Saturday, May 27, 2017

Dinamika Bahasa || Sosiolinguistik



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Bagi setiap orang, budaya meneguhkan sebuah konteks perilaku kognitif dan afektif, sebuah model untuk eksistensi personal dan sosial. Tetapi kita condong melihat realitas di dalam konteks budaya kita sendiri, sebuah realitas yang kita “ciptakan”, dan karenanya tidak selalu merupakan realitas yang dipahami secara empiris. Sekalipun kesempatan untuk keliling dunia dalam beberapa dasawarsa terakhir sudah meningkat tajam, masih ada kecenderungan kita mempercayai bahwa realitas kita sendirilah persepsi yang “benar”.
Namun, persepsi selalu subjektif. Persepsi melibatkan penyaringan informasi bahkan sebelum ia disimpan di memori, yang menghasilkan sebuah bentuk selektif kemafhuman. Apa yang tampak oleh Anda sebagai persepsi akurat dan objektif, adat, atau gagasan, mungkin “menjemukan” atau “dibuat-buat” dalam pandangan orang dari  budaya lain. Oleh karenanya kesalahpahaman gampang terjadi antara anggota-anggota budaya yang berbeda. Orang-orang dari budaya lain mungkin tampak di mata Anda sebagai “berisik” atau “pendiam”, “konservatif” atau “liberal”.
Tampak jelas bahwa budaya, sebagai himpulan perilaku dan mode persepsi yang berurat akar, menjadi sangat penting dalam pembelajaran sebuah bahasa kedua.  Bahasa adalah bagian dari budaya, dan budaya bagian dari bahasa.; keduanya saling terpintal erat sehingga tak ada seorang pun yang bisa memisahkan keduanya tanpa menghilangkan arti masing-masing.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan di atas, adapun rumusan masalah penulisan makalah ini yaitu:
1.      Apa perbedaan Streotipe dan Generalisasi?
2.      Bagaimana sikap dan jarak sosial dalam pemerolehan budaya kedua?
3.      Bagaimana cara mengajarkan kompetensi antarbudaya dengan memperhatikan kebijakan dan politik bahasa?
4.      Bagaimana hubungan antara bahasa, pemikiran, dan budaya?

C.    Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai pada penulisan makalah ini yaitu:
1.      Mengetahui perbedaan Streotipe dan Generalisasi.
2.      Mengetahui sikap dan jarak sosial dalam pemerolehan budaya kedua.
3.      Mengetahui cara mengajarkan kompetensi antarbudaya dengan memperhatikan kebijakan dan politik bahasa.
4.      Mengetahui hubungan antara bahasa, pemikiran, dan budaya.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi dan Teori
Budaya adalah sebuah cara hidup. Ia adalah konteks yang di dalamnya kita ada, berpikir, merasa, dan berhubungan dengan yang lain. Ia adalah “lem” yang merekatkan sekelompok orang. Budaya adalah benua kita, identitas  kolektif kita. Larson dan Smalley (1972, h. 39) menggambarkan budaya sebagai sebuah “cetak biru” yang “menuntun perilaku orang-orang dalam sebuah komunitas dan terbina dalam kehidupan keluarga. Ia mengatur perilaku kita dalam kelompok, menjadikan kita peka terhadap persoalan status, dan membantu kita mengetahui apa yang orang lain harapkan dari kita dan apa yang akan terjadi sekiranya kita tak memenuhi harapan mereka. Budaya membantu kita mengetahui seberapa jauh kita bisa berjalan selaku pribadi dan tanggung jawab kita kepada kelompok”.
Budaya bisa juga didefinisikan sebagai gagasan, kebiasaan, keterampilan, seni, dan peranti yang mencirikan sekelompok orang dalam sebuah periode waktu tertentu. Tetapi budaya lebih dari sekedar gabungan bagian-bagian itu. Menurut Matsumoto (2000, h. 24):
Budaya adalah sebuah sistem aturan yang dinamis, eksplisit dan implisit, yang dibangun oleh kelompok-kelompok untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. Ia melibatkan sikap, nilai, keyakinan, norma, dan perilaku yang dianut bersama oleh sebuah kelompok tetapi dijaga secara berbeda oleh setiap unit spesifik di dalam kelompok yang bersangkutan, dikomunikasikan lintas generasi, relative stabil tetapi mempunyai peluang untuk berubah siring waktu.
Matsumo menyertakan penjelasan konsep-konsep penting yang melekat pada definisi tersebut.
Dinamis
Sistem aturan
Kelompok dan unit
Kelangsungan hidup
Sikap, nilai, keyakinan, norma, dan perilaku
Dianut bersama sebuah kelompok
Dijaga secara berbeda oleh tiap unit khusus
Dikomunikasikan lintas generasi, relative stabil
Berpotensi berubah seiring dengan berjalannya waktu

B.     Streotipe dan Generalisasi
Bagaimana sterotipe membentuk? Milieu budaya kita membentuk pandangan dunia kita (Weltanscauung kita) dalam sebuah cara sehingga realitas dianggap terlihat objektif melalui pola budaya kita sendiri, dan persepsi yang berbeda dilihat sebagai salah atau “asing” dan penyederhanaan berlebihan pun terjadi. Jika orang mengenali dan memahami pandangan-pandangan dunia yang berbeda, mereka biasanya mengadopsi sikap positif dan terbuka kepada perbedaan-perbedaan lintas budaya. Pandangan sempit terhadap perbedaan-perbedaan semacam itu sering berakibat pada dipertahankannya stereotype-sebuah penyederhanaan berlebihan dan sepenuhnya asumsi. Sebuah stereotipe melekatkan karakteristik kelompok kepada tiap individu semata-mata berbasis keanggotaan budaya mereka.
Stereotipe mungkin berbeda dalam menggambarkan anggota “tipikal” dari sebuah budaya, tetapi ia tak akurat saat menggambarkan individu tertentu, semata-mata karena setiap orang unik dan seluruh karakteristik perilaku seseorang tak bisa diprediksi secara akurat, secara pukul rata seperti itu.menghakimi anggota sebuah budaya dengan sifat keseluruhan budaya sama saja dengan menghakimi sebelum waktunya dan salah menghakimi. Lebih  uruk lagi, stereotipe punya fungsi merendahkan orang-orang dari budaya lain.
Kadang konsep penyederhanaan berlebihan kita terhadap anggota budaya lain salah sepenuhnya. Orang Amerika kadang berpikir orang Jepang kadang tak bersahabat karena norma budaya mereka tentang respek dan kesopanan. Mahasiswa Asia dalam persepsi mahasiswa Amerika di Amerika Serikat terlalu sering diangap sama di bawah pandangan yang keliru bahwa banyak Negara dan budaya di Asia punya banyak kesamaan. Bahkan dalam literatul TESOL, menurut Kumaravadivelu (2003), stereotype umum mahasiswa Asia digambarkan: mereka (1) patuh kepada otoritas, (2) kurang punya keterampilan berpikir kritis, dan (3) tak berpartisipasi dalam interaksi kelas (h.710-713). Sikap semacam ini perlu digantikan oleh “kesadaran kritis tentang sifat kompleks pemahaman budaya”
Sekalipun pandangan stereotype atau generalisasi berlebihan terhadap orang dari budaya lain mesti dihindari, penelitian lintas budaya telah memperlihatkan bahwa  memang ada karakteristik-karakteristik budaya yang membuat satu budaya berbeda dari yang lainnya (Atkinson, 1999, 2002; Matsumoto, 2000). Misalnya, Condon (1973) menyimpulkan dari penelitian lintas budaya bahwa cara pandang orang Amerika, Prancis, dan Hispanik sangat berbeda dalam konsep waktu dan ruang. Orang AMerika condong didominasi pandangan “psikomotor” tentang waktu dan ruang yang dinamis, menyebar, dan nominalistik. Orientasi orang Prancis lebih “kognitif” dengan pandangan yang statis, terpusat, dan universalistis. Orientasi Hispanik lebih “afektif” dengan pandangan yang pasif, relasional, dan intuitif.
Baik pembelajar maupun guru bahasa kedua perlu memahami perbedaan-perbedaan budaya, untuk mengakui secara terbuka bahwa tidak ada orang yang sama. Kelas bahasa bisa merayakan perbedaan budaya, dan bahkan terlibat dalam analisis kritis penggunaan da nasal-usul stereotipe-stereotipe (Abrams, 2002). Sebagai guru dan peneliti kita harus berjuang memahami identitas-identitas pembelajar kita dalam hal latar belakang sosial budaya mereka (Atkinson, 1999). Ketika kita sudah terkondisi peka melihat identitas budaya, mungkin selanjutnya kita bisa mengubah persepsi menjadi apresiasi.

C.    Sikap
Stereotipisasi biasanya menyiratkan semacam sikap terhadap budaya atau bahasa yang dibicarakan. Sikap, seperti semua aspek perkembangan kognisi dan afeksi pada manusia, berkembang awal pada masa kanak-kanak dan buah dari sikap orangtua dan rekan sebaya, kontak dengan orang-orang yang “berbeda” dalam banyak cara, dan faktor-faktor afektif yang berinteraksi dalam pengalaman manusia. Sika-sikap ini membentuk sebagian dari persepsi seseorang akan dirinya, orang lain, dan budaya di mana ia tinggal.
Studi ekstensif Gardner dan Lambert (1972) adalah upaya sistematis memeriksa efek sikap kepada pembelajaran bahasa. Setelah mempelajari antarhubungan sejumlah jenis sikap berbeda, mereka menetapkan motivasi sebagai pengertian yang tersusun dari sikap-sikap tertentu. Yang paling penting adalah sikap spesifik kelompok ini, yakni sikap para pembelajar terhadap anggota-anggota kelompok budayayang bahasanya sedang mereka pelajari. Maka, dalam model Gardner dan Lambert, sikap positif seorang Kanada berbahasa Inggris kepada orang Kanada berbahasa Prancis-keinginan untuk memahami mereka dan berempati dengan mereka- akan membawa ke orientasi integrative untuk belajar bahasa Prancis, yang dalam studi pada 1972 didapati adanya hubungan yang berlaku.
John Oller dan koleganya (Lihat Oller, Hudson, Liu, 1977: Chihara & Oller, 1978; Oller, Baca, & Vigil, 1978) melakukan beberapa kajian berskala besar mengenai hubungan antara sikap dan keberhasilan bahasa. Mereka memperhatikan hubungan pencapaian dalam bahasa Inggris dalam bahasa Cina, Jepang, dan Meksiko dengan sikap mereka terhadap diri sendiri, kelompok bahasa asli, kelompok bahasa sasaran, alasan mereka mempelajari bahasa Inggris, dan alasan mereka bepergian ke Amerika Serikat. Para peneliti berhasil mengidentifikasi sejumlah variable sikap yang berkorelasi secara positif dengan kecakapan yang diraih. Ketiga studi ini masing-masing menghasilkan kesimpulan yang sedikit berbeda, tetapi sebagian besar, sikap positif terhadap diri sendiri, kelompok bahasa asli, kelompok bahasa sasaran meningkatkan kecakapan. Ada beberapa hasil tupang tindih pada orientasi integrative dan instrumental. Misalnya, dalam satu studi mereka mendapati bahwa kecakapan yang lebih baik diperoleh oleh mahasiswa-mahasiswa yang tak ingin tinggal tetap di Amerika Serikat.
Tampaknya jelas bahwa para pembelajar bahasa kedua memetik manfaat dari sikap positif dan bahwa sikap negatif mungkin menyebabkan melemahnya motivasi dan kemungkinan besar, karena melemahnya masukan dan interaksi kegagalan meraih kecakapan. Namun guru harus awas bahwa setiap orang memiliki sikap positif dan negatif. Sikap negatif bisa diubah, seringkali melalui pemaparan kepada realitas-misalnya, dengan menjumpai orang-orang nyata dari budaya-budaya lain. Sikap negative biasanya muncul dari keterpaparan tak langsung seseorang kepada sebuah budaya atau kelompok melalui televisi, film, media berita, buku, dan sumber-sumber lain yang mungkin kurang bisa diandalkan. Guru bisa membantu menyingkirkan apa yang seringkali berupa mitos tentang budaya-budaya lain dan menggantikan mitos-mitos itu dengan pemahaman akurat budaya lain yang berbeda dari budaya yang bersangkutan, yang mesti dihormati dan dihargai.


D.    Pemerolehan Budaya Kedua
Robinson-Stuart dan Nocon (1996) mempertemukan beberapa perspektif tentang pembelajaran budaya yang sudah kita lihat beberapa dasawarsa terakhir. mereka mengomentari gagasan yang menyebut bahwa pembelajaran budaya adalah “perjalanan dengan karpet ajaib menuju budaya lain”, yang teraih sebagai produk samping otomatis dari pelatihan bahasa, adalah konsepsi yang keliru. Banyak murid dikelas bahasa asing yang mempelajari bahasa itu dengan sedikit atau tidak ada pengertian sama sekali tentang kedalaman norma dan pola budaya dari orang-orang yang berbicara bahasa itu. Perspektif lain adalah gagasan bahwa sebuah kurikulum bahasa asing bisa menghadirkan budaya sebagai “daftar fakta yang dikonsumsi secara kognitif” (h.434) oleh murid, tanpa interaksi yang memadai dengan budaya itu. Dengan meminggirkan perspektif-perspektif tersebut karena tak efektif dan salah pengertian, Robinson-Stuart dan Nocon menyarankan agar para pembelajar bahasa menjalani pembelajaran budaya sebagai “sebuah proses, yaitu sebagai sebuah cara mengindra, menafsir, merasa hidup di dunia … dan berjumpa” (h. 432). Pembelajaran budaya adalah sebuah proses penciptaan makna bersama di antara perwakilan-perwakilan budaya. Proses ini harus dijalani, proses pembelajaran bahasa yang berlangsung selama bertahun-tahun pembelajaran bahasa, dan menembus sangat dalam ke pola pemikiran, perasaan, dan tindakan seseorang.
Pembelajaran bahasa kedua dalam pembahasan ego bahasa, melibatkan pemerolehan sebuah identitas kedua. Penciptaan identitas baru ini berada dijantung pembelajaran budaya, atau yang disebut akulturasi. Jika seorang penutur Prancis utamanya berorientasi kognitif, penutur Amerika berorientasi psikomotor, dan penutur Spanyol berorientasi afektif seperti dinyatakan Condon (1973, h. 22) tidaklah sulit di taraf perkembangan ini saja untuk memahami kompleksitas proses orientasi kepada sebuah budaya baru. Reorientasi pemikiran dan perasaan, belum lagi komunikasi, adalah wajib hukumnya.
Proses akulturasi bisa lebih menyiksa dengan hadirnya bahasa baru. Pasti, budaya adalah bagian yang tertanam sangat dalam dari keberadaan kita sebagai manusia, tetapi bahasa--cara-cara berkomunikasi di antara anggota-anggota sebuah budaya—adalah ekspresi yang paling terlihat dan tersedia dari budaya itu. Maka, cara pandang, identitas diri, dan sistem berpikir, bertindak, merasa, dan berkomunikasi bisa terusik oleh kontak dengan budaya lain.
Kadang gangguan tersebut sedemikian berat, sehingga seseorang mungkin mengalami gegar budaya. Gegar budaya merujuk kepada fenomena yang bertentang dari ketersinggungan ringan sampai panik dan krisis psikologis yang dalam. Gegar budaya diasosiasikan dengan perasaan keterasingan, marah, bermusuhan, bimbang, frustasi, gundah, sedih, kesepian, kangen rumah, dan bahkan sakit fisik. Orang-orang yang mengalami gegar budaya melihat dunia baru dengan perasaan sengit dan berubah-ubah dari iba kepada diri sendiri dan marah kepada orang lain yang tak memahami mereka.
Orang-orang yang berada di sebuah  budaya kedua awalnya mungkin nyaman dan terhibur dengan lingkungan sekitar yang “eksotis”. Sepanjang mereka bisa secara perseptual menyaring lingkungan sekitar mereka dan menginternalisasi lingkungan itu dalam pandangan mereka sendiri, mereka merasa nyaman. Begitu kebaruan itu luntur dan kontradiksi yang bertumpuk mengganggu pikiran dan perasaan, mereka menjadi terdisorientasi.
Lazim menggambarkan gegar budaya sebagai yang kedua dari keempat tahap beruntun pemerolehan budaya:
1.      Periode kegembiraan dan eforia karena kebaruan lingkungan sekitar.
2.      Gegar budaya-muncul ketika orang merasakan makin banyak gangguan masuk dari perbedaan budaya ke dalam bayangan mereka akan diri sendiri dan rasa aman. Dalam tahap ini orang-orang mengandalkan dan mencari dukungan dari orang-orang sebangsa di budaya kedua, menghibur diri dengan mengeluh tentang adat dan kondisi lokal , berusaha lari dari kesengsaraan ini.
3.      Salah satu dari pemulihan bertahap dan pada awalnya tentatif dan terombang-ambing. Tahap ini dicirikan oleh apa yang disebut Larson dan Smalley (1972) “stres budaya”: beberapa masalah akulturasi terpecahkan sementara beberapa masalah lain berlanjut untuk beberapa waktu. Tetapi ada kemajuan umum, lambat tapi pasti, ketika orang mulai menerima perbedaan-perbedaan di sekitar mereka dalam berpikir dan merasakan, pelan-pelan mereka menjadi lebih berempati pada orang lain di budaya kedua.
4.      Mewakili pemulihan hampir penuh atau sepenuhnya, baik asimilasi maupun adaptasi, penerimaan budaya dan kepercayaan diri baru dalam orang “baru” yang sudah berkembang dalam budaya ini.

E.     Jarak Sosial
Konsep jarak sosial muncul sebagai sebuah pengertian afektif untuk menjelaskan tempat pembelajaran budaya dalam pembelajaran bahasa kedua. Jarak sosial merujuk kepada kedekatan kognitif dan afektif dari dua budaya yang bertemu di dalam diri seseorang. “Jarak” jelas dipakai sebagai metafora untuk menggambarkan ketidakmiripan antara kedua budaya. Pada tataran yang sangat superfisial orang mungkin menyebut bahwa orang dari Amerika Serikat mirip secara budaya dengan orang Kanada, sementara penduduk asli Amerika Serikat dan China, jika dibandingkan, relatif tak serupa. Kita bisa bilang bahwa jarak sosial kasus yang belakangan melampaui yang sebelumnya.
John Schumann (1976c, h. 136) menggambarkan jarak sosial terdiri atas parameter-parameter berikut:
1.      Dominasi. Dalam kaitannya dengan kelompok BS (bahasa sasaran), apakah kelompok B2 (pembelajar bahasa kedua) secara politik, budaya, teknis, atau ekonomi, dominan, tak dominan, atau bawahan?
2.      Integrasi. Apakah pola integrasi kelompok B2 berupa asimilasi, akulturasi, atau preservasi? Seperti apa derajat penutupan diri kelompok B2—terpisahkan identitasnya dari kelompok lain di sekitarnya?
3.      Kekohesifan. Apakah kelompok B2 kohesif? Seberapa besar ukuran kelompok B2?
4.      Keserasian. Apakah budaya dari dua kelompok itu serasi—sistem nilai dan keyakinan mereka mirip? Seperti apa sikap timbal balik kedua kelompok?
5.      Kepermanenan. Berapa lama kelompok B2 berniat tinggal di wilayah bahasa sasaran?
Schumann menggunakan faktor-faktor di atas untuk menggambarkan secara hipotesis situasi pembelajaran bahasa yang “baik” dan “buruk”, dan mengilustrasikan tiap situasi dengan dua konteks lintas budaya aktual. Dua hipotesis situasi pembelajaran bahasa yang “buruk” darinya:
1.      Kelompok BS melihat kelompok B2 sebagai dominan dan kelompok B2 melihat dirinya dengan cara yang sama. Kedua kelompok menginginkan preservasi dan penutupan diri tinggi bagi kelompok B2, dan kelompok B2 kohesif sekaligus besar, dua budaya tak serasi, dua kelompok saling bersifat negatif, dan kelompok B2 berniat tinggal di wilayah BS hanya untuk waktu singkat.
2.      Situasi buruk kedua memiliki semua karakteristik yang pertama kecuali dalam kasus ini, kelompok B2 memandang dirinya bawahan dan dianggap bawahan oleh kelompok BS.
Situasi pertama, menurut Schumann, adalah tipikal orang Amerika yang tinggal di Riyadh, Arab Saudi. Situasi kedua adalah gambaran Indian Navajo yang tinggal di wilayah barat daya Amerika Serikat.
Situasi pembelajaran bahasa yang “baik”, menurut model Schumann (h. 141) adalah situasi si mana kelompok B2 tak dominan dalam hubungannya dengan kelompok BS, kedua kelompok menginginkan asimilasi (atau setidaknya akulturasi) untuk kelompok B2, penutupan diri yang rendah adalah cita-cita kedua kelompok, kedua budaya serasi, kelompok B2 kecil dan tak kohesif, kedua kelompok saling memiliki sikap positif, dan kelompok B2 berniat tinggal di wilayah BS untuk waktu yang lama. Di bawah kondisi-kondisi demikian jarak sosial akan minimal dan pemerolehan bahasa sasaran akan meningkat.
Hipotesis Schumann adalah bahwa makin besar jarak sosial antara dua budaya, makin besar kesulitan yang akan ditemui pembelajar saat belajar bahasa kedua, dan sebaliknya, makin kecil jarak sosial, makin baik situasi pembelajaran bahasanya.
Salah satu kesulitan dalam hipotesis Schumann tentang jarak sosial adalah pengukuran jarak sosial aktual. Bagaimana orang bisa menentukan derajat jarak sosial? Dengan cara apa? Dan bagaimana cara-cara itu bisa dikuantifikasi untuk perbandingan jarak relatif?
William Acton (1979) mengajukan solusi untuk dilema tersebut. Alih-alih mencoba mengukur jarak sosial aktual, ia merancang ukuran jarak sosial yang dipahami. Pendapatnya adalah bahwa jarak aktual antara budaya-budaya tidak secara khusus relevan mengingat apa yang dilihat pembelajarlah yang membentuk realitas mereka sendiri. Menurut Acton, ketika pembelajar menjumpai budaya baru, proses akulturasi mereka adalah sebuah faktor bagaimana mereka melihat budaya mereka sendiri dalam hubungannya dengan budaya bahasa sasaran, dan sebaliknya.
Dengan meminta pembelajaran merespon tiga dimensi jarak, Acton merancang pengukuran jarak sosial yang dipahami—Kuesioner Perbedaan Nyata dalam Sikap atau Professed Difference in Attitude Questionnaire (PDAQ)—yang memperlihatkan karakterpembelajar yang “baik” atau berhasil (sebagaimana diukur dengan tes kecakapan standar) dengan akurasi yang mengagumkan. Pada dasarnya PDAQ meminta pembelajar mengukur perbedaan sikap mereka terhadap berbagai konsep (“otomobil”, “perceraian”, “sosialisme”, “polisi”, misalnya) pada tiga dimensi: (1) jarak (atau perbedan) antara mereka sendiri dan orang sebangsa secara umum; (2) jarak antara mereka sendiri dan anggota budaya sasaran secara umum; dan (3) jarak antara orang sebangsa mereka dan anggota budaya sasaran. Dengan menggunakan teknik diferensial semantik, skor tiga jarak itu dihitung untuk tiap-tiap dimensi.

F.     Mengajarkan Kompetensi Antarbudaya
Sekalipun kebanyakan pembelajar betul-betul dapat menemukan manfaat dalam pengalaman pembelajaran atau tinggal diwilayah lintas budaya, sejumlah orang mengalami kendala psikologis dan efek menghambat lainnya dari budaya kedua. Stevick (1976b) mewanti-wanti bahwa para pembelajar bisa merasakan keterasingan dalam proses pembelajaran bahasa kedua, terasing dari orang-orang di budaya kampung halaman mereka, budaya sasaran, dan dari diri mereka sendiri. Saat mengajarkan sebuah bahasa “asing”, kita perlu peka pada kerapuhan murid dengan menggunakan teknik yang meningkatkan pemahaman budaya.
Barangkali model paling produktif dari kombinasi pembelajaran bahasa kedua dan budaya kedua dijumpai di antara murid yang mempelajari bahasa kedua di sebuah negara di mana bahasa itu dituturkan secara asli. Di banyak negara, ribuan mahasiswa asing mendaftar ke institusi pendidikan tinggi dan harus belajar bahasa negara tersebut agar bisa mengejar tujuan akademis mereka. Mereka membawa serta norma moral dan pola perilaku  “terpuji” yang dipelajari di bahasa asal mereka, dan condong menerapkan standar itu ke situasi baru mereka.
Sejumlah cara untuk merumuskan berbagai ketidakcocokan dalam standar norma semacam itu digambarkan dalam sebuah artikel provokatif karya Geert Hofstede (1986) yang menggunakan empat kategori konseptual untuk mempelajari norma-norma budaya lima puluh negara berbeda. Berikut penjabaran kategori masing-masing:
1.      Individualisme adalah karakteristik sebuah budaya yang merupakan lawan dari kolektivisme (dipakai di sini dalam pengertian antropologis, bukan politis). Budaya individualis mengasumsikan bahwa setiap orang terutama menjaga kepentingannya sendiri dan kepentingan keluarga intinya (suami, istri, dan anak-anak).
2.      Jarak kekuasaan adalah sebuah karakteristik sebuah budaya yang mendefinisikan sampai sejauh mana orang-orang yang kurang berdaya dalam sebuah masyarakat menerima ketidaksetaraan dalam kekuasaan dan menganggapnya normal. Ketidaksetaraan ada di dalam setiap budaya, tetapi derajat bisa ditoleransinya bervariasi antara satu budaya dan lainnya.
3.      Penghindaran ketidakpastian adalah karakteristik sebuah budaya yang mendefinisikan sampai sejauh mana orang-orang di dalam sebuah budaya dibuat gugup oleh situasi-situasi yang mereka lihat sebagai tak terstruktur, tak jelas, tak bisa diduga situasi yang kemudian mereka coba hindari dengan menegakkan aturan-aturan perilaku dan keyakinan mutlak.
4.      Maskulinitas adalah karakteristik sebuah budaya yang merupakan lawan dari femininitas. Keduanya berbeda dalam peran-peran sosial terkait dengan fakta biologis jenis kelamin, dan dalam hal-hal khusus peran sosial yang disandangkan kepada laki-laki. Budaya-budaya feminin, di sisi lain, merumuskan secara relatif tumpang tindih peran sosial untuk kedua jenis kelamin, di mana laki-laki tak perlu ambisius atau kompetitif, tetapi boleh mengejar kualitas hidup yang berbeda selain sukses materi; laki-laki boleh menghormati apa pun yang kecil, lemah, dan lambat.

G.    Kebijakan dan Politik Bahasa
Hubungan antara bahasa dan masyarakat tak bisa didiskusikan untuk waktu lama tanpa menyentuh cabang politik bahasa dan kebijakan bahasa.
Bahasa Inggris Dunia
Pertumbuhan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional (EIL) telah merangsang diskusi menarik tetapi sering kontroversial mengenai keberadaan yang berbeda dari apa yang sekarang lazim disebut bahasa Inggris dunia. Penyebaran dan stratifikasi EIL dimotori oleh Kachru dan lain-lainnya yang telah bergabung dalam proses eksplorasi menuju konseptualisasi baru konteks penggunaan bahasa Inggris:
Dikotomi lama antara asli dan bukan asli secara fungsional tak berwawasan dan secara linguistik mengandung pertanyaan, terutama ketika membahas fungsi-fungsi bahasa Inggris dalam masyarakat multilingual. Pembedaan sebelumnya mengenai bahasa Inggris sebagai bahasa asli (ENL), kedua (ESL), dan asing (EFL) diserang hebat untuk alasan-alasan selain sosiolinguistik (Kachru, 1992, h. 3).
ESL dan EFL
Masalah dengan peristilahan, seperti yang Nayar (1997) tunjuk, bahwa istilah ini “tampaknya telah menciptakan cara pandang bahwa dengan menjadi penutur asli bahasa Inggris akan dengan sendirinya orang diyakini tak hanya kompeten dalam penggunaan dan pengajaran tetapi juga cakap dalam memberi tahu orang-orang lain bagaimana seharusnya bahasa Inggris diajarkan”. Beragamnya konteks penggunaan bahasa Inggris di seluruh dunia menuntut perhatian saksama pada situasi sebelum membuat generalisasi pukul rata tentang berlakunya satu dari dua model yang ada, ESL atau EFL.
Imperialisme Linguistik dan Hak Bahasa
Permasalahan pokok dalam debat imperialisme linguistik adalah penurunan nilai, jika bukannya genosida bahasa-bahasa asli melalui penyebaran kolonial bahasa Inggris. Ketika para guru bepergian ke penjuru-penjuru jauh dunia dan mengajarkan bahasa Inggris, salah satu ajaran utama kita haruslah menghormati kepada bahasa-bahasa dan budaya-budaya siswa kita.
Kebijakan Bahasa dan Debat “Hanya bahasa Inggris”
Satu lagi manifestasi dari wilayah sosial politik pemerolehan bahasa kedua dijumpai dalam kebijakan bahasa di seluruh dunia. Dalam analisis final, “sejarah mengindikasikan bahwa membatasi hak bahasa bisa memecah belah dan bisa mengiring ke kecondongan segregasionis di dalam sebuah masyarakat.
H.    Bahasa, Pemikiran, dan Budaya
Tak ada diskusi tentang variable-variabel budaya dalam pemerolehan bahasa kedua yang lengkap tanpa pembahasan hubungan antara bahasa dan pemikiran. Kita menyaksikan dalam kasus pemerolehan bahasa pertama bahwa perkembangan kognitif dan perkembangan linguistik berjalan seiring, keduanya saling berinteraksi dan saling membentuk. Lazim teramati bahwa cara menyatakan sebuah ide atau “fakta” mempengaruhi cara kita merumuskan ide tersebut. Di sisi lain, banyak dari ide, permasalahan, penciptaan, dan penemuan kita melahirkan kebutuhan untuk kata-kata baru.
Membingkai Semesta Konseptual Kita
Kata-kata membentuk hidup kita. Dunia iklan adalah contoh telak penggunaan bahasa untk membentuk, membujuk, dan mencegah.
Eufimisme melimpah ruah di budaya Amerika di mana beberapa pemikiran tertentu ditabukan dan kata-kata tertentu berkonotasi sesuatu yang kurang diinginkan. Para politikus baru-baru ini memutuskan frase “pemotongan pajak” tak mendapatkan simpati sebanyak “pengurangan pajak”.
Buku tajam George Lakoff (2004) tentang pembingkaian mengingatkan kita tentang pentingnya bahasa dan label-label verbal dalam membentuk cara orang berpikir. Lakoff secara meyakinkan memperlihatkan bagaimana retorika politik secara cermat dibingkai untuk memantik citra dan perasaan positif. Kita adalah peleburan kompleks bingkai-bingkai. Banyak dari komposisi hierarki-hierarki konseptual itu dibingkai dengan lambang-lambang linguistik-kata, frase, dan asosiasi verbal lain.
Kumpulan kata bukanlah satu-satunya kategori linguistik yang mempengaruhi pemikiran. Cara sebuah kalimat disusun akan mempengaruhi nuansa-nuansa makna. Elizabeth Loftus (1976) menemukan bahwa perbedaan-perbedaan tak kentara dalam struktur pertanyaan bisa mempengaruhi jawaban yang diberikan seseorang. Budaya betul-betul merupakan bagian integral dari interaksi antara bahasa dan pemikiran. Pola-pola budaya kognisi dan kebiasaan kadang kala secara eksplisit terkodekan dalam bahasa. Gaya-gaya wacana konversasional, misalnya, mungkin merupakan sebuah faktor bahasa. Simak “keterus-terangan” wacana sejumlah bahasa: di Amerika Serikat, misalnya, percakapan kasual disebut kurang terbuka dan lebih eentingkan jaim ketimbang percakapan di Yunani (Kakava, 1995), dan dengan demikian sebuah percakapan Yunani mungkin lebih konfrontasional ketimbang sebuah perakapan di Amerika Serikat. Di Jepang, sifat pertalian dari teman bicara seseorang hamper selalu diungkapkan secara eksplisit, baik verbal dan/atau nonverbal. Barangkali bentuk-bentuk itu membentuk persepsi seseorang terhadap orang lain dalam kaitannya dengan diri sendiri.

Hipotesis Whorfian
Whorf (1956, h. 212-214) merangkumkan hipotesis tersebut:
Sistem linguistik yang melatarbelakangi  (dengan kata lain, tata bahasa) setiap bahasa tidak semata-mata sebuah instrumen reproduksi untuk menyuarakan ide-ide tetapi agaknya sistem itulah pembentuk ide-ide, program dan panduan untuk aktivitas mental seseorang, untuk analisis kesannya, untuk sintesis pertukaran stok mentalnya. Kita menganalisis sifat dasar mengikuti jalur yang sudah digariskan bahasa asli kita. Kita membedah sifat dasar, menatanya menjadi konsep-konsep, dan menyandangkan signifikansi seperti yang kita lakukan, sebagian besar karena kita adalah pihak-pihak yang bersepakat untuk menatanya dengan cara ini- sebuah kesepakatan yang bertahan di seluruh komunitas wicara kita dan dikodifikasi dalam pola bahasa kita.
Para guru bahasa saat ini telah benar-benar menganut pandangan Hipotesis Whorfian yang lebih moderat, tak lain karena bertumpuknya bukti interaksi bahasa dan budaya. Dengan semangat orang-orang yang sudah membeberkan sifat kemitosan dari banyak klaim tentang determinisme linguistik, Ronald Wardhaugh (1976, h. 74) menawarkan alternatif berikut untuk pandangan kuat Hipotesis Whorfian. Kesimpulan paling valid untuk semua studi semacam itu adalah bahwa mungkin kiranya bicara tentang apa pun dalam bahasa apa pun selama si penutur bersedia menggunakan penyampaian tak langsung dalam derajat tertentu. Setiap bahasa alamiah menyediakan sebuah bahasa untuk bicara tentang bahasa lain, yaitu metabahasa, maupun sebuah perkakas yang sepenuhnya memadai untuk melakukan pengamatan jenis apa saja yang perlu dibuat tentang dunia. Jika demikian kasusnya, setiap bahasa alamiah pastilah sebuah sistem yang sangat kaya yang siap membuat para penuturnya mengatasi kecenderungan yang ada.
Maka, sekalipun beberapa aspek bahasa tampaknya memberi kita kerangka pikir kognitif potensial kita juga bisa mengenali bahwa melalui bahasa dan budaya, sejumlah property universal mengikat kita bersama di satu dunia. Belajar berpikir dalam bahasa lain mungkin mensyaratkan penguasaan bahasa itu secara memadai, tetapi pada umumnya pembelajar bahasa kedua tak perlu belajar berpikir dari awal lagi. Seperti dalam setiap pengalaman pembelajaran yang lain, pembelajar bahasa kedua bisa memanfaatkan kegunaan positif pengalaman-pengalaman sebelumnya untuk memudahkan proses pembelajaran dengan mempertahankan apa yang valid dan berharga untuk pembelajaran budaya kedua dan pembelajar bahasa kedua.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Budaya mengatur perilaku kita dalam kelompok, menjadikan kita peka terhadap persoalan status, dan membantu kita mengetahui apa yang orang lain harapkan dari kita dan apa yang akan terjadi sekiranya kita tak memenuhi harapan mereka. Para pembelajar bahasa kedua memetik manfaat dari sikap positif dan bahwa Sikap negatif mungkin menyebabkan melemahnya motivasi karena melemahnya masukan dan interaksi kegagalan meraih kecakapan.
Orang-orang yang berada di sebuah  budaya kedua awalnya mungkin nyaman dan terhibur dengan lingkungan sekitar yang “eksotis”. Sepanjang mereka bisa secara perseptual menyaring lingkungan sekitar mereka dan menginternalisasi lingkungan itu dalam pandangan mereka sendiri, mereka merasa nyaman. Begitu kebaruan itu luntur dan kontradiksi yang bertumpuk mengganggu pikiran dan perasaan, mereka menjadi terdisorientasi.
Sekalipun beberapa aspek bahasa tampaknya memberi kita kerangka pikir kognitif potensial kita juga bisa mengenali bahwa melalui bahasa dan budaya, sejumlah property universal mengikat kita bersama di satu dunia. Seperti dalam setiap pengalaman pembelajaran yang lain, pembelajar bahasa kedua bisa memanfaatkan kegunaan positif pengalaman-pengalaman sebelumnya untuk memudahkan proses pembelajaran dengan mempertahankan apa yang valid dan berharga untuk pembelajaran budaya kedua dan pembelajar bahasa kedua.

B.     Saran
Sebuah materi yang esensial diperlukan pemahaman khusus, jadi diharapkan keseriusannya dalam materi ini dan rajin melatih diri untuk mempelajarinya agar dapat memahaminya. Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan.


DAFTAR PUSTAKA

Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa Edisi Kelima. Jakarta: Pearson Education.