, pandai berburu babi bersama anjing-anjing Borzoi yang didatangkan langsung dari Rusia, pemain bola yang baik, pandai berenang sebagaimana berdansa. Sementara Aneu telah tumbuh jadi gadis cantik, menghabiskan waktu dengan main piano dan bernyanyi dengan suara sopranonya. Ted dan Marietje melepaskan mereka untuk pergi ke pasar malam dan ke rumah dansa, sebab telah waktunya mereka untuk berhura-hura, dan mungkin menemukan kekasih yang cocok (Kurniawan, 2006: 46-47).

Satu yang perlu digarisbawahi dengan adanya kebiasaan di atas adalah masyarakat Indonesia menjadi lebih menyukai pesta-pesta dan nonton film di bioskop. Dan pengaruhnya pada kecintaan budaya lokal yang mulai luntur karena budaya lokal dianggap sesuatu yang kuno oleh masyarakat. 

Pengaruh positif adanya penjajahan Belanda yang sangat kentara yaitu masuknya modernitas. Contohnya seperti adanya gedung-gedung perkantoran, alat transportasi seperti kereta api, kapal maupun alat transportasi modern yang lain.

Perusahaan pertama yang beroperasi di kota itu tentu saja Nederlandsch Indisch Stoomvaartmaatschappij, yang mengoperasikan beberapa kapal layar. Beberapa perusahaan pergudangan juga berdiri. Terutama setelah pembukaan jalan kereta api yang melintang ke barat dan ke timur.namun sejak berdirinya garnisum pertama di Halimunda, dan kenyataan perdagangan yang tidak pernah sungguh mencapai masa keemasan, pemerintah colonial mengembangkan kota itu lebih sebagai kantong militer(Kurniawan, 2006: 52).

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dalam penelitian novel Cantik Itu Luka, penulis menganalisis pengaruh penjajahan dari segi mental, pola pikir, dan budaya. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa penjajahan Belanda maupun Jepang sama-sama menimbulkan kesengsaraan bagi orang-orang yang terjajah, yaitu masyarakat Indonesia. Kerugian yang didapatkan tidak hanya menyangkut materi semata. Namun juga dari segi yang lain.
Dari segi mental, penjajahan selalu mengonsep diri mereka berperadaban tinggi yang harus memimpin orang-orang yang dianggap berperadaban rendah. Dari sini kesewenang-wenangan muncul. Secara umum pihak penjajah selalu memperlakukan jajahannya dengan tidak manusiawi. Contohnya mengenai kasus pergundikan. Ted sebagai seorang Belanda memunyai kekuasaan untuk mengambil perempuan mana saja menjadi gundiknya. Jika tidak bersedia, maka Ted akan membunuh keluarga si perempuan. Itu yang terjadi pada Ma Iyang yang dipergundik Ted. Ma Gedik sebagai kekasih Ma Iyang merasa tidak terima. Ma Gedik tidak mampu melawan Ted dan akhirnya Ma Gedik menjadi gila karena cinta.
Tekanan-tekanan yang didapat dari pihak penjajah bukan berarti selalu melemahkan pihak pribumi. Manusia-manusia kuat juga lahir dalam kondisi demikian. Dalam hal ini, penulis akan memberi contoh tokoh Shodancho. Shodancho adalah orang Indonesia yang belajar perang dari PETA, oraganisasi militer yang dibentuk Jepang untuk orang-orang pribumi. Ilmu yang ia dapar dari PETA kemudian digunakannya untuk berjuang membela Indonesia. Shodancho melakukan pemberontakan. Ia dan teman-temannya melakukan gerilnya untuk membunuh orang-orang Jepang yang telah menjajah Indonesia.
Pemikiran mengenai pribumi yang lemah juga bisa dikikis dengan adanya pemikir seperti Kamerad Kliwon. Ia bukan pahlawan perang layaknya Shodancho, namun ia adalah generasi muda yang potensial yang dapat diandalakan dalam pembangunan Indonesia pasca perang. Kamerad Kliwon memunyai taman bacaan umum untuk masyarakat di lingkungannya. Meskipun pada akhirnya banyak yang menghindari taman bacaan itu, tapi setidaknya ia memunyai niat untuk merubah kehidupan masyarakat di sekitarnya menjadi lebih baik.
Dari segi budaya, adanya penjajahan membawa modernitas di bumi Indonesia. Masyarakat Indonesia menjadi kenal dengan kereta api, mobil, kantor-kantor pemerintahan, bioskop, tempat-tempat pesta, dan lain-lain. Masuknya budaya penjajah bernilai positif dan negatif. Penilaian tersebut tergantung pada pemikiran masing-masing individu dalam masyarakat Indonesia. 

3.2. Saran
Sebuah materi yang esensial diperlukan pemahaman khusus, jadi diharapkan keseriusannya dalam materi ini dan rajin melatih diri untuk mempelajarinya agar dapat memahaminya. Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia
Kurniawan, Eka. 2006. Cantik itu Luka. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar



No comments:

Post a Comment