Thursday, March 10, 2022

MAKALAH KRITIK SASTRA: PSIKOLOGI SASTRA

MAKALAH KRITIK SASTRA MUTAKHIR

”PSIKOLOGI SASTRA”

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Anshari, M.Hum.










Disusun oleh:
Kelompok 2
Kelas A

Nurhidayah 210001301012
Sitti Syarifa Faradiba 210001301018
Achmad Afandy 210001301002 





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
TAHUN 2022 


KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul ”Psikologi Sastra” dapat  selesai tepat pada waktunya. Kami menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, hal ini dikarenakan kemampuan yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak akhirnya penyusunan makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
    Tidak lupa saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Anshari, M.Hum. atas bimbingan dan arahan selama penyusunan makalah ini, serta pihak yang ikut membantu dan sumber referensi yang telah berperan dalam penyusunan makalah ini.
    Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi saya dan para pembaca umumnya serta dapat menjadi bahan pertimbangan untuk  mengembangkan dan meningkatkan prestasi di masa yang akan datang.


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                     
DAFTAR ISI
BAB I  PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II  PEMBAHASAN
A. Pengertian Psikologi Sastra Menurut Para Ahli
B. Hubungan Psikologi dengan Sastra
C. Kegunaan atau Fungsi Psikologi Sastra
D. Proses Kreatif Sastra dalam Psikoanalisis
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

 
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Sastra adalah kegiatan kreatif   yang menjadi alat mengekspresikan dan menyampaikan pesan ataupun perasaan manusia. Manusia berinteraksi dan bersosialisasi ,banyak sekali cerita dan inspirasi yang harus diutarakan karena sifat mendasar manusia sendiri sebagai makhluk sosial. Sehingga muncullah karya sastra baik novel, puisi dan lain-lain yang dijadikan alat mengekspresikan dan mengutarakan pesan tersebut. Perkembangan sastra pesat sekali berkembang dan timbullah sastra sebagai cabang ilmu untuk mengkritisi suatu karya sastra, yaitu kritik sastra. Sastra juga cabang ilmu pengetahuan yang dewasa ini didalami dan dikaji oleh para pakar sastra. Studi sastra memiliki metode-metode yang absah dan ilmiah, walau tidak selalu sama dengan metode ilmu-ilmu alam. Hanya saja ilmu-ilmu alam berbeda dengan tujuan ilmu-ilmu budaya. Ilmu-ilmu alam mempelajari fakta-fakta yang berulang, sedangkan sejarah mengkaji fakta-fakta yang silih berganti. Karya sastra pada dasarnya bersifat umum dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepat lagi: individual dan umum. Studi sastra adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang berkembang terus-menerus.
Dengan berkembangannya ilmu tentang sastra maka bukan hanya unsur-unsur yang terdapat didalam sebuah karya sastra saja yang dapat dikaji atau analisis tetapi pada saat ini sastra juga dapat dikaji berdasarkan faktor-faktor yang berasal dari luar sastra itu. Faktor-faktor dari luar karya sastra yaitu sosiologi sastra, psikologi sastra serta antropologi sastra. Sosiologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan masyarakat yang menghasilkannya sebagai latar belakang sosialnya. Antropologi sastra, dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis, dalam kaitannya dengan asal usul sastra.
            Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra. Jadi, Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”.
            Analisis Teori Psikologi Sastra yang dilanjutkan dengan Teori Psikoanalisis dan diaplikasikan dengan meminjam teori kepribadian ahli psikologi terkenal Sigmund Freud. Dengan meletakkan teori Freud sebagai dasar penganalisisan, maka pemecahan masalah akan gangguan kejiwaan tokoh utama akan dapat dijembatani secara bertahap. Didalam makalah ini akan dikaji secara terperinci tentang psikologi sastra dan pengaplikasiannya.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat kami simpulkan berdasarkan latar belakang di atas yaitu:
1. Apakah defenisi dan tujuan Psikologi Sastra?
2. Apakah hubungan antara Psikologi dan sastra?
3. Apakah fungsi Psikologis dalam sastra?

C. Tujuan Penulisan
          Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu penulis sangat berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah pemahaman mengenai psikologi sastra dan semoga berguna bagi mahasiswa yang lainnya.

D. Manfaat Penulisan
Dengan adanya penulisan tentang Psikologi sastra ini, diharap memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Mengetahui apa defenisi dan tujuan dari psikologi sastra.
2. Mengetahui hubungan psikologi dan sastra
3. Mengetahui fungsi dan teori psikologi sastra.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Psikologi Sastra Menurut para Ahli
            Wellek dan Austin (1989), Psikologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu tentang jiwa. Sedangkan sastra adalah ilmu tentang karya seni dengan tulis-menulis. Maka jika diartikan secara keseluruhan, psikologi sastra merupakan ilmu yang mengkaji karya sastra dari sudut kejiwaannya (Ratna, 2004:340)
            Istilah psikologi sastra mempunyai empat pengertian. Pertama adalah studi psikologi pengarang. Kedua adalah studi proses kreatif. Ketiga studi psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan Keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).  Namun didasarkan pada pendekatan psikologis lebih dekat dengan pengarang dan karya sastra maka lebih berhubungan pada tiga gejala utama yaitu, pengarang, karya sastra dan pembaca  Ratna (2004:61). Maka pendekatan psikologis sastra pada pengarang lebih pada pada pendekatan ekspresif, yaitu kepengarangan. Pada karya sastra lebih pada pendekatan objektif.  
            Menurut Ratna (2004:350), “Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis”. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam menganalisis sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra. Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”. Artinya, dengan meneliti sebuah karya sastra melalui pendekatan Psikologi Sastra, secara tidak langsung kita telah membicarakan psikologi karena dunia sastra tidak dapat dipisahkan dengan nilai kejiwaan yang mungkin tersirat dalam karya sastra tersebut.
            Dari beberapa pendapat para ahli mengenai psikologi sastra,  dapat ditarik benang merah mengenai definisi psikologis sastra yaitu kajian teori konsep psikologi yang diterapkan pada karya sastra pada pengarang dan penokohan. Namun dalam terapannya psikologis sastra lebih memberikan pada unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra.
            Psikologis sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah psikologis praktis seperti kejiwaan manusia. Namun memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Meskipun demikian psikologi sastra tidak terlepas dalam kebutuhan masyarakat. Secara tidak langsung karya sastra memberikan pemahaman dan inspirasi terhadap masyarakat.

B. Hubungan Psikologi dengan Sastra
            Menurut Ratna (2004:343), terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologis dengan sastra. Pertama , memahami unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, kedua memahami unsur kejiwaan tokoh fiksional sastra. Ketiga memahami kejiwaan pembaca. Walaupun lebih menyoroti pada tokoh fiksional dalam penerapanya karena pengaruh analisi struktualisme dimana terjadi penolakan terhadap objek manusia, unsur-unsur yang berkaitan dengan pengarang dianggap sebagai kekeliruan biografis. Menurut struktualisme analisis karya sastra adalah analisis  sastra secara otonom, karya sastra dianggap sebagai entitas yatim piatu.
            Dengan penjelasan tersebut jelas bahwa hubungan psikologi dan sastra sangat erat didalam menganalisis karya sastra. Namun psikologi sastra lebih mengacu pada sastra bukan pada psikologi praktis. Pada penerapanya sastra atau karya sastra-lah yang menetukan teori, bukan teori yang menentukan sastra. Sehingga dalam penelitian dipilih dahulu objek karya sastra barulah kemudian menentukan kajian teori psikologis praktis yang relevan untuk menganalisis.

Teori dalam Psikologis menurut Freud
            Konsep Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious (taksadar), lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Di antara tiga lapisan itu, taksadar adalah bagian terbesar yang memengaruhi perilaku manusia. Freud menganalogikannya dengan fenomena gunung es di lautan, dimana bagian paling atas yang tampak di permukaan laut mewakili lapisan sadar. Prasadar adalah bagian yang turun-naik di bawah dan di atas permukaan. Sedangkan bagian terbesar justru yang berada di bawah laut, mewakili taksadar.
            Dalam buku-bukunya yang lebih mutakhir, Freud meninggalkan pembagian lapisan kesadaran di atas, dan menggantinya dengan konsep yang lebih teknis. Tetapi basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu dikenal dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur, yaitu:
1.  Id
            Id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak lahir. Aspek kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan primitif. Menurut Freud, id adalah sumber segala energi psikis, sehingga komponen utama kepribadian. Id didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua keinginan, keinginan, dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak puas langsung, hasilnya adalah kecemasan atau ketegangan.
            Sebagai contoh, peningkatan rasa lapar atau haus harus menghasilkan upaya segera untuk makan atau minum. id ini sangat penting awal dalam hidup, karena itu memastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi. Jika bayi lapar atau tidak nyaman, ia akan menangis sampai tuntutan id terpenuhi.
            Namun, segera memuaskan kebutuhan ini tidak selalu realistis atau bahkan mungkin. Jika kita diperintah seluruhnya oleh prinsip kesenangan, kita mungkin menemukan diri kita meraih hal-hal yang kita inginkan dari tangan orang lain untuk memuaskan keinginan kita sendiri. Perilaku semacam ini akan baik mengganggu dan sosial tidak dapat diterima. Menurut Freud, id mencoba untuk menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh prinsip kesenangan melalui proses utama, yang melibatkan pembentukan citra mental dari objek yang diinginkan sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan.
2.   Ego
Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk menangani dengan realitas. Menurut Freud, ego berkembang dari id dan memastikan bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam cara yang dapat diterima di dunia nyata. Fungsi ego baik di pikiran sadar, prasadar, dan tidak sadar. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, yang berusaha untuk memuaskan keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan sosial yang sesuai. Prinsip realitas beratnya biaya dan manfaat dari suatu tindakan sebelum memutuskan untuk bertindak atas atau meninggalkan impuls. Dalam banyak kasus, impuls id itu dapat dipenuhi melalui proses menunda kepuasan – ego pada akhirnya akan memungkinkan perilaku, tetapi hanya dalam waktu yang tepat dan tempat.
Ego juga pelepasan ketegangan yang diciptakan oleh impuls yang tidak terpenuhi melalui proses sekunder, di mana ego mencoba untuk menemukan objek di dunia nyata yang cocok dengan gambaran mental yang diciptakan oleh proses primer id’s.
3.  Superego
Komponen terakhir untuk mengembangkan kepribadian adalah superego. superego adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh dari kedua orang tua dan masyarakat – kami rasa benar dan salah. Superego memberikan pedoman untuk membuat penilaian. Yang ideal ego mencakup aturan dan standar untuk perilaku yang baik. Perilaku ini termasuk orang yang disetujui oleh figur otoritas orang tua dan lainnya. Mematuhi aturan-aturan ini menyebabkan perasaan kebanggaan, nilai dan prestasi.
          Hati nurani mencakup informasi tentang hal-hal yang dianggap buruk oleh orang tua dan masyarakat. Perilaku ini sering dilarang dan menyebabkan buruk, konsekuensi atau hukuman perasaan bersalah dan penyesalan. Superego bertindak untuk menyempurnakan dan membudayakan perilaku kita. Ia bekerja untuk menekan semua yang tidak dapat diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk membuat tindakan ego atas standar idealis lebih karena pada prinsip-prinsip realistis. Superego hadir dalam sadar, prasadar dan tidak sadar.Maka dari itu timbullah interaksi dari ketiga unsur unsur diatas yaitu dengan kekuatan bersaing begitu banyak, mudah untuk melihat bagaimana konflik mungkin timbul antara ego, id dan superego. Freud menggunakan kekuatan ego istilah untuk merujuk kepada kemampuan ego berfungsi meskipun kekuatan-kekuatan duel. Seseorang dengan kekuatan ego yang baik dapat secara efektif mengelola tekanan ini, sedangkan mereka dengan kekuatan ego terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menjadi terlalu keras hati atau terlalu mengganggu.
Banyak pendapat mengatakan bahwa teori Freud hanya berhasil untuk mengungkapkan genesis karya sastra , jadi, sangat dekat dengan penelitian proses kreatif. Relevansi teori Freud dianggap sangat terbatas dalam rangka memahami sebuah karya sastra. Meskipun demikian, menurut Milner ( 1992:xiii ) , peran teori freud tidak terbatas sebagaimana dinyatakan sebelumnya. Menurutnya, teori Freud memiliki inplikasi yang sangat luas tergantung bagaimana cara pengoprasiaannya. Disatu pihak , hubungan psikologi dengan sastra didasarkan atas pemahaman, bahwa sebagaimana bahasa pasien, sastra secara langsung menampilkan ketaksadaran bahasa. Dipihak lain menyatakan bahwa psikologi Freud memanfaatkan mimpi, fantasi, dan mite, sedangkan ketiga hal tersebut merupakan masalah pokok didalam sastra.
Hubungan yang erat antara psikoanalisis khususnya teori-teori Freud dengan sastra juga ditunjukkan melalui penelitiannya yang bertumpu pada karya sastra. Teori Freud dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis dibalik gejala bahasa. Oleh karena itu, keberhasilan penelitian tergantung dari kemampuan dalam mengungkapkan kekhasan bahasa yang digunakan oelh pengarang. Bagi Freud, asas psikologi adalah alam bawah sadar, yang didasari secara samar-samar oelh individu yang bersangkutan. Menurutnya, ketaksadaran justru merupakan bagian yang paling besar dan paling aktif dalam diri setiap orang.
Psikologis sastra menetapkan karya sastra sebagai posisi yang lebih dominan. Atas dasar karya sastra yang sangat luas, dengan tradisi berbeda-beda, unsur psikologis pun menampilkan aspek yang berbeda-beda. Novel tidak menlukiskan tokoh-tokoh dari semestaan yang sama, dari pihak novel yang lain. Novel juga tidak menampilkan tokoh secara individual. Pada dasarnya karakterisasi merupakan multikultural.
Dengan demikian maka jelas maka psikologi sastra bukanlah menganalisis kebenaran psikologis namun lebih mempertimbangkan kerelevansian dan peran studi psikologi. Dengan memusatkan perhatian pada tokoh maka dapat dianalisi konflik batin, yang mungkin saja bertentangan dengan teori psikologis. Dalam hal tersebut tentulah tidak begitu saja terlihat dengan kasat mata , namun dengan meneliti sastra dengan teori psikologis yang relevan.
C. Kegunaan atau fungsi psikologi sastra
Psikologi atau psikoanalisis dapat mengklasifikasikan pengarang berdasar tipe psikologi dan tipe fisiologisnya. Psikoanalisis dapat pula menguraikan kelainan jiwa bahkan alam bawah sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen di luar karya sastra atau dari karya sastra itu sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra sebagai bukti psikologis, psikolog perlu mencocokannya dengan dokumen-dokumen diluar karya sastra.
Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat membantu kita melihat keretakan ( fissure ), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam suatu karya sastra.

D. Proses Kreatif Sastra dalam Psikoanalisis
Psikoanalisis menyimpulkan proses kreatif (proses terciptanya) karya sastra ke dalam dua cara.
1. Sublimasi
            Konsep sublimasi terkait dengan konsep ketidaksadaran. Sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam lapisan taksadar manusia terdapat id yang selalu menginginkan pemuasan dan kesenangan. Seringkali keinginan id itu bertentangan dengan superego maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, dan karenanya keinginan itu tidak mungkin direalisasikan, kecuali orang tersebut mau dianggap tidak sopan, jahat, cabul, dsb.
            Tetapi dorongan-dorongan tersebut tetap harus dipuaskan. Tetapi agar dapat diterima oleh norma masyarakat, dorongan-dorongan itu lalu dialihkan ke dalam bentuk lain yang berbeda sama sekali, misalnya dalam bentuk karya seni, ilmu, atau aktivitas olah raga. Proses pengalihan dorongan id ke dalam bentuk yang dapat diterima masyarakat itu disebut sublimasi.
            Menurut Freud, sublimasi inilah yang menjadi akar dari kebudayaan manusia. Dalam sublimasi, terkandung kreativitas atau kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru. Puisi, novel, lukisan, teori keilmuan, aktivitas olah raga, pembuatan peralatan teknik, bahkan agama, sebenarnya merupakan bentuk lain dari dorongan-dorongan id yang telah dimodifikasi.
2. Asosiasi
            Di samping tafsir mimpi, teknik terapi yang dikembangkan Freud dalam psikoanalisisnya adalah asosiasi bebas (free association). Asosiasi bebas adalah pengungkapan atau pelaporan mengenai hal apapun yang masuk dalam ingatan seseorang yang tengah dianalisis, tanpa menghiraukan betapa hal tersebut akan menyakitkan hati atau memalukan. Dalam situasi terapi, biasanya pasien berada dalam posisi berbaring santai di atas ranjang, dan terapis duduk di sampingnya. Terapis memerintahkan pasien untuk mengucapkan hal apapun yang terlintas dalam pikirannya. Jika pasien agak sulit mengatakan sesuatu, terapis bisa membantu merangsang asosiasi pada pikiran pasien dengan mengucapkan kata-kata tertentu.
Asosiasi bebas, atau “asosiasi” saja, sebenarnya merupakan suatu teknik yang sudah lama dipraktikkan oleh para seniman dan pengarang untuk memeroleh ilham. Ketika proses penulisan dimulai, pengarang yang menggunakan teknik asosiasi akan menuliskan apa saja yang masuk ke dalam pikirannya. Setelah ilhamnya habis, barulah ia memeriksa tulisannya dan mengedit, menambah atau mengurangi, dan menentukan sentuhan akhir. Seringkali dalam melakukan asosiasi ini, pengarang mengingat-ingat segala kejadian yang pernah dialaminya, khususnya kejadian di masa anak-anak, atau memunculkan kembali pikiran-pikiran dan imajinasinya yang paling liar. Itulah dorongan id yang sedang dipanggil kembali.
Pada sebagian pengarang, asosiasi itu dibantu pemunculannya dengan melakukan “ritual” tertentu, atau memilih waktu-waktu dan tempat tertentu, yang khas bagi pengarang itu sehingga ide atau ilhamnya mudah mengalir. Wellek dan Warren memberikan contoh-contoh menarik dari kebiasaan aneh para pengarang. Schiller suka menaruh apel busuk di atas meja kerjanya. Balzac menulis sambil memakai baju biarawan. Marcel Proust dan Mark Twain menulis sambil berbaring di ranjang. Sementara pengarang di negeri kita, misalnya Emha Ainun Najib suka menulis dengan menggunakan kertas warna-warni. Sewaktu di Bloomington, Budi Darma senang berjalan-jalan tak tentu arah dan tujuan, sekadar menikmati pemandangan yang ada di sekelilingnya. Ada pengarang yang lebih terinspirasi kalau menulis di malam hari, ada juga yang lebih suka menulis di pagi hari atau senja hari. Ada yang hanya bisa menulis di tempat sepi, ada juga yang menulis di tempat ramai seperti di kafe. Itu semua bergantung pada kebiasaan pengarang yang bersangkutan.
Itulah di antaranya konsep-konsep psikoanalisis yang dapat dihubungkan dengan seni sastra. Berdasarkan teori Freud, sedikit dapat disimpulkan bahwa sumber ide karya seni adalah id yang berada dalam ketidaksadaran kita, dan sebagian dari kesadaran. Sedangkan proses munculnya ide itu dalam pikiran adalah melalui sublimasi dan asosiasi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Psikologis satra yaitu kajian teori konsep psikologi yang diterapkan pada karya sastra pada pengarang dan penokohan. Namun dalam terapannya psikologis sastra lebih memberikan pada unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra. Psikologis sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah psikologis praktis seperti kejiwaan manusia. Namun memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Meskipun demikian psikologi sastra tidak terlepas dalam kebutuhan masyarakat. Secara tidak langsung karya sastra memberikan pemahaman dan inspirasi terhadap masyarakat.
Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat membantu kita melihat keretakan ( fissure ), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam suatu karya sastra.
Penelitian psikologi sastra dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis. Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis tokoh-tokoh dalam drama atau novel secara psikologis. Tokoh-tokoh tersebut umumnya merupakan imajinasi atau khayalan pengarang yang berada dalam kondisi jiwa yang sehat maupun terganggu, lalu dituangkan menjadi sebuah karya yang indah.
Konsep menurut Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious (taksadar), lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Tetapi basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu dikenal dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur, yaitu id, ego, dan superego.


DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra.Yogyakarta : Azza grafika.
Hardjana, Andre.1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta : Gramedia
Kutha Ratna, Nyoman, Prof. Dr. S.U. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.