Saturday, January 9, 2016

Resensi Linguistik Umum



PENGANTAR LINGUISTIK
RESENSI
“LINGUISTIK UMUM”


OLEH:


NURHIDAYAH
1551040039

KELAS C
PEND. BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2015





KATA PENGANTAR


Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan resensi buku yang berjudul “Linguistik Umum”. Penulisan resensi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Linguistik.
Pada kesempatan ini penyusun ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah, atas bimbingan dan arahan dalam penulisan resensi ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya resensi ini.
Penulis mengharapkan, melalui membaca resensi ini dapat memberi manfaat bagi kita dalam hal ini dapat menambah wawasan kita khususnya bagi penulis. Memang penulisan resensi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan kritik dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

                                                                                                Makassar, 2 Januari 2016


                                                                                                            Penulis









A.    PENDAHULUAN
Di abad yang semakin modern ini, orang yang berminat pada kajian tentang ilmu bahasa (linguistik) semakin banyak. Bidang linguistik merupakan salah satu ilmu yang khusus mengkaji segala aspek yang berkenaan dengan kebahasaan. Mempelajari linguistik berarti membuka gerbang pertama menuju berbagai pintu masuk pada bidang kajian kebahasaan dan ilmu-ilmu lainnya.
Kita hidup dalam dunia kata-kata. Kita berbicara kepada teman, perkumpulan, guru, atau kepada orang lain. Kita berbicara dengan cara bertemu muka atau melalui telepon. Kebanyakan orang melakukan tanggapan dengan berbicara. Dengan demikian, setiap masalah dalam kehidupan kita tidak pernah lepas dari menggunakan kata-kata. Kita juga kadang-kadang berbicara meskipun tidak ada orang lain.
Sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki manusia, bahasa dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Kajian secara internal, artinya, pengkajian itu hanya dilakukan terhadap stuktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologisnya, morfologisnya, atau struktur sintaksisnya. Sebaliknya, kajian secara eksternal, berarti kajian itu dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh para penuturnya di dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan. Pengkajian secara eksternal ini akan menghasilkan rumusan-rumusan atau kaidah-kaidah yang berkenaan dengan penggunaan bahasa tersebut dalam segala kegiatan manusia di dalam masyarakat. Jadi, penelitian atau kajian bahasa secara eksternal ini melibatkan dua disiplin ilmu atau lebih, sehingga wujudnya berupa ilmu antar disiplin yang namaya merupakan gabungan dari disiplin-disiplin ilmu yang bergabung itu.
Kajian linguistik yang bersifat yang bersifat antardisiplin ini selain untuk merumuskan kaidah-kaidah teoretis antar disiplin, juga bersifat terapan. Artinya, hasilnya digunakan untuk memecahkan dan mengatasi masalah-masalah yang ada di dalam kehidupan praktis kemasyarakatan. Berbeda dengan kajian secara internal yang terutama hanya menyusun kaidah atau teori linguistik murni.

B.     ISI BUKU
I. IDENTITAS BUKU

Judul Buku       : Linguistik Umum
Pengarang         : Prof. Dr. Achmad HP. dan Dr. Alek Abdullah
Penyunting       : Novietha I. Sallama
Penerbit             : Penerbit Erlangga
Tahun Terbit     : 2013
Kota Terbit       : Jakarta
Ukuran Buku    : 25 cm x 17,5 cm
Tebal Buku       : x + 206 halaman
ISBN                : 978-602-2413-57-8
Harga Buku      : Rp. 81.000.00


















II. RINGKASAN BUKU
BAB I HAKIKAT BAHASA
Dalam bab ini diuraikan dan dibahas hakikat bahasa dan karakteristik atau ciri-ciri bahasa. Pemahaman hakikat bahasa dan seluk-beluk bahasa sebagai salah satu alat komunikasi terbaik yang dimiliki oleh manusia sehingga membedakannya dengan makhluk lain, akan memudahkan kita bertugas sebagai pendidik dalam melaksanakan pengajaran. Dengan memahami seluk beluk bahasa, kita akan lebih mudah membina dan mengembangkan berbagai keterampilan berbahasa.
Penguasaan terhadap bahasa, melebihi dari atribut manapun, membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Untuk memahami kemanusiaan kita, orang harus memahami atau mengetahui bahasa yang menjadikan kita sebagai manusia. Bahasa adalah sistem lambing bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi dan mengidentifikasi diri.
Ciri-ciri bahasa
Bahasa adalah Sebuah Sistem
Bahasa bukanlah sebuah sejumlah unsur yang terkumpul secara acak atau secara tak beraturan. Unsur-unsur bahasa diatur seperti pola-pola yang berulang, sehingga kalau salah satu unsur saja tidak muncul, keseluruhan unsur itu dapat diramalkan (diduga) kehadirannya. Dalam bahasa terdapat satuan-satuan yang berkombinasi dengan aturan-aturan yang dapat diramalkan atau dapat dikatakan lebih jauh bahwa bahasa itu sistematis.
Bahasa sebagai Lambang
Lambang atau simbol tidak tidak bersifat langsung atau alamiah. Lambang menandai sesuatu yang lain secara konvensional, tidak secara alamiah dan langsung.
Bahasa sebagai Bunyi
Bahwa hakikat bahasa adalah bunyi atau bahasa lisan, dapat kita amati sampai kini banyak sekali bahasa di dunia ini, termasuk bahasa Indonesia, yang hanya mempunyai bahasa lisan, karena bahasa-bahasa tersebut tidak atau belum mengenal sistem aksara.
Bahasa Itu Bermakna
Bahasa itu adalah sistem lambang ynag berwujud bunyi. Sebuah lambang tentu melambangkan sesuatu, yaitu suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau pikiran. Dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna. Karena bahasa itu bermakna, maka segala ucapan yang tidak bermakna dapat disebut bukan bahasa.
Bahasa Itu Arbitrer
Yang dimaksud dengan istilah arbitrer adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang terkandung dalam lambang tersebut.
Bahasa Itu Konvensional
Penggunaan suatu lambang untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Kekonvensionalan bahasa terletak pada kepatuhan para penutur bahasa untuk menggunakan lambang itu sesuai dengan konsep yang dilambangkannya.
Bahasa Itu Produktif
Bahasa dikatakan produktif, maksudnya meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu.
Bahasa Itu Unik
Bahasa dikatakan bersifat unik, maka artinya setiap bahasa mempunyai ciri khas masing-masing. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, atau sistem-sistem lainnya.
Bahasa Itu Universal
Bahasa bersifat universal, artinya ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Ciri universal dari bahasa yang paling umum adalah bahasa mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan.
Bahasa Itu Bervariasi
Setiap bahasa digunakan oleh sekelompok orang yang termasuk dalam suatu masyarakat bahasa. Oleh karena latar belakang dan lingkungannya yang tidak sama, maka bahasa yang mereka gunakan menjadi bervariasi atau beragam.
Bahasa Itu Identitas suatu Kelompok Sosial
Di antara ciri-ciri budaya yang ada, bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol, karena lewat bahasa tiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok lain. Dalam kelompok tertentu, orang menganggap bahasa sebagai identitas sosial lebih penting daripada bahasa sebagai sistem.

BAB II STUDI BAHASA
Bab ini membahas dan menjelaskan pengertian tentang studi bahasa, linguistik sebagai ilmu, keilmuan linguistik, pembidangan linguistik, dan manfaat linguistik. Pemahaman akan studi bahasa membantu kita memahami seluk beluk bahasa. Studi bahasa merupakan suatu kajian ilmu yang memerlukan syarat dan prosedur keilmuan. Sebagai suatu studi, linguistik membagi objek telaahnya ke dalam berbagai pembidangan. Gambaran studi tentang bahasa, memudahkan kita mempelajari bahasa baik dari struktur internnya bidang interdisiplinnya.
Pada dasarnya semua ilmu, termasuk ilmu linguistik, telah mengalami tiga tahap perkembangan ilmu. Tahap pertama, yaitu spekulasi. Tahap kedua, adalah tahap observasi dan klasifikasi. Tahap ketiga adalah tahap perumusan teori.
Pembidangan Linguistik
Mengingat bahwa objek linguistik, yaitu bahasa, merupakan fenomena yang tidak dapat dilepaskan dari segala kegiatan bermasyarakat yang sangat luas, maka pembidangan linguistik itu pun menjadi sangat banyak.
Berdasarkan cakupan objek kajiannya, dibedakan menjadi linguistik umum dan linguistik khusus. Linguistik umum adalah linguistik yang berusaha mengkaji kaidah-kaidah bahasa secara umum, sedangkan linguistik khusus berusaha mengkaji kaidah-kaidah bahasa yang berlaku pada bahasa tertentu. Kajian umum dan khusus ini dapat dilakukan terhadap keseluruhan sistem bahasa atau hanya pada satu tataran dalam sistem bahasa itu.
Berdasarkan kurun waktu objek kajiannya, dibedakan adanya linguistik sinkronis dan linguistik diakronis. Linguistik sinkronis mengkaji bahasa pada kurun waktu tertentu, sedangkan linguistik diakronis mengkaji bahasa pada masa yang tidak terbatas.
Berdasarkan hubungan dengan faktor di luar bahasa, objek kajiannya dibedakan menjadi linguistik mikro dan linguistik makro. Studi linguistik mikro sesungguhnya merupakan studi dasar linguistik, sebab yang dipelajari adalah struktur internal bahasa itu. Sedangkan linguistik makro, yang menyelidiki bahasa dalam kaitannya dengan faktor-faktor di luar bahasa, lebih banyak membahas faktor di luar bahasa daripada struktur internal bahasa.
Berdasarkan tujuan kajiannya, dibedakan antara linguistik teoretis dan linguistik terapan. Linguistik teoretis berusaha mengadakan penyelidikan terhadap bahasa-bahasa atau juga terhadap hubungan bahasa dengan faktor-faktor yang berada di luar bahasa untuk menemukan kaidah-kaidah yang berlaku dalam objek kajiannya itu. Linguistik terapan berusaha mengadakan penyelidikan terhadap bahasa atau hubungan bahasa dengan faktor-faktor di luar bahasa untuk memecahkan masalah-masalah praktis yang terdapat di dalam masyarakat.
Berdasarkan aliran atau teori yang digunakan dalam penyelidikan bahasa dikenal adanya linguistik tradisional, linguistik struktural, linguistik transformasional, linguistik semantik generatif, linguistik relasional, dan linguistik sistemik. Bidang sejarah linguistik ini berusaha menyelidiki perkembangan seluk beluk ilmu linguistik dari masa ke masa serta mempelajari pengaruh ilmu-ilmu lain, dan pengaruh berbagai pranata masyarakat terhadap linguistik sepanjang masa.

BAB III DASAR-DASAR FONOLOGI
Dalam bab ini diuraikan dan dibahas pengertian dan penjelasan tentang dasar-dasar fonologi, terutama fonetik, jenis fonetik, alat bicara, proses fonasi, klasifikasi bunyi bahasa, diftong, unsur suprasegmental, tulisan fonetis, distribusi fonem, ejaan, tanda baca, dan analisis fonemik.
Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa ini disebut fonologi. Fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secara umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memerhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut berfungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memerhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.
Jenis-jenis Fonetik
Fonetik terbagi atas tiga jenis, yaitu fonetik organis yang mempelajari bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan oleh alat-alat bicara, fonetik akustis yang mempelajari bunyi bahasa menurut aspek-aspek fisiknya, dan fonetik auditoris yang mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita.
Terjadinya Bunyi Bahasa
Udara dipompakan dari paru-paru melalui batang tenggorok ke pangkal tenggorok, yang di dalamnya terdapat pita suara. Pita suara itu  harus terbuka supaya udara bisa keluar, melalui rongga mulut atau rongga hidung atau melalui kedua-duanya. Kemudian udara diteruskan ke udara bebas.
Klasifikasi Bunyi Bahasa
Dalam studi fonetik, secara umum bunyi bahasa dapat dikelompokkan ke
dalam tiga kelompok bunyi yaitu: bunyi vokoid, bunyi kontoid, dan bunyi semi vokoid. Bunyi vokoid dihasilkan dengan udara yang keluar dari paru-paru tanpa adanya hambatan. Proses terjadinya vokal, selain oleh hambatan udara, dipengaruhi pula oleh gerakan bibir dan gerakan lidah. Bunyi kontoid atau sering disebut konsonan adalah bunyi bahasa yang dihasilkan oleh aliran udara yang menemui berbagai hambatan atau penyempitan. Semi vokoid sering disebut semi vokal. Bunyi ini dikategorikan ke dalam bunyi ke dalam bunyi semi vokal karena dapat berstatus konsonan, dan juga berstatus vokal.
Ketika memroduksi bunyi diftong atau vokal rangkap posisi lidah pada bagian awal dan akhir tidak sama. Arus ujaran merupakan suatu runtunan bunyi yang sambung-menyambung terus-menerus diselang-selingi dengan jeda singkat atau jeda agak singkat, yang disertai dengan keras lembut bunyi, tinggi rendah bunyi, panjang pendek bunyi, dan sebagainya.

BAB IV DASAR-DASAR FONOLOGI FONEMIK
Bab ini menguraikan dan membahas pengertian dan penjelasan tentang dasar-dasar fonologi (fonemik). Dengan uraian dan pembahasan ini mahasiswa diharapkan memiliki pemahaman yang benar tentang fonem, identifikasi fonem, klasifikasi fonem, khazanah fonem, alofon, perubahan fonem, fonem, dan ejaan serta fonotaktik.
Bunyi bahasa yang dapat kita hasilkan sebenarnya jumlahnya sangat banyak, dan satu sama lain sebenarnya berbeda. Bagi orang awam, perbedaan itu mungkin tidak seluruhnya dapat dirasakan, selama perbedaan itu tidak fungsional, artinya tidak membedakan makna bahasanya. Bagi penutur asli bahasa Indonesia perbedaan bunyi dari fonem /i/ pada suku kata kedua dan ketiga dari pemimpin tidak begitu penting. Perbedaan itu tidak mereka sadari. Mereka akan menyadarinya apabila perbedaan itu membedakan makna. Misalnya antara /i/ dan /e/ pada pasangan kata bila dan bela.
Pemahaman bunyi-bunyi yang fungsional dalam suatu bahasa sangat penting, karena akan memudahkan kita mengetahui berapa banyak jumlahnya bunyi yang fungsional itu dan bagaimana bunyi-bunyi tadi membentuk konstruksi yang lebih besar dalam suatu ujaran.
Objek kajian fonemik adalah fonem, yakni bunyi-bunyi bahasa yang membedakan makna kata. Untuk menentukan apakah sebuah bunyi itu fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan kata lain yang mirip. Adapun bunyi-bunyi yang merupakan realisasi dari sebuah fonem, disebut alofon.
Kita mengenal adanya fonem segmental dan fonem suprasegmental. Fonem segmental terdiri atas vokal dan konsonan. Ciri dan karakteristik vokal maupun konsonan ini sama dengan klasifikasi bunyi vokal maupun konsonan. Dalam bahasa Indonesia unsur suprasegmental tampaknya tidak bersifat fonemis maupun morfemis. Namun, intonasi mempunyai peranan pada tingkat sintaksis. Ucapan sebuah fonem dapat berbeda-beda sebab sangat tergantung pada lingkungannya, atau pada fonem-fonem lain yang berada di sekitarnya. Beberapa perubahan fonem yang epentesis antara lain asimilasi dan disimilasi, netralisasi dan arkifonem, umlaut, ablaut dan harmoni vokal, kontraksi dan hilangnya bunyi, metatesis.

BAB V DASAR-DASAR MORFOLOGI
Mengenai pengertian bahasa sebagai suatu sistem, sebagaimana halnya sistem yang lain, ditandai oleh pengulangan unsur dan peristiwa, yang pada akhirnya tampak sebagai pola-pola. Pemolaan itu kita jumpai dalam pembentukan bunyi bahasa, pengelompokan bunyi bahasa menjadi fonem, pembentukan suku kata, pembentukan kata, pembentukan kelompok kata atau frase, penyusunan kalimat, dan seterusnya. Morfologi sebagai bagian dari ilmu kebahasaan, mempelajari struktur intern kata, tata kata, atau tata bentuk. Dalam bab ini diuraikan dan dibahas tentang dasar-dasar morfologi, morfem, identifikasi morfem, morfem dan alomorf, jenis morfem, kata, dan proses pembentukan kata.
Morfem-morfem dalam setiap bahasa dapat digolongkan berdasarkan beberapa kriteria. Antara lain berdasarkan kebebasannya, keutuhannya, dan maknanya. Pada umumnya morfem dibedakan atas morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas adalah morfem yang dapat muncul dalam ujaran tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam ujaran. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, bentuk pukul, ambil, potong, dan gali adalah morfem bebas. Sebaliknya, morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat muncul dalam ujaran tanpa digabung dulu dengan morfem lain. Semua imbuhan (afiks) dalam bahasa Indonesia adalah morfem terikat.
Klasifikasi morfem atas, morfem utuh, dan morfem terbagi berdasarkan atas bentuk formal yang dimiliki morfem tersebut, yaitu apakah merupakan satu kesatuan yang utuh atau merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi, karena disisipi morfem lain. Contoh morfem utuh, seperti {meja}, {kursi}, {kecil}, {laut}, dan {pensil}.
Berdasarkan jenis fonem yang membentuknya morfem dibedakan atas morfem segmental dan morfem suprasegmental. Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lari}, {kah}, {kali}, dan {ter}. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental.
Morfem bermakna leksikal adalah morfem-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dulu dengan morfem lain. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, morfem-morfem seperti {kolam}, {pasang}, {lupa}, dan {marah} adalah morfem bermakna leksikal. Oleh karena itu, morfem-morfem seperti ini, dengan sendirinya sudah dapat digunakan secara bebas dalam ujaran dan mempunyai kedudukan yang otonom. Morfem tak bermakna leksikal tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri. Morfem ini akan mempunyai makna dalam gabungannya dengan bentuk lain dalam ujaran. Yang termasuk morfem tak bermakna leksikal dalam bahasa Indonesia adalah morfem-morfem afiks, seperti {ber-}, {me-}, dan {ter-}.
Morfem dasar, bentuk dasar (lebih umum dasar saja), pangkal, dan akar adalah empat istilah yang biasa digunakan dalam kajian morfologi. Namun, kadang-kadang istilah-istilah ini digunakan dengan pengertian yang kurang cermat. Pengertian pangkal digunakan untuk menyebut bentuk dasar dalam proses infleksi atau proses pembubuhan afiks inflektif. Dalam bahasa Indonesia kata menangisi bentuk pangkalnya adalah tangisi dan morfem {me-} adalah sebuah afiks inflektif. Akar digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh lagi. Artinya, akar itu adalah bentuk yang tersisa setelah semua afiksnya ditanggalkan.
Para ahli bahasa struktural, terutama penganut aliran Bloomfield, berpendapat bahwa kata merupakan satuan bebas terkecil. Aliran Generatif Transformasi, yang dicetuskan dan dikembangkan oleh Chomsky, menyatakan bahwa kata adalah dasar analisis kalimat dan hanya menyajikan kata itu  dengan symbol-simbol V (verba), N (nomina), A (adjektiva), dan sebagainya.

Klasifikasi kata disebut juga penggolongan kata, atau penjenisan kata. Dalam sejarah linguistik klasifikasi kata selalu, menjadi salah satu topik pembicaraan, sejak zaman Aristoteles hingga kini, termasuk juga dalam kajian linguistik Indonesia. Pembentukan kata sering disebut juga proses morfologi, yaitu proses terjadinya kata yang berasal dari morfem dasar melalui perubahan morfemis.

BAB VI DASAR-DASAR SINTAKSIS
Morfologi bersama-sama sintaksis merupakan bagian-bagian dari subsistem gramatika atau tata bahasa. Jika dalam morfologi yang dikaji adalah struktur intern kata, maka dalam sintaksis yang dikaji adalah struktur kalimat. Dalam sintaksis kata menjadi satuan yang terkecil yang membentuk satuan-satuan gramatikal yang lebih besar. Dalam prakteknya, sintaksis membatasi kajiannya sampai dengan kalimat. Maksudnya, sintaksis menganggap atau memperlakukan kalimat sebagai satuan terbesar. Meskipun demikian, perlu disadari bahwa dalam pertuturan, kalimat bukanlah satuan yang besar. Kalimat menjadi bagian dari satuan yang lebih besar, yaitu wacana. Secara berturut-turut dalam bab ini dibahas alat sintaksis, satuan sintaksis, kata sebagai satuan sintaksis, frase sebagai satuan sintaksis, klausa sebagai satuan sintaksis, kalimat sebagai satuan sintaksis, fungsi sintaksis, dan peran sintaksis.
Alat sintaksis merupakan bagian dari kemampuan mental penutur untuk dapat menentukan apakah urutan kata, bentuk kata, dan unsur lain yang terdapat dalam ujaran itu membentuk kalimat atau tidak, atau kalimat yang didengar atau dibacanya dapat diterima atau tidak. Terdapat sejumlah alat sintaksis yang mengatur unsur-unsur bahasa sehingga terbentuk satuan bahasa yang disebut kalimat.Alat-alat sintaksis itu adalah urutan, bentuk kata, intonasi, dan parikel atau kata tugas. Dalam bahasa pada umumnya peranan urutan sangat penting, karena ikut menentukan makna gramatikal.
Bentuk kata sebagai alat sintaksis biasanya diperlihatkan oleh afiks (imbuhan). Afiks-afiks itu memperlihatkan makna gramatikal yang sangat beragam tergantung pada bahasanya. Makna gramatikal itu antara lain jumlah, orang, jenis, kala, aspek, modus, pasif, dan diatesis. Partikel atau kata tugas sebagai salah satu alat sintaksis mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dari kategori kata yang lain. Ciri-ciri itu antara lain jumlahnya terbatas, keanggotaannya boleh dikatakan tertutup, kebanyakan tidak mengalami proses morfologis, biasanya memiliki makna gramatikal dan bukan leksikal, dan terdapat dalam semua wacana.
Ada dua macam kata, yaitu yang disebut kata penuh dan kata tugas. Kata penuh adalah kata yang secara leksikal memiliki makna, mempunyai kemungkinan untuk mengalami proses morfologi, merupakan kelas terbuka, dan dapat berdiri sendiri sebagai sebuah satuan tuturan. Sedangkan yang disebut kata tugas adalah kata yang secara leksikal tidak mempunyai makna, tidak mengalami proses morfologi, merupakan kelas tertutup, dan di dalam pertuturan dia tidak dapat berdiri sendiri.
Yang merupakan kata penuh adalah kata-kata yang termasuk kategori nomina, verba, adjektiva, adverbial, dan numeralia. Sedangkan yang termasuk kata tugas adalah kata-kata yang berkategori preposisi dan konjungsi. Sebagai kata penuh, kata-kata yang berkategori nomina, verba, dan adjektiva memiliki makna leksikal masing-masing, misalnya kata kucing dan masjid, memiliki makna ‘sejenis binatang’ dan ‘tempat ibadah umat Islam’.
Frase adalah suatu konstruksi atau satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih, yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa. Yang dimaksud dengan tidak berciri klausa artinya bahwa konstruksi frase itu tidak memiliki unsur predikat, sehingga sering dikatakan tidak berstruktur predikatif. Unsur-unsur yang membentuk frase adalah morfem bebas dan bukan morfem terikat.
Klausa adalah satuan gramatikal yang disusun oleh kata dan atau frase, dan mempunyai satu predikat. Juga dapat dikatakan bahwa frase adalah gabungan dua kata atau lebih yang memiliki struktur subyek dan predikat. Subyek adalah bagian klausa yang berwujud nomina atau frase nominal, yang menandai apa yang dinyatakan oleh pembicara. Yang dimaksud dengan predikat adalah bagian klausa yang menandai apa yang dikatakan oleh pembicaara tentang subyek. Predikat dapat berwujud nomina, verba, adjektiva, numeralia, pronominal, atau frase preposisional.
Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif dapat berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final, dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa. Dalam ragam tulis kalimat itu sebagian besar ditandai oleh huruf capital di awalnya dan oleh tanda akhir seperti titik, tanda Tanya, atau tanda seru di akhir kalimatnya. Posisi-posisi satuan sintaksis, yang juga disebut gatra merujuk kepada fungsi gramatikal. Fungsi gramatikal menjadi wadah bagi setiap satuan sintaksis, serta bagi makna situasional satuan sintaksis itu.
 Secara umum terdapat empat fungsi sintaksis yaitu S (subyek), P (predikat), O (obyek), dan K (keterangan). Jenis peran itu banyak. Beberapa diantaranya antara lain pelaku atau agentif, tujuan atau obyektif, penerima atau benefaktif, penyebab atau kausatif, alat atau instrumental, waktu atau temporal, tempat atau lokatif, tindakan atau aktif, sandangan atau pasif, dan pemilikan atau posesif.

BAB VII DASAR-DASAR SEMANTIK
Pemahaman akan hakikat semantik membantu kita dalam memahami seluk beluk makna dalam bahasa. Pemahaman tentang ilmu semantik merupakan salah satu dari kompetensi ilmu bahasa. Sebagai salah satu bidang kajian dalam linguistik, semantik menjadi syarat dalam memahami bahasa lebih lanjut, terutama dalam kaitan dengan studi wacana dan sosiolinguistik. Dalam bab ini dikemukakan beberapa konsep tentang hakikat semantik, ruang lingkup, istilah semantik, semantik dan linguistik, unsur-unsur semantik, dan perubahan makna.
Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics, dari bahasa Yunani sema (nomina) yang berarti ‘tanda’ atau dari verba samaino yang berarti ‘menandai’, ‘berarti’. Istilah tersebut digunakan para pakar bahasa untuk menyebut bagian ilmu bahasa yang mempelajari makna. Semantik merupakan bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi, sintaksis (tata bahasa), dan semantik.
Makna dapat diteliti melalui fungsi dalam pemahaman fungsi hubungan antarunsur. Dengan demikian dikenal makna leksikal (makna leksem itu sendiri) dan makna gramatikal (hubungan antarunsur secara fungsional). Demikian pula ada makna kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana sehingga ruang lingkup semantik dapat menjangkau semua tataran bahasa, fonologi morfologi, sintaksis, dan wacana, bahkan teks.
Makna menurut Palmer hanya menyangkut intrabahasa. Sejalan dengan pendapat tersebut, Lyons menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari kata-kata lain. Arti dalam hal ini menyangkut makna leksikal dari kata-kata itu sendiri, yang cenderung terdapat di dalam kamus, sebagai leksem.
Dalam perkembangannya teori tanda kemudian dikenal dengan semiotika, yang dibagi dalam tiga cabang, yakni semantik, sintaksis, dan pragmatik. Semantik berhubungan dengan tanda-tanda; sintaksis berhubungan gabungan tanda-tanda (susunan tanda-tanda); sedangkan pragmatik berhubungan dengan asal-usul, pemakaian, dan akibat pemakaian tanda-tanda di dalam tingkah laku berbahasa.
Menurut Plato, kata adalah di dalam suatu bahasa, sedangkan makna adalah obyek yang kita hayati di dunia, yang berupa rujukan yang ditunjukkan oleh lambang tersebut. Hubungan lambang dengan bahasa dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang terdiri atas tanda dan lambang.
Makna leksikal secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yakni makna dasar dan makna perluasan, atau makna denotatif dan makna konotatif atau emotif. Hubungan antara kata, makna kata, dan dunia kenyataan disebut hubungan referensial. Hubungan yang terdapat antara kata sebagai satuan fonologis, yang membawa makna, makna atau konsep yang dibentuk oleh kata, dan dunia kenyataan yang ditunjuk (diacu) oleh kata, merupakan hubungan referensial.
Makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa secara tersendiri, lepas dari konteks. Misalnya, kata culture (bahasa Inggris), yang berarti budaya di dalam kamus Shadily & Echols disebutkan sebagai nomina (kata benda) dan artinya, kesopanan, kebudayaan, pemeliharaan biakan (biologi). Makna gramatikal adalah makna yang menyangkut hubungan intra bahasa atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata di dalam kalimat. Makna ideasional adalah makna yang muncul sebagai akibat penggunaan kata yang berkonsep. Kata-kata yang dapat dicari konsepnya atau ide yang terkandung di dalam satuan kata-kata, baik bentuk dasar maupun turunan.

BAB VIII DASAR-DASAR PSIKOLINGUISTIK
Proses bagaimana seorang penutur mengubah/mengolah konsep mental, memahami (receptive), memroduksi ujaran, (speech production), dan pemerolehan bahasa (language acqusition). Dari ketiga aspek penting dalam kajian bidang psikolinguistik tersebut, jika dilakukan pengkajian atau penelitian, aspek produksi ujaran dianggap lebih sulit daripada meneliti persepsi atau pemahaman ujaran karena kesulitan dalam mengonstruksi tugas-tugas eksperimen yang dapat mengungkapkan langkah-langkah rumit dalam prosesnya. Oleh sebab itu psikolinguistik mengkaji bagaimana proses produksi ujaran, proses memahami ujaran dan pemerolehan bahasa. Pemahaman bahasa melalui perilaku subyek atau penutur bahasa menjadi subkajian yang penting dalam bidang psikolinguistik. Aspek lain yang turut memberi kontribusi dalam menciptakan kelancaran pemerolehan, produksi, dan pemahaman bahasa ialah kelengkapan alat pemerolehan bahasa (LAD) yang menjadi syarat utama untuk mencapai tujuan pembelajaran psikolinguistik. Adapun isi bahasan dalam bab psikolinguistik ini meliputi pengertian psikolinguistik, cabang-cabang psikolinguistik, pemerolehan bahasa, produksi ujaran, hal-hal yang mempengaruhi pemerolehan bahasa, pemahaman kata, pemerolehan fonologi, perkembangan kognitif, dan perkembangan fisik dikaitkan dengan pemerolehan bahasa.
Psikolinguistik adalah psikologi linguistik dan adapula yang menyebutnya sebagai psychology of language (psikologi bahasa). Psikolinguistik merupakan ilmu yang menguraikan proses-proses psikologis yang terjadi apabila seseorang menghasilkan kalimat dan memahami kalimat yang didengarnya waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh manusia.
Menurut Aitchison (1972) bahwa ada tiga hal yang menarik perhatian psikolinguistik, yakni masalah pemerolehan bahasa, hubungan antara pengetahuan bahasa dan penggunaan bahasa, dan menghasilkan dan memahami tuturan. Subdisiplin psikolinguistik tampak seperti berikut:
§  Neuropsikolinguistik berbicara tentang hubungan bahasa dengan otak manusia. Misalnya, otak sebelah manakah yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa? Saraf-saraf apa yang rusak apabila seseorang terkena afasia Broca dan saraf manakah yang rusak apabila terkena afasia Wernicks?
§  Psikolinguistik Eksperimental berbicara tentang eksperimen-eksperimen dalam semua bidang yang melibatkan bahasa dan perilaku berbahasa.
§  Psikolinguistik Terapan berbicara tentang penerapan temuan-temuan keenam subdisiplin psikolinguistik ke dalam bidang-bidang tertentu, seperti psikologi, linguistik, berbicara dan menyimak, pendidikan, pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran membaca, neurologi, psikiatri, dan komunikasi.
Menurut Glason dan Ratner (1998) fokus kajian atau pembahasan dalam psikolinguistik bergerak pada tiga aspek utama, yaitu, persepsi ujaran dan ada juga yang menyebutnya dengan pemahaman ujaran, (Steinberg, Nagata, dan Aline, 2001), produksi ujaran, dan pemerolehan bahasa. Produksi bahasa melibatkan dua aktivitas utama, yaitu perencanaan dan pelaksanaan. Dalam berbicara, misalnya, seorang penutur terlebih dahulu merencanakan bagaimana dia bertutur untuk memengaruhi mental pendengarnya. Kemudian, ia melaksanakannya dengan mengeluarkan segmen bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Produksi ujaran mengkaji masalah bagaimana ujaran dihasilkan sehingga dapat diterima dengan baik oleh pendengar.
Istilah pemerolehan bahasa selalu dibedakan dengan istilah pembelajaran bahasa. Perbedaan ini terletak pada proses penguasaan bahasa itu. Pemerolehan digunakan dalam penguasaan bahasa pertama yang terjadi tanpa kesadaran untuk menguasai kaidah-kaidah bahasa itu secara alamiah tanpa diberi pelajaran khusus, tanpa usaha sadar, dan perhatian terhadap bahasa. Istilah pembelajaran digunakan untuk penguasaan bahasa kedua yang dikuasai secara sadar. Akan tetapi jika penguasaan bahasa sudah tercapai, istilah pemerolehan bahasa kedua muncul, sehingga batas antara keduanya menjadi agak kabur. Pemerolehan bahasa akan menghadapi kenyataan bahwa bahasa dibangun sejak semula oleh setiap anak dengan memanfaatkan aneka kapasitas bawaan sejak lahir dalam interaksinya dengan pengalaman-pengalaman dunia fisik dan sosial.
Perkembangan kognitif anak usia prasekolah, sesuai dengan teori Piaget, berada pada periode praoperasional. Pada masa ini pula kemempuan mengingat, terutama kemampuan mengenal dan mengingat kembali yang mengalami kemajuan pesat. Demikian pula perkembangan bahasa. Pada masa ini pula anak diperkenalkan dengan lembaga formal yaitu Taman Kanak-kanak.
BAB IX DASAR-DASAR WACANA
Pemahaman terhadap wacana akan memudahkan kita memahami bahasa secara lebih luas, bukan hanya dari struktur formal bahasa tetapi juga dari aspek di luar bahasa (konteks). Pemahaman tentang wacana merupakan upaya memahami unsur kebahasaan yang relatif lebih kompleks dan lebih lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraph, hingga karangan utuh. Namun, wacana pada dasarnya juga merupakan unsur bahasa yang bersifat pragmatis. Apalagi pemakaian dan pemahaman wacana dalam komunikasi memerlukan berbagai alat (peranti) yang cukup aspek. Oleh karena itu kajian tentang wacana menjadi “wajib” ada dalam proses pembelajaran bahasa. Tujuannya, tidak lain, untuk membekali pemakai bahasa agar dapat memahami dan memakai bahasa dengan baik dan benar, baik lisan maupun tulisan. Bab ini menguraikan dan menjelaskan mengenai dasar-dasar wacana, aspek wacana, struktur wacana, referensi, inferensi wacana bahasa Indonesia, kedudukan wacana dan unsur-unsur wacana, mengkaji/menganalisis konsep-konsep dasar wacana, aspek wacana, struktur wacana, referensi, dan inferensi wacana.
Wacana ialah satuan bahasa terlengkap, yang dalam hierarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf, atau karangan utuh (buku), yang membawa amanat lengkap. Esensi sebuah wacana tidaklah hanya dipandang sebagai satuan bahasa di atas tataran kalimat. Esensi sebuah wacana dapat dipandang dari sisi komunikasi dan dari sisi maksud komunikasi itu sendiri.
Wacana memiliki dua unsur pendukung utama, yaitu unsur dalam (internal) dan unsur luar (eksternal). Unsur internal berkaitan dengan aspek formal kebahasaan, sedangkan unsur eksternal berkenaan dengan hal-hal di luar wacana itu sendiri. Kedua unsur tersebut membentuk satu kepaduan dalam suatu struktur yang utuh dan lengkap. Unsur eksternal (unsur luar) wacana adalah sesuatu yang menjadi bagian wacana, namun tidak nampak secara eksplisit. Sesuatu itu berada di luar satuan lingual wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal ini terdiri atas implikatur, presuposisi, referensi, inferensi, dan konteks.
Paradigma formalis memandang esensi wacana sebagai satuan bahasa di atas tataran kalimat. Pemberian karakteristik wacana menurut strukturalis terletak pada beberapa dimensi analisis serta unit-unit relasi antarunsur wacana. Menurut paradigma formalis, sebagaimana ditunjukkan oleh Z. harris (1951), dalam karyanya Discourse Analysis, bahwa wacana dibangun oleh unit bahasa yang paling kecil yaitu morfem, yang secara hierarki, membentuk kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana.
Jakobson mengemukakan adanya enam komponen dalam situasi komunikasi yaitu penutur, penerima pesan, kode, pesan, konteks, dan kontak. Dalam interaksi komunikasi, penutur mengirim pesan kepada pesapa. Agar pesan itu dapat dipahami diperlukan konteks yang melibatkan penutur dan penerima pesan.
Pendekatan Pragmatik terhadap wacana didasarkan pertama-tama pada ide ahli filsafat Grice. Konsep-konsep pragmatik adalah kajian tentang tiga konsep dalam interaksi komunikatif yaitu makna, konteks, dan komunikasi. Salah satu jenis pragmatik yang relevan dengan wacana adalah teori kerjasama Grice. Konsep sentral pragmatik Grice adalah makna penutur dan prinsip kerja sama.
Konsep penting pragmatik dari Grice adalah makna penutur. Konsep makna penutur tidak hanya menyangkut perbedaan antara dua jenis makna yaitu antara makna semantis dan makna pragmatis, akan tetapi juga makna yang bersumber pada maksud penutur dalam berkomunikasi. Selanjutnya Grice (1957) memisahkan antara makna non-natural dan makna natural. Makna natural adalah makna yang dikandung oleh satuan lingual misalnya kata, frasa, atau kalimat. Dalam makna natural ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh penyapa. Dalam hal makna non-natural, Schiffrin menafsirkannya sebagai makna yang sepadan dengan maksud komunikasi.
Brown dan Yule mengemukakan bahwa analisis wacana adalah analisis penggunaan bahasa, yang tidak bisa dipisahkan dari fungsinya. Fungsi menurut Brown dan Yule dibedakan atas fungsi transaksional yang menekankan pada isi komunikasi misalnya menyampaikan pengumuman, dan menjelaskan sesuatu, dan fungsi interaksional yang menekankan pada keberlangsungan suatu interaksi/ hubungan timbal balik pelaku komunikasi (misalnya dalam percakapan sehari-hari, wawancara, diskusi, dan tanyajawab).
Implikatur ialah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu “yang berbeda” tersebut adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.
Referensi adalah hubungan antara kata dengan benda (orang, tumbuhan, sesuatu lainnya) yang dirujuknya. Referensi merupakan perilaku pembicara/ penulis. Referensi dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu referensi eksofora, situasional dan referensi endofora, tekstual. Referensi endopora dapat dipilah lagi menjadi dua jenis, yaitu referensi anafora dan referensi katafora.
Inferensi percakapan adalah proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Dengan cara itu, pendengar dapat menduga maksud dari pembicara. Dan dengan itu pula pendengar dapat memberikan responnya. Di samping aspek konteks situasional, aspek sosio-kultural juga menjadi faktor penting dalam memahami wacana inferen.
BAB X MASYARAKAT BAHASA DAN VARIASI BAHASA
Kajian sosiolinguistik cenderung berfokus pada variasi bahasa yang muncul di dalam masyarakat. Bahasa merupakan sarana komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hampir dalam semua kegiatan manusia memerlukan bantuan bahasa. Baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kegiatan khusus seperti kesenian dan ilmu pasti, bahasa merupakan sarana yang tidak dapat ditinggalkan. Dalam kehidupan sehari-hari di rumah, di pasar, dan di tempat hiburan, bahasa selalu dipergunakan orang. Kesenian, misalnya seni sastra, seni suara, dan seni pidato, pastilah memerlukan bahasa sebagai sarana utamanya. Bahkan matematika, dalam menyatakan perumusannya juga menggunakan bahasa. Sukar kita bayangkan manusia hidup tanpa bahasa.
Karena bahasa demikian pentingnya dalam kehidupan manusia, tidaklah mengherankan apabila banyak perhatian yang dicurahkan pada masalah yang berhubungan dengan bahasa. Perhatian ini tidak saja tumbuh di kalangan para linguis, tetapi juga di kalangan para ahli dalam bidang lain seperti psikologi, antropologi, dan sosiologi.
Telaah yang melihat bahasa terutama sebagai kegiatan masyarakat atau studi yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat pemakainya dikenal dengan nama sosiolinguistik. Dalam proses komunikasi, seseorang atau masyarakat pemakai bahasa memiliki cara tersendiri dalam mengungkapkan ide, pikiran, dan perasaannya. Hubungan atau kontak antara sesama memilih bahasa tertentu sesuai dengan kesepakatan bersama agar tujuan komunikasi dapat tercapai.
Pembahasan dalam bab ini difokuskan pada konsep mengenai masyarakat bahasa dan variasi bahasa. Diharapkan mahasiswa memiliki pemahaman tentang fungsi-fungsi bahasa, dan berbagai konsep variasi bahasa yang mencakup kedwibahasaan (bilingualism), diglosia, dialek, bahasa dalam konteks sosial, berbagai problematik dan pemecahannya, dan lain-lain.
Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa atau menganggap diri mereka memakai bahasa yang sama (Halliday, 1985). Frase ‘merasa atau menganggap diri’ perlu ditekankan di sini, karena dari kenyataan sehari-hari, sering kita jumpai adanya anggapan masyarakat mengenai bahasa yang berbeda dengan konsep linguis mengenai hal yang sama.
Holmes (1992:286), membagi bahasa ke dalam enam fungsi yaitu fungsi ekspresif (untuk mengekspresikan perasaan pembicara), fungsi direktif (untuk meminta seseorang untuk melakukan sesuatu), fungsi referensial (untuk menyediakan informasi), fungsi metalinguistik (untuk mengomentari tentang bahasa itu sendiri), fungsi puitis (untuk memfokuskan karakteristik bahasa yang estetik, misalnya, puisi, moto, dan ritme), dan fungsi fatis (untuk mengekspresikan suatu solidaritas dan empati kepada orang lain). Fungsi fatis ini digunakan untuk memulai dan mempertahankan komunikasi.
Menurut Leech (1983), variasi bentuk direktif merupakan tindak tutur yang dilakukan oleh penutur untuk membuat pendengarnya melakukan sesuatu, bertindak, atau berkata. Bentuk tindak tutur direktif itu dapat bersifat langsung dan tidak langsung.
Maksim-maksim/prinsip-prinsip kesantunan adalah sebagai berikut:
§  Maksim kearifan
-          Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin.
-          Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.
§  Maksim kedermawanan
-          Buatlah keuntungan diri sekecil mungkin.
-          Buatlah kerugian diri sebesar mungkin.
§  Maksim pujian
-          Kecamlah orang lain sedikit mungkin.
-          Pujilah orang lain sebanyak mungkin.
§  Maksim kerendahan hati
-          Pujilah diri sendiri sedikit mungkin
-          Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
§  Maksim kesepatan
-          Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin.
-          Usahakan agar kesepakatan antara diri dan orang lain terjadi sebanyak mungkin.
§  Maksim simpati
-          Kurangilah rasa antipati antara diri dan orang lain hingga sekecil mungkin.
-          Tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan orang lain.
Dari maksim-maksim di atas, yang berhubungan dengan penggunaan bentuk tindak tutur direktif (Leech mengistilahkannya dengan implositif) adalah maksim kearifan dan maksim kedermawanan. Secara linguistik, kesantunan sering kali merupakan masalah-masalah pemilihan bentuk-bentuk linguistik yang mengekspresikan tingkat kesesuaian jarak sosial atau yang menganggap perbedaan-perbedaan status yang relevan.
Appel mendefinisikan alih kode sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Misalnya peralihan bahasa dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda, Jawa atau Padang, juga sebaliknya karena perubahan situasi. Menurut Appel, alih kode terjadi antarbahasa. Sementara itu, Dell Hymes mengatakan alih kode itu terjadi bukan hanya antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam, atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa.
Alih kode adalah peralihan atau kode bahasa, baik antarragam bahasa, dialek (ragam resmi atau formal ke ragam santai atau dari suatu dialek ke dialek lainnya), juga peralihan antarbahasa (dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah atau sebaliknya, juga ke dalam bahasa asing atau antarbahasa asing) dan dapat juga berupa klausa atau kalimat lengkap yang mempunyai kaidah gramatika sendiri. Alih kode dilakukan secara sadar karena alasan-alasan tertentu. Alih kode dan campur kode merupakan fenomena bahasa yang sering terjadi dalam masyarakat yang dwibahasawan atau aneka bahasawan. Penyebab terjadi alih kode menurut Pateda yakni karena adanya selipan dari lawan bicara, pembicara teringat pada hal-hal yang perlu dirahasiakan, salah bicara, rangsangan lain yang menarik perhatian, dan hal-hal yang sudah direncanakan.
Menurut Gumperz, berdasarkan hasil penelitiannya, alih kode berfungsi untuk menyampaikan kemarahan, mempertegas argumen, menarik perhatian pendengar, memfokuskan, melibatkan pihak ketiga, mengurangi cercaan, dan mengomentari hakikat hubungan antara penutur dengan orang yang sedang dibicarakan.
Diglosia diidentikkan sebagai situasi kebahasaan yang menunjukkan adanya pemakaian bahasa tinggi dan rendah dalam suatu masyarakat tutur. Ragam tinggi dan rendah ini mengacu pada pemakaian bahasa yang dikaitkan dengan situasi komunikasinya.
Bilingualisme adalah kemampuan menggunakan dua bahasa yang meliputi keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Istilah bilingual yang dipakai di sini, merujuk pada yang memproses sekurang-kurangnya satu keterampilan bahasa, sekalipun dalam tingkatan minimal dalam bahasa keduanya. Bilingualisme dipengaruhi oleh tingkat hubungan antara dua kelompok bahasa yang mungkin saja bervariasi tingkatannya pada tiap individu yang dikenali dengan baik, mulai dari menyimak sampai berbicara, dan dari membaca sampai menulis. Kedwibahasaan atau bilingualisme dapat dipahami sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seseorang, yang oleh Bloomfield dirumuskan sebagai native-like of two languages. Menurut Valdes dan Figueroa dimensi bilingualisme meliputi kemampuan, usia, keseimbangan dan bahasa, perkembangan, dan konteks di mana masing-masing bahasa itu diperoleh dan digunakan.
Variasi bahasa menurut pemakainya disebut dialek. Kata ‘pemakai’ dalam batasan ini mengisyaratkan pada siapa pemakai bahasa yang bersangkutan dan dari mana asalnya atau daerahnya. Menurut Halliday (1968), variasi bahasa menurut pemakaiannya disebut ragam atau register. Ragam dapat dibedakan menurut bidang, cara, dan gaya penuturannya.


III. TIMBANGAN BUKU
1.      Keunggulan
Buku yang memberikan informasi tentang kajian bahasa yang cakupannya sangat luas namun dirangkum dan diuraikan secara ringkas dan padat. Buku ini menggunakan kata-kata yang lugas dan baku sehingga mudah untuk dipahami oleh semua kalangan orang. Selain kata-kata yang mudah dipahami oleh orang, buku ini juga memiliki keunggulan tersendiri yaitu sampul buku yang bagus sehingga menarik perhatian untuk dibeli.
2.      Kelemahan
Buku ini monoton dalam menyampaikan isinya sehingga terlalu mendominasi pada sebuah teori saja dan subbab yang diberikan juga terlalu banyak dan kurang mendetail, sehingga membuat pembaca malas untuk membacanya.


















C.    PENUTUP
I.  KESIMPULAN
Buku ini layak di baca karena didalamnya memuat ilmu pendidikan, upaya untuk membangun sumber daya manusia dan memberi wawasan yang sangat luas, karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan baik pemikiran maupun pengalamannya. Dengan mempelajari linguistik berarti membuka gerbang menuju berbagai pintu masuk pada bidang kajian kebahasaan dan ilmu-ilmu lainnya. Buku ini membantu dan mempermudah proses pembelajaran untuk memahami konsep-konsep yang termasuk dalam lingkup bidang kebahasaan sebagai upaya menjelajahi samudera linguistik. Buku ini bebas digunakan oleh kalangan apapun, baik pelajar dan mahasiswa. Karena buku ini berisi tentang sifat dasar sebuah bahasa.

II. SARAN
Sebuah materi yang esensial diperlukan pemahaman khusus, jadi diharapkan keseriusannya dalam materi ini dan rajin melatih diri untuk mempelajarinya agar dapat memahaminya. Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan isi dari sebuah buku. Sebaiknya sebelum melakukan penyusunan harus melakukan pemilihan kata agar pembaca mudah memahami maksud dan tujuan penulis.






DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, alek dan Achmad HP. 2013. Linguistik Umum. Jakarta: Gelora Aksara Pratama.








No comments:

Post a Comment